Mencari Supriyadi dan Ibu Pertiwi
Oleh: Ahmad Sufiatur R.
Ini bukan kisah sejarah
revolusi Indonesia. Apalagi tentang pejuang Pembela Tanah Air bernama Supriyadi
yang menghilang sampai sekarang. Bukan. Kisah ini kebetulan terjadi pada
tanggal 14 Februari. Namun, bukan terjadi pada tahun 1945 ketika pasukan tentara
PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar, Jawa Timur, memberontak kepada penjajah
Jepang. Sekali lagi, bukan.
Kisah ini kebetulan
terjadi pada hari valentine. Ya, di tahun sekarang. Namun, Pak Pos yang membawa
bingkisan bertuliskan pesan: dari Supriyadi untuk Ibu Pertiwi, berhasil
dibuat bingung.
Pertama, Pak Pos itu
tidak tahu nama lengkap si pengirim. Nama pengirim hanya tertulis Supriyadi,
dan nama si penerima Ibu Pertiwi. Titik. Yang kedua, Pak Pos itu menemukan
bahwa alamat yang tertera ternyata salah alamat. Yang ketiga, ia tidak tahu
bahwa hari itu adalah hari valentine. Ya, hari ketika remaja puber atau pemuda
yang mengalami puber ketiga, keempat dan terusnya, mengirim berbagai bingkisan
wangi-warna-warni yang katanya demi merayakan hari kasih sayang. Apakah ini
bukti bahwa kasih sayang mulai langka hingga harus dirayakan, atau tak ada yang
menyadari?
Setelah Pak Pos
blusukan mencari alamat, ternyata tidak ada orang bernama Ibu Pertiwi seperti
yang tertera di bingkusan itu. Akibatnya, bingkisan itu, rela tidak rela, harus
dikembalikan lagi ke si pengirim yang bernama Supriyadi. Beruntung di bingkisan
itu tertera nomor telepon si Supriyadi, maka Pak Pos itu pun mencoba
menghubunginya. Namun….
“Haloo apa betul ini
alamat Supriyadi?”
“Iya betul … Anda siapa
ya?” Suara wanita di sambungan ponsel itu.
“Saya dari pos … Mas
Supriyadi mengirimkan bingkisan untuk Ibu Pertiwi. Tapi, setelah saya cari
alamatnya, tidak ada yang punya nama Pertiwi.”
“Oalah … tapi Supriyadi
sudah meninggal bertahun-tahun lalu.”
“Waduh!! Lalu siapa
yang mengirim bingkisannya?”
“Mungkin Supriyadi
tetangga saya itu. Yang jualan di pasar.”
“Suwun …
nanti saya coba cari orangnya.”
Pak pos itu hanya dapat
mengelus dada. Walau lelah, namun ia seperti memiliki semangat juang yang
tinggi. Mungkin karena nama Supriyadi telah melekat di benaknya sebagai
pahlawan walau hilang dalam sejarah.
Maka berangkatlah Pak
Pos ke pasar demi mencari Supriyadi. Ternyata nama Supriyadi juga banyak di
pasar itu. Ada Supriyadi yang berjualan emas, ada Supriyadi yang berjualan
sembako. Sampai-sampai setiap orang di pasar itu diinterogasi oleh Pak Pos.
Namun, lagi-lagi tidak ada orang yang bernama Supriyadi yang merasa mengirim
bingkisan itu. Dalam keadaan bingung itu, seorang pria yang bertampang kumal
bak pahlawan kesiangan tiba-tiba menghadang Pak Pos itu.
“Saya Supriyadi …
hadiah itu untuk tante saya,” ujar pria yang mengaku bernama Supriyadi itu.
Pak Pos tak bergeming.
Untuk beberapa lama ia menatap pria itu dari ujung jempol kaki sampai ujung
rambutnya yang nampak tak pernah disisir. Ia tak percaya bahwa pria itu bernama
Supriyadi hanya dari tampangnya saja!
“Bisa tunjukkan KTP
kalau benar-benar Supriyadi?” Pak Pos itu memandang curiga.
“Waduh … yah itu, KTP
saya masih difotokopi untuk menerima bantuan sembako,” ujar pria yang mengaku
bernama Supriyadi itu.
“Kalau begitu ambil
dulu tanda pengenalnya, baru saya percaya,” ujar Pak Pos itu waspada. Ia
mempererat jemarinya seolah bingkisan itu bisa dirampas kapan saja.
“Eh, Anda tak percaya
kepada bangsa sendiri?” Pria itu nampak ngotot.
Kemudian seseorang
mendekati mereka berdua. Kali ini penampilannya lebih rapi dengan kopiah butut
di kepala.
“Maaf … saya yang
bernama Supriyadi. Tadi, saya sedang sibuk mengatur anak buah menurunkan sawi
dari pikap. Maklum, saya pengusaha sayur.”
Walau berpenampilan
rapi dan seorang pengusaha, namun Pak Pos itu masih tak percaya. Apalagi
tampangnya tidak seperti Supriyadi seperti yang tergambar di benaknya.
“Bisa saya lihat KTP
Anda?” tanya Pak Pos itu.
“Halah itu gampang.
Dompet saya ada di pikap. Pokoknya yang penting saya harus tahu bahwa bingkisan
itu isinya masih utuh.” Pria rapi itu mengarahkan jemari ke bingkisan yang
dipegang Pak Pos.
“Heh, bingkisan itu
punya saya!” seru pria yang kumal tak terima.
“Ya, sudahlah, nanti
kalau isinya masih utuh kita bisa bagi dua. Oya, saya sampai lupa. Bisa bagi
bertiga dengan Pak Pos!” Pria yang rapi masih tawar-menawar.
Pak Pos yang mulai
melangkah mundur kemudian melarikan diri!
“Hei! Tunggu!” seru
pria yang kumal.
“Ini gara-gara kau!”
balas pria yang rapi.
“Justru kau yang
mengacau!” seru pria yang kumal.
“Saya tahu siapa kamu!
Preman pasar yang kerjanya tak jelas!”
Bunyi berdebuk
terdengar ketika pria kumal itu mendorong pria rapi ke arah gerobak sampah. Tak
ada angin dan hujan, keduanya pun saling baku hantam.
Pak Pos itu menghindar
sejauh-jauhnya dari TKP.
“Duh Supriii …
Suprii….” Pak Pos itu mengelus dada. Peluh basi mengalir di dahinya yang
berkerut. Aroma pasar yang campur aduk terhirup lubang hidungnya yang kembang
kempis. Menambah lelahnya. Untungnya ia menemukan tempat duduk di dalam pasar
itu sebelum jatuh pingsan.
Bunyi berderit
terdengar ketika bangku yang terbuat dari bilah bambu itu kelebihan beban. Pak
Pos tidak menyangka berat tubuhnya sudah bertambah. Namun, ketika terdengar
tangisan bayi di sampingnya, ia baru sadar. Seorang ibu paro baya tengah
menggendong anaknya ikut duduk di sebelahnya.
Untuk beberapa lama
mereka tak saling sapa. Sampai akhirnya si ibu yang buka suara. Ia bertanya
karena melihat bingkisan yang menohok mata. “Untuk siapa bingkisan warna-warni
itu Pak?”
“Ohhh, ini untuk Ibu
Pertiwi … dari Supriyadi.”
“Supriyadi??” Si Ibu
itu nampak terkejut.
“Iya, sudah keliling
saya mencari Supriyadi, namun nihil.”
“Dasar si Supriyadi
itu! Sudah beristri masih saja mata keranjang!”
“Eh, jadi sampeyan tahu
siapa Supriyadi?” Pak Pos menepis keringatnya.
“Saya juga mencari
Supriyadi, suami saya yang lari bersama istri mudanya!”
“Siapa nama istri
mudanya?”
“Si Prattt itu …
Pratiwi. Saya benci setiap suami saya menyebut nama itu dalam tidurnya.” Ibu
itu mendorong teteknya agar bayinya dapat berhenti menangis.
“Bukan Pertiwi??”
“Pratiwi … ya, tidak
salah lagi karena suami saya pernah menjerit depresi menyebut namanya.” Wajah
ibu itu nampak kecut.
“Duh, siapa pula
Pratiwi itu.” Pak Pos nampak makin bingung.
“Terus memangnya apa
isi bingkisan itu Pak?” tanya si ibu mulai penasaran.
“Eh, jangan Bu … ini
rahasia dan etika petugas pos.”
“Kalau tak dibuka, mana
bisa tau apakah itu kosong atau ada isinya?”
Pak Pos itu
manggut-manggut, tapi masih enggan membuka bingkisan itu. Ia hanya memeriksa
lipatan bungkusannya yang berwarna-warni. Lalu menggoyang-goyang bingkisan itu
demi mendengar bunyi di dalamnya. “Nampaknya memang ada isinya….”
“Bukan bom kan Pak?”
tanya ibu itu cemas.
“Ehhh, bingkisan ini
sudah saya bawa ke mana-mana tapi tak juga meledak. Berarti isinya bukan bom
kan?” Pak Pos itu mulai sangsi. “Iya, kan?”
“Makanya dibuka saja,
Pak!” Seru ibu itu dengan gaya yang memang terbiasa memaksa untuk buka-bukaan.
Pak Pos itu menelan
ludah pahit beberapa kali. Jakunnya naik turun. Lalu, ia mulai membuka
bingkisan itu.
Ternyata di dalamnya
ada kotak lagi. Maka terpaksa Pak Pos dengan sabar membuka kotak itu lagi. Dan
lagi. Dan lagi sampai ke kotak yang terkecil seperti kotak cincin.
Ketika kotak paling
kecil dibuka, ternyata isinya adalah gulungan kertas. Di sana tertulis tulisan
cakar ayam yang isinya begini:
Gue gak tau ke mana
lagi harus mengirim bingkisan ini.
Di hari palentin banyak
yang mengirim permen
Atau benda warna-warni
manis dan aneh lainnya.
Maka dari itu, gue
mengirim bingkisan kepada Ibu Pertiwi saja!
Yang telah melahirkan
gue di tanah air tercinta ini!
Kecup sayang,
Supriyadi Suparman
“Oalah, kalau Supriyadi
Suparman itu tetangga saya. Pemuda bujang lapuk pengangguran yang tiap hari
ketawa-ketiwi di terminal.” Saking semangatnya ibu itu sampai beranjak dari
tempatnya. Tak memedulikan anaknya yang menggapai-gapai teteknya.
“Oh, jadi itu nama
lengkapnya ya.” Pak Pos itu mendengus kesal.
“Dia memang jomblo dan
alay! Tuntut saja Pak dengan dakwaan jomblo dan memalsukan alamat!” Seru ibu
itu dengan gaya yang biasa main-main asal menuntut.
Pak Pos itu akhirnya
dapat bernapas lega. “Janganlah … kasihan!” Akhirnya ia dapat melangkah tenang
tanpa mengakibatkan konflik gara-gara nama dan bingkisan bertuliskan: dari
Supriyadi untuk Ibu Pertiwi.
Situbondo, 28 Agustus 2017
____
Ahmad Sufiatur Rahman (Sufi) lahir di Situbondo. Senang berpetualang di dunia lain. Senang bermain dan saling belajar bersama kawan-kawannya.
Ahmad Sufiatur Rahman (Sufi) lahir di Situbondo. Senang berpetualang di dunia lain. Senang bermain dan saling belajar bersama kawan-kawannya.
![]() |
Sumber gambar: the letter by shannon kincaid |
Mencari Supriyadi dan Ibu Pertiwi
Reviewed by Ahmad Sufiaturrahman
on
Agustus 28, 2017
Rating:

Tidak ada komentar