Rumah Dalam Mata


Oleh : Yudik Wergianto
Ada rumah dalam mata Maliya, gadis yang kutemui dalam bus saat perjalanan menuju Surabaya.
Aku melihatnya ketika kami berdua tanpa sengaja saling bersitatap. Mataku pun langsung bertemu pada kedua matanya yang agak besar dan tajam. Saat itulah aku bisa melihat sebuah rumah dalam pupil matanya yang agak kecoklatan.
Tentu saja diriku sedikit tak percaya melihat keanehan itu. Mana mungkin sebuah rumah bisa berada dalam mata seseorang. Tapi rumah itu benar-benar berada dalam mata Maliya. Awalnya aku menduga rumah itu hanya bayangan yang tergambar di pupil matanya. Tetapi, setelah aku perhatikan lagi rumah itu bukanlah bayangan. Apa yang tergambar pada pupil mata seseorang selalu berasal dari benda yang ada di hadapannya. Maka seharusnya yang ada di dalam matanya adalah bayangan wajahku, bukan bayangan rumah itu.
“Kau orang pertama yang melihat rumah itu.” Kata Maliya setelah kuutarakan apa yang kulihat pada matanya.
Aku terdiam sejenak. Masih belum percaya dengan apa yang kulihat. “Bagaimana bisa ada sebuah rumah di dalam mata?”
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Tapi begitulah yang terjadi.”
“Aneh.” gumamaku. “Seperti dalam cerita-cerita fiksi saja.”
Anehnya bayangan rumah itu seolah menarik perhatianku. Aku merasa ingin terus menerus memandanginya. Lama kelamaan aku pun mengenali setiap detil rumah itu.
Di halaman depan rumah ada sebuah pohon jambu yang tingginya melebihi atap rumah. Di pohon itu sebuah bandulan tergantung. Talinya diikat pada batang pohon yang kokoh. Di teras rumah, ada dua buah kursi dan satu meja. Beberapa pot bunga terletak di depan teras. Pintu rumah itu sedikit terkuak tapi tak bisa kulihat isi dalamnya. Di samping rumah sebuah sepeda tua bersandar pada dinding. Halamannya berupa tanah dengan banyak kerikil.
Tapi ada hal aneh yang kutemui pada rumah itu. Ia terlihat suram. Warna catnya tampak pucat. Jendela-jendelanya terlihat murung. Bunga-bunga yang tertanam dalam pot layu mengering. Bandulan di bawah pohon jambu lesu tak bergerak. Teras rumahnya penuh dengan debu – begitu pula pada kursi dan mejanya. Di halamannya daun-daun jambu yang kering berserakan. Pintu rumahnya tampak seperti enggan menganga, malu-malu terbuka. Satu kata yang bisa menggambarkan rumah itu: menyedihkan.
“Tapi kenapa rumah itu tampak menyedihkan sekali? Seperti tidak terurus?”
“Rumah itu sudah lama ditinggal penghuninya.”
“Jadi, itu bukan milikmu?” tanyaku, penasaran.
“Bukan,” jawab Maliya. “Rumah itu milik seorang lelaki.”
Maliya pun bercerita. Dulunya dalam rumah tersebut tinggal seorang lelaki. Dia yang merawat rumah itu. Setiap hari lantainya selalu dibersihkan. Halamannya disapu sampai tak ada dedaunan yang berserakan. Tanamannya disiram saban pagi dan sore hari. Lelaki itu sering memetik bunganya bila sudah mekar dan menyimpannya dalam vas di dalam rumah. Kaca-kaca di jendela rumah itu pun selalu dibersihkan hingga selalu terlihat mengkilat. Pintunya selalu terbuka membuat rumah itu tampak selalu bahagia. Sepedanya tuanya juga kerap lelaki itu gunakan untuk pergi ke pasar atau jalan-jalan.
Selama si lelaki berada di sana, rumah itu terlihat seperti rekahan kebahagiaan. Seperti simpul senyum dari bibir seseorang. Rumah itu tampak seperti tampak berpendar cahaya di sekelilingnya. Kian hari pendaran cahaya itu kian terang.

“Tapi sayang lelaki itu sudah pergi lama sekali.” Kata Maliya mengakhiri ceritanya. Nadanya terdengar sedih.
“Kenapa lelaki itu memilih pergi?”
Maliya menunduk. Ia tak segera menjawab pertanyaanku. Lama sekali sampai akhirnya sebuah jawaban meluncur dari mulutnya, “Ah, sudahlah. Jangan pernah mempertanyakan sesuatu yang telah pergi.”
Aku tidak menjawab perkataannya itu. Aku memandangi kedua matanya lagi. Kulihat kembali rumah tersebut. Sejujurnya aku masih belum memahami semua keanehan ini: sebuah rumah dalam mata dan seorang lelaki pernah tinggal di sana. Aku merasa sudah seperti hidup dalam cerita-cerita karangan.
Tapi dalam mata Maliya benar-benar ada sebuah rumah.
“Apakah tidak akan ada lagi yang datang ke rumah itu?” tanyaku.
Ia mengangkat wajahnya. Sungai kembar terbentuk di kedua tebing pipinya. “Aku tidak tahu. Tapi kurasa lebih baik ia dibiarkan begitu.”
- Pertama kali dimuat di Banjarmasin Post 27 November 2016
- Sumber gambar : nmgncp.com
Rumah Dalam Mata Rumah Dalam Mata Reviewed by Takanta ID on Juli 16, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar