Cerita Rakyat Asembagus



Oleh : Iffah Nailul
Arum cepat-cepat melepaskan sandal jepitnya yang usang. Melipat celana panjangnya. Lalu, merendam kakinya buru-buru. Ia duduk di bibir sungai. Merendam kaki mungilnya di sungai kecil itu. Cara ini memang selalu ampuh melepas duka Arum. Dalam tatapan kosongnya, Arum terisak sedih kehilangan sahabat ‘tua’nya telah dibabat habis oleh orang-orang kekar yang membawa gergaji listrik.
“Paman pohon asam, semoga paman ditempatkan di surga, ya. Terimakasih sudah menemani Arum ketika belajar dan bermain. Kaso’on,” sambil memandangi buah asam yang ia ambil, Arum menahan air suci keluar dari pelupuk matanya.
“Wira,” tiba-tiba, terdengar suara lembut dari seorang pemuda. “Namaku Wira,” tegasnya sekali lagi ketika Arum menoleh ke arahnya. Pemuda itu mengulurkan tangannya. Mengajak Arum berkenalan. Kemudian duduk di sebelahnya.
Dengan nada canggung, Arum menyambut tangan Wira, “Arum.” Sejenak kemudian, Arum memaksakan senyumnya seperti anak usia 9 tahun kebanyakan, kemudian menunduk. Melihat kakinya yang digigit kecil oleh ikan-ikan kecil.
“Oh, ya. Maaf ya, kak. Arum harus cepat-cepat pulang. Takut diculik!” mata Arum melotot, membuat wajahnya amat menggemaskan. Karena Arum teringat sesuatu. Sesuatu yang selalu ibunya bilang. Hati-hati dengan orang asing.
Wira tersenyum, mengiyakan. Tatapan Wira seakan mengatakan : sebenarnya saya bukan orang asing, bahkan orang jahat. Kamu sebenarnya amat mengenalku, Arum.
“Arum?” Wira memanggil Arum saat Arum hendak memakai sandalnya.
“Buah asam ini?”
“Ah! Ya, kak. Terima kasih,” jawab Arum sambil mengambil asam yang ia jatuhkan ketika hendak berdiri dari tangan Wira.
“Daaah, Kak Wira!” Arum pergi sambil melambaikan tangan. Wira tersenyum sinis. Wira tiba-tiba menghilang, membias bersama cahaya yang menyilaukan.
Di tengah perjalanan pulang, Arum menjatuhkan buah asam yang dibawanya. Ketika Arum hendak memungutnya, seseorang tak sengaja menginjak buah asam itu, “Krekkk…” Entah apa yang dipikir Arum kemudian. Ia hanya melongo ketika membungkukkan badannya. Kemudian terduduk lemah di tanah yang berdebu itu. Tatapannya kosong. Tak percaya tentang apa yang barusan terjadi.
Antara khayalnya yang terbang entah kemana dan sadarnya, sesuatu yang diluar nalar manusia terjadi. Jalanan aspal, rumah-rumah penduduk yang berdiri kokoh, ibu-ibu yang bergossip di toko kelontong, serta apa-apa yang ada di zaman itu, lagi-lagi terbiaskan menjadi cahaya silau yang merusak mata bila dipandang 5 detik. Sama seperti Wira yang menghilang dimakan cahaya. Dunia seperti diputar berlawanan dengan arah jarum jam, diputar amat cepat bagai globe yang biasa dimainkan Arum di ruang kelasnya. Namun, Arum tak merasakan apa-apa.
Arum mencubit pipinya. Bundar mata Arum terbelalak! Arum berdiri takjub. Suasana kerajaan pekat terasa. Perempuan desa memakai kemben, lelaki memakai sarung dan bertelanjang dada, anak-anak memainkan permainan tradisional yang samar-samar dilupakan oleh anak-anak zaman sekarang, serta….
“Woro-woro! Woro-woro!” sontak, setiap aktivitas masyarakat terhenti. Merapat pada arah datangnya suara.
“Wahai penduduk kerajaan Sok Parse. Sesuai titah dari Baginda Raja Buto Ireng, setiap warga wajib menyerahkan tiga per empat dari hasil usahanya. Bila tidak, istri serta anak-anak kalian yang akan dijadikan budak kerajaan. Atau nyawa kalian jadi upeti itu,” lantang lelaki berbadan kekar berbaju bagus yang dilengkapi aksesoris dari emas yang ada di kepala serta pergelangan tangan. Ia gagah dengan mengendarai kuda coklat yang gagah pula.
Setelah menyampaikan woro-woro, lelaki yang diketahui sebagai Patih Singo Petteng kerjaan Sok Parse tersebut bersama prajuritnya pergi meninggalkan keramaian penduduk. Mereka melewati Arum yang sedang melongo. Memandang Arum dengan aneh. Karena ia satu-satunya orang yang berpakaian bagus saat itu, pakaian modern. Kaos lengan panjang warna pink lembut dipadukan celana jeans ketat dengan ujung meruncing di bagian bawah, -masyarakat zaman modern sering menyebutnya celana pensil-. Namun, Patih Singo Petteng tak acuh.
Selepas Patih Singo Petteng dan prajurit meninggalkan tempat tersebut, masyarakat berdiskusi, menggerutu satu sama lain. “Bagaimana bisa membayar upeti? Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan saja hanya setengah hari terpenuhi,” bisik-bisik seseorang mengganggu telinga Arum. Penuh iba.
“Padahal, saya kira bermukim di tempat ini akan membuat hidup kita jadi lebih baik. Kabur dari Kerajaan Barat. Tapi, sejak Buto Ireng serta pengikutnya kalah dari perang dan kabur kemari juga, didirikanlah kerajaan Sok Parse yang membuat hidup kita sama menderitanya seperti dulu,” sesal seorang wanita paruh baya yang menggenggam geram seikat sayur pakis yang baru saja dibelinya.
“Sudahlah, bu. Sabar…” seorang lelaki yang lebih tua dari wanita itu menenangkannya. Rupanya, ia adalah suaminya. “Saya usahakan akan membayar upeti agar keluarga kita selamat.”
“Saya kabur dari Kerajaan Blambangan. Berharap ada lahan yang nyaman tanpa kekuasaan raja. Tapi…” kalimat lelaki tua yang telah beruban terpotong, pahit mengingat masa kerajaan Blambangan yang lebih baik daripada di kerajaan Sok Parse ini.
Arum menggeleng sendiri. Ia hanya mengamati keadaan sekitar dengan matanya yang binar dan polos. Meninggalkan kerumunan orang tadi yang sama sekali tak menggubrisnya. Di tengah perjalanan yang entah kemana kaki Arum menapaki jejal-jelal jalanan yang bergerigi oleh bebatuan, ia melihat seorang yang tak asing baginya.
Dua orang berpakaian putih-putih terlihat amat suci sedang beristirahat di bawah pohon asam yang amat kokoh. Teduh sekali di sana. Mereka berbagi air yang disimpan dalam kendi serta nasi gulung yang kelihatannya amat lezat bagi Arum. Arum menelan ludah. Mendekati dua orang suci itu.
Seorang telah tua, memiliki janggut putih serta memakai surban yang dililitkan di atas kepalanya. Sedangkan satunya masih muda, umurnya sekitar 16 tahunan. Namun, punya rahang kokoh yang menunjang ketampanan dan kharismanya. Kak Wira, kah?. Melihat Arum yang semakin mendekat pada kedua lelaki itu, lelaki tua menyambutnya dengan ramah. “Cah ayu, kenapa kamu sendiri di dalam hutan ini? Amat berbahaya.”
Arum menggeleng.
“Kamu lapar, bukan?” tanya lelaki yang lebih muda kepada Arum.
Arum mengangguk.
“Muridku, Wira Bagus Prasetyo. Baru saja gagakku berkata bahwa ada seorang raja yang bengis terhadap rakyatnya. Ia membebaninya dengan upeti yang sangat besar,” sambung lelaki tua itu setelah gagak mata-matanya telah datang. Arum mendengarkan penuh antusias sambil mulutnya yang penuh mengunyah makanan.
“Menurut penerawanganku, akan banyak nyawa yang melayang sia-sia karena rakyat di kerajaan itu banyak yang tak bisa membayar upeti.”
“Jadi, apa yang seharusnya kulo lakukan, guru?”
“Datanglah ke kerajaan itu! Aku dengar, nama kerajaannya ialah Sok Parse. Sebaiknya malam ini kamu harus berkemas dan menuju kerajaan itu. Namun, aku tak bisa mendampingimu. Aku harus segera kembali ke padepokan.”
“Kulo siap, guru.”
“Bawalah ini, tanamlah sebelum engkau bertarung dengan Raja yang bengis itu,” Ki Ageng Kertasoma, guru Wira memberikan 5 biji pohon asam pada Wira Bagus.
Wira Bagus segera berkemas, manjalankan titah gurunya, Ki Ageng Kertasoma. Sedangkan Arum, selepas ia menghabiskan makanannya, ia terlihat ketakutan. Tak membayangkan apa yang akan terjadi pada pertarungan antara pendekar dan Raja. Apakah akan ada banyak darah? Siapa nanti yang akan menang? Bagaimana kak Wira memenangkannya sedangkan Raja punya banyak prajurit. Tapi, kak Wira hanya punya 5 biji pohon asam? Arum jadi teringat tentang sinetron di salah satu stasiun televisi yang gemar menayangkan tentang kisah kerajaan. Gelisah hati Arum. Sialnya, Wira Bagus mengajak Arum ke kerajaan Sok Parse.
Menempuh hutan belantara, siang-malam jadi teman perjalanan, serta hewan buas silih berganti ‘mengawasi’ Arum dan Wira Bagus. Rasa-rasanya, Arum beranjak dari kampung kerajaan Sok Parse sampai bertemu Wira Bagus dan Ki Ageng hanya butuh beberapa langkah, mengapa sekarang bisa jadi sejauh ini? Tak habis pikir.
Hingga ketika bekal Wira Bagus dan Arum habis, sampailah mereka di tempat tujuan. Tempat dimana pertama kali Arum sadar dunia modern-nya secara ajaib berganti jadi zaman kesengsaraan, mundur beratus tahun silam. Kebetulan, pada waktu yang bersamaan saat mereka menginjakkan kaki di wilayah kerajaan tersebut, Patih Singo Petteng bersama prajuritnya sedang menagih upeti.
Nanar, mata Wira Bagus menangkap proyeksi rakyat yang diperlakukan semena-mena. Hasil kebun, hewan ternak, hasil berdagang, dan hasil jerih payah rakyat lainnya dirampas! Kakek tua renta yang sudah tak dapat bekerja pun tak luput dari kekejaman penguasa. Alhasil, cucunya yang cantik jelita dipaksa menjadi budak di kerajaan. Sungguh malang.
“Kak Wira, kak Wira…” polos Arum menarik-narik baju putih Wira Bagus.
“Ya?”
“Kita kan sama-sama rakyat Indonesia. Tapi, kenapa Raja tega menyiksa rakyatnya sendiri? Hubungannya tidak H-A-R-M-O-N-I-S.”
Wira tersenyum, mengusap lembut kepala Arum, “Mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok. Kamu masih terlalu kecil tahu masalah politik, cah ayu”
“Wahai, pemuda! Serahkan upetimu!” bentak Patih Singo Petteng dengan amat berwibawa namun tegas pada Wira Bagus.
“Nyuwun sepuro. Saya tidak memiliki harta apapun.”
“Ah! Omong kosong! Prajurit, periksa buntalan yang ia bawa!”
Prajurit memeriksa buntalan yang dibawa oleh Wira Bagus. Namun, yang ada hanyalah baju-baju Wira Bagus.
Tak ada benda berharga yang pantas dijadikan upeti. Namun, melihat perawakan Wira Bagus yang gagah bak pendekar, Patih Singo Petteng berfikir akan mengangkatnya sebagai pimpinan perang, mungkin. Tapi, ia tak akan menyangka bahwa kedatangan Wira Bagus sesungguhnya ialah memberontak kepemerintahan Raja Buto Ireng.
“Sebaiknya, kamu ikut saya ke kerajaan menghadap Raja Buto Ireng!”
Sesampainya di pusat pemerintahan kerajaan Sok Parse, Wira Bagus dihadapkan kepada Raja Buto Ireng. Arum berdiri di samping Wira Bagus. Namun, tetap tak dihiraukan oleh penghuni kerajaan.
“Ampun, Baginda. Pemuda ini begitu lancang masuk wilayah kerajaan Sok Parse. Selain itu, ia tak membayar upeti,” terang Patih Singo Petteng sambil bersimpuh di hadapan Raja.
“Jadi, untuk apa kau buang waktuku hanya untuk meladeni dia? Mengapa kau tak penggal saja kepalanya?!” Sang Raja rupanya murka.
“Ampun, Baginda. Setelah hamba pikirkan, ada baiknya kita jadikan dia panglima perang.”
“Apa?! Mohon ampun, Patih Singo Petteng dan Raja Buto Ireng yang berkuasa, lebih baik kulo mati daripada dijadikan pembantu kerajaan yang bengis!” Wira Bagus menyela.
Raja tersentak mendengar jawaban Wira Bagus. Biasanya, tak ada satu pun yang menentang titahnya. Namun, kali ini ia temukan seorang pemuda pengembara yang tak kenal ancamannya.
“Baiklah, anak muda. Aku terkesan dengan keberanianmu. Aku tak ingin kamu mati sia-sia. Aku ingin bertarung denganmu. Sampai titik darah penghabisan!” tantang Raja.
“Ampun, Baginda. Apakah baginda yakin?” tanya Patih dengan sangat berhati-hati.
“Kau meragukanku? Mana bisa pemuda itu bisa mengalahkanku dengan tangan kosongnya?”
“Baiklah! Saya terima tantangan Raja,” Wira Bagus menyanggupi. Arum yang masih polos menelan ludahnya. Benar-benar seperti yang ada di televisi! Wira Bagus kemudian menyambung kalimatnya, “Namun, sebelum bertarung, hamba minta izin untuk menanam biji pohon asam ini di taman kerajaan.”
“Hahaha…. Silahkan, aku anggap itu permintaan terakhir.”
Tanpa diaba-aba, Wira Bagus menanam biji pohon asam itu di taman kerajaan Sok Parse. Semoga kamu bisa membantuku. Desah Wira Bagus dalam hati. Setelah menanamnya, pertarungan pun dimulai. Raja menggunakan pedang yang terhunus mengerikan. Sedangkan Wira Bagus hanya mengandalkan ilmu silatnya serta do’a yang tak henti ia panjatkan untuk keselamatannya. Kini, Arum berdiri jauh dari Wira.
Wira berdiri di sekitar tanah yang telah ditanami biji pohon asam. Wira Bagus dengan lincah dapat menghindari serangan-serangan yang dilancarkan oleh Raja Buto Ireng. Hingga kesempatan Wira Bagus untuk menyerang Buto Ireng, tiga kali pukulan ke arah dada, 3 kali pukulan ke arah perut, serta 1 kali pukulan pamungkas yang diajarkan oleh Ki Ageng cukup membuat Buto Ireng bermandikan darah. 1 kali pukulan lemah ke arah dada atau perut, akan membuat Buto Ireng mati. Namun, Wira Bagus membiarkan Buto Ireng agar tetap hidup, dengan harapan sifatnya akan berubah.
Sangat heroik apa yang telah dilakukan Wira Bagus. Memang sifat licik tak akan lepas dari hati Buto Ireng. Ia memulihkan dirinya. Membaca aji-ajian yang membuat proses penyembuhannya lebih cepat. Kemudian, Buto Ireng mendorong dari belakang badan Wira Bagus. Sehingga, tubuh Wira Bagus tersungkur di atas rerumputan kerajaan. Buto Ireng dengan sigap mengambil pedangnya. Menghunuskan ke leher Wira Bagus.
“Kalaupun ini akhir dari hidupku, aku berharap rakyat kerajaan ini tidak menderita lagi,” Wira mengendus pasrah, melepaskan kebencian yang ia punya. Berharap kematiannya takkan sia-sia.
Seketika itu, keajaiban datang! Biji pohon asam yang ditanam Wira Bagus pertumbuhannya tak terduga. Amat cepat! Benih yang tengah menyaksikan pertarungan itu geram. Tumbuh bersama kebencian karena kesewenang-wenangan serta kelicikan Buto Ireng.
Batang, daun, ranting, akar, serta buah pohon asam yang baru tumbuh itu terlihat amat tua. Seperti pohon yang telah berusia puluhan tahun. Dahan dan ranting yang biasanya rapuh serta mudah patah, menjadi kekar, lebih kekar dari tubuh Buto Ireng, Singo Petteng, serta prajuritnya. Menggapai-gapai tubuh Buto Ireng yang siap memenggal leher Wira Bagus. Kemudian, dahan dan ranting pohon asam melilitnya.
Pohon asam mengambil pedang dari tangan raja, tak ada ampun lagi, pohon asam menghunuskannya pada Buto Ireng. Raja susah bernafas, darah segar yang cair jatuh perlahan dari leher raja yang disentuh oleh mata pisau yang tajam. Nafas Arum tertahan di tenggorokan, ia tersengal mendapati kejadian tersebut. Biasanya, ia melihat leher sapi terpotong, disembelih untuk qurban. Tapi ini? Ini sungguh nyata. Pembunuhan yang dilakukan oleh pohon asam pada manusia!
Nafas para penghuni kerajaan tertahan. Tegang. Beberapa saat kemudian, terdengar sorak sorai dari penghuni kerajaan yang ternyata adalah budak. Mereka berduyun-duyun mengerumuni Wira Bagus dan pohon asam. Sepeninggalan Raja Buto Ireng, kekuasaan jatuh pada Wira Bagus. Ia merawat dengan penuh kasih dan cinta pohon asam yang telah menolongnya. Baginya, pohon asam itu simbol pelindung sekaligus simbol ‘pembersihan’ daerah bekas kesewenang-wenangan penguasa.
Jam berdentang lima kali. Arum kembali membuka buku IPSnya. Tiba-tiba, ia teringat kembali pesan terakhir yang disampaikan kak Wira sambil mengusap poni Arum, “Arum, terima kasih selama ini kamu menjaga dan bermain dengan pohon asam ini. Saya juga ikut bersedih karena kehilangan pohon asam di daerah ini. Namun, apa daya. Zaman telah berubah. Memang sudah saatnya pohon asam beristirahat bersamaku, di tempat yang telah dijanjikan. JASMERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Arum menyeringai, “Asembagus!”[]
Sebuah kisah yang diangkat dari desa yang terletak di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, yaitu ASEMBAGUS.

Cerita Rakyat Asembagus Cerita Rakyat Asembagus Reviewed by Redaksi on Juli 09, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar