Lelaki di Tepian Pantai yang Memandang Gunung


Oleh : Yudik Wergiyanto N.
Satu per satu warung-warung mulai tumbuh berjejeran di sepanjang jalan. Rumah-rumah penginapan juga perlahan berdiri dan mengambil lahan sembarangan. Semakin tampak sesak suasana pantai itu. Pohon-pohon jadi enggan tumbuh. Perlahan keadaannya berubah dan berangsur menyedihkan.
Tetapi tidak bagi seorang lelaki yang duduk di atas batu karang. Baginya, tak ada yang berubah dari pantai itu. Segalanya masih sama.  
Lelaki itu tidak pernah peduli dengan perubahan yang terjadi. "Persetan dengan itu semua!" begitu katanya. Sama halnya ia tak peduli pada keadaan dirinya. Cambang di dagunya, ia biarkan tumbuh menyerupai rumput-rumput liar. Membuat wajahnya tampak kian tak terurus dan terlihat suram. Tubuhnya pun semakin tampak ringkih. Pakaiannya juga lebih lusuh. Rambutnya sedikit berantakan sebab hanya ia rapikan dengan jemarinya. Beberapa orang kerap menganggapnya orang gila.
“Dia bukan orang gila. Kalau tak percaya, ajak saja ia bicara. Ia pasti akan menjawabmu.”
“Lalu kenapa penampilannya begitu?”
“Entahlah. Tapi dia memang sering datang ke pantai ini setiap sore.”
Menurut cerita orang-orang di sana, lelaki tersebut selalu datang setiap menjelang senja. Ketika langit mulai berwarna seperti kulit jeruk, lelaki itu selalu datang dengan mengendarai motor tua. Lalu ia akan berjalan ke tepian pantai dan duduk di sebuah batu karang besar. Batu karang yang selalu terkena hempasan gelombang. Ia akan terus duduk di sana, memandangi langit yang perlahan-lahan menggelap, kemudian ketika segalanya telah benar-benar gelap ia akan pergi meninggalkan pantai.
Dulu, lelaki itu tidak datang sendirian. Dia selalu datang berdua, bersama seorang wanita yang tak lain adalah kekasihnya. Mereka datang setiap akhir pekan dengan mengendari motor tua milik si lelaki. Dan, di batu karang besar itulah mereka juga biasanya duduk berdua. Pakaian keduanya selalu basah lantaran terkena buih ombak yang menghempas karang tempat mereka duduk.
Keduanya senang datang ke pantai itu karena suasana yang sepi dan menenangkan.
Dulu memang tak banyak yang datang ke sana. Pantai itu baru ditemukan keberadaannya oleh orang-orang. Berubahnya aktivitas jalan-jalan menjadi sebuah gaya hidup membuat orang makin sering mengeksplorasi tempat-tempat baru. Seperti pantai itu yang untuk mencapainya harus melewati medan yang berat di bawah bukit dimana jalan menuju ke sana harus melewati sebuah hutan yang sangat luas. Tetapi demi mencari sebuah surga destinasi, orang-orang tempuh itu semua. Sampai akhirnya pantai itu ditemukan dan diketahui khalayak, termasuk sepasang kekasih itu.
Sepasang kekasih itu berjanji untuk selalu menyempatkan waktu datang ke pantai itu. Sebab keduanya sama-sama mencintai pantai. Kebanyakan pertemuan-pertemuan mereka selalu terjadi di pantai. Berada di pantai, bagi mereka, selalu mampu mengingatkan bagaimana kisah cintanya bersemi. Seseorang yang selalu mengingat kisah cintanya tidak akan pernah saling meninggalkan begitu saja.
“Jangan sampai banyak yang tahu tempat ini.” ucap si wanita.
“Kenapa?”
“Kalau tidak, pantai ini tidak akan menjadi tempat yang nyaman lagi bagi kita.”
Musim-musim berganti. Pohon dan rerumputan meranggas. Tumbuh dan menghijau kembali. Sepasang kekasih itu masih tetap selalu datang ke pantai. Namun seiring bergulirnya waktu, semakin banyak orang tahu perihal keberadaan pantai itu. Makin banyak pula yang datang ke pantai itu. Banyak orang-orang yang mulai memanfaatkannya sebagai ladang untuk mencari nafkah. Warung-warung mulai berdiri di sana-sini, menjual makanan dan minuman. Tak ayal pantai itu jadi mulai dipenuhi sampah. Ternyata kegemaran orang-orang pergi jalan-jalan tidak dibarengi dengan kesadarannya akan lingkungan.
Meski pantai itu mulai terasa sesak, sepasang kekasih itu mencoba untuk tetap bertahan datang ke sana. Akan tetapi, kedatangan orang-orang terus mengalir ke sana. Pantai itu makin terkenal. Ketenarannya mulai tersebar lewat dunia maya. Yang datang pun berasal dari segala penjuru daerah. Pantai itu pun terus berbenah demi menyambut para pelancong yang datang. Tiket masuk mulai ditarik oleh pihak pengelola.
“Siapa yang menikmati uang dari tiket masuk ini?” tanya si wanita.
Penginapan juga mulai beridiri di tanah pantai itu. Satu penginapan, dua penginapan, tiga penginapan, dan semakin lama semakin banyak. Pantai itu pun menjadi sesak.
Semenjak itu sepasang kekasih tersebut tak pernah terlihat lagi. Ketidakhadiran mereka membuat banyak orang yang sering melihatnya bertanya-tanya. Sudah sekian akhir pekan sepasang kekasih itu tidak datang. Biasanya mereka selalu terlihat duduk berdua di atas batu karang besar di tepian pantai.
Namun, rasa penasaran mereka terobati ketika melihat si lelaki datang ke pantai itu. Hanya si lelaki. Tidak ada si wanita yang mendampinginya. Dia hanya sendiri berjalan ke tepi pantai menuju batu karang besar. Rasa penasaran orang-orang tidak sepenuhnya terjawab: ke mana perginya si wanita?
Tidak pernah ada yang tahu ke mana perginya si wanita. Yang pasti lelaki itu kini selalu datang sendiri ke pantai itu. Memarkir motornya sendiri. Berjalan sendiri. Duduk di atas batu karang besar sendiri. Memandangi langit yang jingga sendiri. Ia melakukannya terus menerus. Bahkan ketika pantai itu semakin tidak keruan keadaannya. Air lautnya mulai kotor. Jalanannnya semakin sempit karena warung-warung mulai berjejer di pinggiran.
Tidak pernah ada pula yang mengajak bicara lelaki itu. Atau lebih tepatnya tidak berani mengajaknya berbicara. Barangkali karena penampilannya yang menyedihkan membuat orang-orang enggan berkomunikasi dengannya. Meski sebenarnya mereka tahu lelaki itu bukanlah orang gila. Tetapi tentu saja mereka, apalagi orang-orang baru beberapa kali datang ke pantai itu, akan bertanya-tanya perihal kebiasaannya.
“Sedang apa lelaki itu di sana?”
“Dia hanya duduk. Saat hari mulai gelap, dia akan pergi. Begitulah setiap hari.”
“Lelaki aneh.” Begitu yang sering diucapkan kebanyakan orang baru mengetahui kebiasaan lelaki tersebut.
“Dulu dia tidak sendiri. Dia sering datang bersama kekasihnya.”
“Sekarang ke mana kekasihnya?”
“Aku tidak tahu. Tapi sudah lama sekali lelaki itu datang ke pantai ini sendiri.”
“Mungkin kekasihnya meninggalkannya. Lalu dia patah hati dan sering datang ke tempat ini.”
“Mungkin juga kekasihnya mati.”
Tak satu pun ada yang tahu ke mana perginya si wanita. Seperti halnya mereka tidak tahu apa yang sebenarnya lelaki itu lakukan di atas batu karang besar. Apakah ia hanya sekadar duduk? Ah, tidak. Lelaki itu tak sekedar duduk di sana. Mereka tidak tahu bahwa dari batu karang besar itu ia bisa melihat penampakan gunung di sisi barat pantai. Gunung yang menjulang tinggi dengan dua puncaknya yang selalu diselimuti awan. Sambil memandang gunung itu lelaki tersebut diam-diam mengingat kekasihnya.
“Aku tak bisa lagi pergi ke pantai bersamamu.” Kata si wanita ketika si lelaki mengajaknya pergi ke pantai. “Saat ini aku lebih suka pergi ke gunung. Aku baru tahu kalau pergi ke gunung jauh lebih menyenangkan. Pergi ke sana jauh lebih menantang. Ada kebanggaan ketika kita mencapai puncaknya. Lagipula pantai itu sudah sesak, tak lagi kujumpai ketenangan di sana.”
Semenjak itu si wanita tak pernah datang lagi ke pantai bersama si lelaki. Diam-diam si lelaki pun tahu bahwa si wanita pergi ke gunung tidaklah sendiri. Ada seorang lelaki lain yang menemaninya. Itulah yang membuat lelaki tersebut teringat setiap kali duduk di atas karang tepi pantai. Dia juga sering bergumam ketika memandangi gunung yang menjulang, “Apakah kau sedang mendaki gunung itu?”
Waktu silih berganti seperti gulungan ombak dari tengah lautan. Hilang, kemudian datang lagi. Pantai itu makin tampak sesak. Segala macam bangunan berdiri. Segala macam jenis hiburan ditawarkan. Orang-orang makin banyak yang tertarik untuk datang. Dan si lelaki sudah tidak pernah terlihat lagi. Ia tak pernah datang ketika di sisi barat pantai dibangun sebuah gedung hotel. Bangunan itu menutupi pemandangan gunung yang sering ia lihat dari tepi laut di atas karang besar. Gunung yang setiap kali ia lihat bisa membuatnya mengingat kekasihnya dulu.[]

Lelaki di Tepian Pantai yang Memandang Gunung Lelaki di Tepian Pantai yang Memandang Gunung Reviewed by Takanta ID on Juli 30, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar