Pemilihan Tidak Langsung Mengebiri Hak Politik Rakyat

Menanggapi Pendapat Prof. Yudi Latif dalam Buku Negara Paripurna
Oleh : Randy Hendrawanto
Diskusi kebangsaan Gerakan Situbondo Membaca dalam  memperingati HUT ke-72 Republik Indonesia cukup memberi kesan dan warna yang berbeda dalam memperingati hari kemerdekaan kita, karena pada umumnya diperingati dengan kemeriahan dan syarat akan hiburan, semisal lomba tarik tambang, panjat pinang, makan kerupuk dll, para aktivis baca mengajak kita semua untuk melakukan refleksi kebangsaan. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2017 di Perpustakaan Daerah Kabupaten Situbondo.
Salah satu bahan diskusi adalah buku “Negara Paripurna” yang ditulis oleh Prof Yudi Latif yang beberapa bulan yang lalu baru dikukuhkan menjadi Kepala Unit Kerja Presiden, Pemantapan Ideologi Pancasila. Buku ini sangat renyah dibaca sebagai wawasan kebangsaan dan pemahaman atas esensi Pancasila, yang berbasis pada historis, rasionalitas dan aktualisasi. Kami di sini tidak ingin mengkritik secara komperhensif, karena kami yang aktivis baca ini belum membaca kwintalan buku, baru beberapa tumpuk buku saja yang pernah dibaca, tentunya tak elok jika harus mengkritik habis-habisan penulis yang sudah malang melintang dalam dunia akademisi. Karena dari itu kami yang pemula dan selalu haus akan ilmu ijinkanlah tidak sependapat dan berargumen, karena Pancasila tidak boleh ditempatkan sebagai filosofi, dasar negara, cita-cita dan tujuan bernegara yang anti multitafsir. Ada titik krusial atau hal penting dari pendapat penulis dalam buku “Negara Paripurna”, yakni pemilihan langsung Presiden sampai kepala daerah tidak sejalan dengan makna sila keempat Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.”
Negara ini sejak berdiri sampai lengsernya orde baru memang menganut pemilihan tidak langsung, setelah memasuki masa reformasi seluruh rakyat diberi hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya dimulai dari Presiden sampai kepala daerah, karena ini merupakan perwujudan dari peningkatan demokrasi politik dengan semangat menjaring representasi politik seluas-luasnya. Rakyat dimulai dari tukang becak, buruh tani, buruh pabrik, sampai seorang direktur sekalipun di era kini punya hak politik untuk menentukan pilihannya. Pancasila sebagai dasar, cita-cita dan tujuan berbangsa harus mampu menjawab tantangan jaman, harus mampu beradaptasi dalam menyongsong kualitas demokrasi di abad 21 ini, karena itu bagian dari aktualisasi dan kontektualisai Pancasila. Dengan ditandai dengan lahirnya Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka tahun 2004 seluruh rakyat Indonesia pertama kali ikut serta menentukan nasib bangsanya dengan memilih secara langsung Presidennya. Presiden yang lahir dari pilihan rakyat. Menurut Winarno (2002: 11) mengatakan bahwa: “Sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih”.
Mari kita beranjak saja dari tataran teori singkat di atas, agar lebih ringan ngobrolnya namun kita kupas dalam tataran praktek dan tetap substantif. Kami memandang pemilihan langsung adalah cara yang paling memungkinkan untuk menjawab tantangan jaman dalam mengumpulkan aspirasi publik seluas-luasnya. Karena pemilihan tidak langsung hanya semakin memperkokoh dominasi elit, hegemoni oligarki dalam menancapkan kepentingannya dalam menentukan pemimpin bangsa dan daerah. Pemilihan tidak langsung yang dijalankan sejak puluhan tahun orde lama dan orde baru sejatinya karena saat itu kami memandang karena ketidak-siapan negara dan rakyat dalam menjalankan pemilihan langsung, karena memang konsekuensi dari pemilihan langsung adalah biaya yang tinggi dan dibutuhkan infrastruktur penunjang serta hal yang penting adalah kesiapan masyarakat. Namun untuk menunjang peningkatan kualitas demokrasi yang berbasis pada semangat memberikan partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat kami kira layak dibayar dengan konsekuensi demikian. Seperti yang dikatakan salah satu begawan revolusi Indonesia yakni Moh.Hatta bahwa, “Demokrasi itu mahal, tetapi jangan karena mahal maka kita tidak berdemokrasi”. Memang banyak koreksi terhadap pemilihan langsung yang sudah kita jalani dalam satu dasawarsa lebih ini, misalnya :
  1. Biaya pemilihan yang mahal
  2. Merebaknya “money politic”
  3. Korupsi
  4. Potensi konflik horizontal, dll
Namun masalah-masalah yang muncul di atas dapat diminimalisir seiring kedewasaan berpolitik bangsa ini. Dimulai dari penegakan hukum yang tegas terhadap terhadap koruptor dan pihak-pihak yang ingin merusak citra demokrasi dengan menyuap rakyat. “Money Politic” adalah kanker demokrasi kita yang terus menjalar kesuluruh urat saraf dan parahnya dianggap lumrah oleh sebagian kalangan. Aksi suap-menyuap, jual-jual beli suara inilah sebenarnya embrio dari korupsi yang sudah laten terjadi saat ini. Konflik horizontal juga tak luput dari perhatian kita karena tetangga, sahabat, saudara bisa berkonflik karena beda pilihan politik. Karena dari itu seperti dikatakan di atas, dibutuhkan kedewasaan dalam berpolitik. Lantas bagaimana dengan pemelihan tidak langsung? Jangan dikira pemilihan tidak langsung tidak memiliki segudang masalah.
Yang pertama menguatnya oligarki parpol. Bagaimana tidak, disaat pemilihan tidak langsung terselenggara, parpol tidak hanya menyediakan para kandidat namun juga mengendalikan para wakil rakyatnya diparlemen agar memenangkan kandidat yang dijagokan. Lantas dimana peran rakyat? Atau hanya para elitlah yang boleh menentukan siapa yang memimpin kita? Pemimpin harus benar-benar lahir dari rahim rakyat, bukan lahir dari konspirasi-kongkalikong elit politik, karena pemilihan tidak langsung, kandidat tidak perlu bersolek di hadapan rakyat, namun cukup memuaskan hasrat kepentingan politik elit agar mendukungnya. Rakyat tak perlu diberi pemaparan visi, misi dan program tapi cukup rakyat menjadi pihak yang pasrah terhadap permainan para “oligark” di parlemen itu dalam menentukan peminpin kita.
Yang kedua bagaimana dengan money politic? ibaratkan dalam dunia dagang, ada istilah belanja grosir dan eceran, maka para kandidat cukup mengkapitalisasi materinya dengan menyuap segelintir elit. Dengan hitungan “dagang politik” yang jitu, maka suara mayoritas sudah mudah dibaca diraih atau tidak. Jadi siapa yang paling banyak menimbun uang dan pengaruh, maka niscaya mudah menang. Namun dalam pemilihan tidak langsung, medannya cukup terjal bagi para broker politik ini. Dengan stratifikasi sosial yang sangan kompleks tentunya tak mudah dihitung dan diterka dalam menerapkan jurus jitu menabur uang, karena ada kelas menengah yang relatif sulit terpengaruh oleh iming-iming politik uang ini. Dan fakta dilapangan tak selalu yang paling banyak uang yang menang. Banyak faktor penentu diluar kekuatan finansial, modal sosial, rekam jejak dan kompetensi juga perlu ditingkatkan oleh para kandidat dalam memikat hari pemilih. Singkat kata, pemilihan tidak langsung cukup para elit yang perlu di “servis” tak perlu pusing dengan pandangan atau pilihan rakyat.
Yang ketiga adalah tentang korupsi. Baik pemilihan tidak langsung ataupun langsung, keduanya memberi ruang bagi para tikus-tikus dalam menggerogoti uang negara. Kita lihat di era orde baru, korupsi berjalan lancar teratur berdasarkan kekuasaan yang sangat sentralistik dan diktator. Para pemenang harus memuaskan para pemilihnya di parlemen, dengan bagi-bagi kue yang merata, akhirnya para elit yang gemuk, sedangkan rakyat hanya mendapat tulang.

Pada dasarnya dinamika dan gerak jaman ini harus direspon dengan kontektualisasi Pancasila, karena lima sila itu bukan dogma yang mati. Pancasila sebagai filosofi dan tujuan harus mampu menjawab tantangan jaman. Langsung atau tidak langsung, muaranya adalah kualitas pemimpin yang terpilih dari fondasi dukungan rakyat yang diharapkan mampu mengantarkan kesejahteraan yang kolektif seperti yang dicita-citakan Pancasila.
____
Sumber Foto : Gerakan Situbondo Membaca

Pemilihan Tidak Langsung Mengebiri Hak Politik Rakyat Pemilihan Tidak Langsung Mengebiri Hak Politik Rakyat Reviewed by Redaksi on Agustus 24, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar