Aku, Polisi dan Buku

Oleh : Imam Sofyan
Saat saya sudah menginjakkan kaki di sekolah, tempat saya mengajar, ada tiga panggilan tak terjawab tanpa nama di kontak. Beberapa detik kemudian gawai berdering dengan nomer yang sama.
“Assalamualaikum, Selamat Pagi.” Suara dari seberang telefon terdengar sopan.
 “Waalaikum Salam, Mas,” jawab saya tak kalah sopan.
“ini dari kepolisian, Mas.”
Deg.
Pikiran saya mulai mengawang-ngawang, mengingat-mengingat, kesalahan apa yang saya buat hingga kepolisian menelepon saya. Ketakutan terus menjalar. Rasa kantuk akibat menjaga stand di pameran alun-alun menyambut HARJAKASI 199 membuat mata saya terang benderang. Beberapa hari ini saya memang dekat dengan polisi. Itu karena stand komunitas berada tepat di depan stand polisi yang melayani masyarakat untuk sosialisasi pembuatan SKCK, SIM dan lain-lain. Di tempat stand saya hanya meminta para polwan untuk berfoto bersama buku Dangdut Madura Situbondoan karya Panakajaya Hidayatullah. Tapi apa karena saya meminta para polwan berfoto dengan buku menjadi bersalah dan harus berurusan dengan hukum? Apa karena saya meng-upload foto polwan-polwan tersebut ke media sosial? Padahal setelah foto dengan buku tersebut saya meminta izin untuk saya share. Pertanyaan bernada ketakutan semakin menjadi-jadi.
“Saya ajudannya, Bapak Kapolres, Mas,” sambung suara masih dengan nada sopan.
Cessss.
Saya mulai bisa tenang kembali ketika suara di depan mengucapkan kata “ajudan”. Tepat pada malam selasa kemarin saya memang berkomunikasi via WhatsApp dengan Pak Kapolres Situbondo. Dan ingin mengundang Pak Kapolres untuk hadir di acara Komunitas Gerakan Situbondo Membaca dalam rangka Bedah Buku Hoegeng. Tak disangka, Pak Kapolres menjawab pesan saya dengan nada ramah.
“Alhamdulillah terima kasih undangannya, tentu saya sangat bersedia, sementara minggu ini hanya Rabu pagi yang kosong, antara pukul 08.00-10.00, jika berkenan silahkan, untuk minggu depan agak lenggang, trims,” begitu kira-kira jawaban Pak Kapolres saat saya hubungi.
Telfon dari pihak ajudan ini melanjutkan komunikasi saya sebelumnya dengan Pak Kapolres.
“Barusan bapak minta saya untuk menghubungi sampean masalah undangan bedah buku.”
“Owh iya mas,” jawab saya singkat.
“Kapan itu dilaksanakan mas, di mana?”
“Ya itu mas, untuk masalah waktu saya minta kapan Bapak Kapolres ada waktu kosong.”
“Owh kalau begitu Rabu besok ke kantor ketemu bapak bahas waktu.”
Jleb.
Saya kembali terkejut mendengar tawaran ajudan Pak Kapolres.
“Kalau bisa dengan surat resminya, mas”
“ Na itu mas, komunitas saya kecil, Mas. Kita nggak punya stempel.”
“ Iya ngga kenapa mas meskipun tanpa stempel.”
Dusss.
Untuk ketiga kalinya saya mengalami keterkejutan. Saya harus bertemu dengan Bapak Kapolres dengan mudah, mengundang di acara komunitas yang ruang lingkupnya kecil tanpa harus menggunakan stempel. Dengan cepat saya jawab.
“Siap, Mas.”
“Terima kasih, Assalamualaikum,” ucap suara di seberang dengan lembut.
“Sama-sama, Mas. Waalaikum salam.”
Setelah itu saya mengajar dengan hati riang, siswa-siswa gembira. Sembari menunggu esok, pulang dari sekolah aktivitas membaca buku jalan seperti biasa. Lagi asik masyuk membaca buku Yang Menyublim Di Sela Hujan, gawai berbunyi. Kali ini dari Ibu Sugiarti. Salah satu Polwan yang bertugas di Kantor Samsat Panji.
“Assalamualaikum, Mas.”
“Waalaikum salam, Bu.”
“Kapan mau dibawa ke kantor samsat bukunya, Mas?”
“Besok, Bu.”
“Owh ya besok, tapi telefon dulu ya, saya takut ada di Polres”
“Siap, Bu.”
Pertemuan saya dengan Ibu Sugiarti bersamaan dengan pertemuan saya bersama bapak Ipda Supoyo. Saya menganggap Pameran Situbondo di alun-alun ini awal mula saya dekat dengan polisi.
Dengan ibu Sugiarti, beliau menceritakan salah satu program Kantor Samsat untuk membuat Pojok Baca. Agar masyarakat yang mengurus berkas-berkas membaca buku sambil menunggu berkasnya selesai. Tentu saja saya senang sekali, karena niat ini sejalan dengan program komunitas untuk meningkatkan literasi di Situbondo.
Lain halnya dengan Pak Ipda Supoyo. Dengan nada persahabatan, pria asal Jombang ini mengajak kita rokok-rokokan.
“Ayo sekarang polisi dan komunitas buku rokok-rokokan,” ucap pria yang sudah lama bertugas di Situbondo. Tentu saja tawaran tersebut kami terima. Ramainya orang yang lalu-lalang di pameran tidak mengganggu obrolan Pak Ipda dengan komunitas buku.
***
Ada tiga agenda pada hari Rabu. Menentukan tanggal bedah buku dengan Pak Kapolres, rapat dewan guru, dan mengantar buku ke kantor samsat. Saya harus pintar-pintar membagi waktu agar tidak ada yang terbengkalai. Ketiga agenda ini adalah hal penting yang harus saya ikuti. Tidak boleh satupun ada yang tertinggal. Fatal akibatnya.
Karena rapat dewan guru dimulai jam 10.00 WIB, tepat pukul 07.45 saya menghidupkan sepeda scoopy yang sudah menemani saya bertahun-tahun menjalankan gerakan literasi di Situbondo. Agak kumel tapi apa mau dikata, ini sepeda perjuangan. Harganya mungkin turun drastis tapi nilai sejarahnya melebihi harga barunya.
Saya meluncur dengan perasaan yang tak menentu. Orang yang nggak penting seperti saya, ketemu Pak Kapolres. Saya jadi ingat ucapan bapak Hoegeng. “Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.”
“Lapor dulu, Mas,” ucap penjaga gerbang Polres sesaat saya melewati gerbang.
Sepeda motor saya matikan tepat di keramaian orang-orang menyerahkan KTP. Karena lupa membawa KTP saya menyerahkan SIM.
“Mau kemana, Mas?” tanya salah satu penjaga.
“Mau ke Kantor Kapolres.”
“Kantor Kapolres?” gurat wajahnya saya tahu penjaga ini tidak percaya kalau saya hendak ketemu Pak Kapolres.
“Iya, Mas. Sudah janjian kok, Mas.” Jawab saya. Dengan cepat penjaga mengeluarkan id card berwarna kuning. Saya mendapat kartu no urut 34. Tertulis dengan huruf besar “TAMU”.
Sepeda saya hidupkan dan meluncur ke tempat parkir. Setelah meletakkan sepeda saya bertanya kantor Kapolres dengan bapak penjaga parkir. Dengan fasih bapak ini menjelaskan rutenya.
“Terima Kasih, Pak.”
“Sama-sama.”
Perasaan saya masih tak menentu, sebenarnya saya sudah membuat konsep apa yang akan saya bicarakan dengan Pak Kapolres. Belum bertemu semua itu buyar karena perasaan amburadul ini. Saya mengutuk diri saya sendiri.
Sebelum menaiki tangga, ada dua polisi yang sedang bincang-bincang.
“Permisi, Pak. Mau tanya kantor Pak Kapolres di mana?’
Sama seperti penjaga pintu masuk tadi. Polisi di hadapan saya ini tidak percaya kalau saya hendak ketemu Pak Kapolres.
“Bapak Kapolres, Mas?” Pertanyaan pertama penuh dengan tekanan.
“Iya, Pak.”
“Bapak Sigit?” kedua kalinya menekan kata Bapak Sigit.
“Iya, Pak,” Saya hendak mengeluarkan hape komunikasi saya dengan Bapak Sigit biar percaya. Belum keluar hape saya, bapak di depan memberikan rute.
“Terima kasih, Pak,” jawab saya dengan senang.
Sesampai di atas, saya kembali bertanya dengan sesorang polwan.
“Sudah janjian mas, ya?”
“Iya, Mbak.”
“Silahkan tunggu dulu di ruang tamu, Mas.” Ujar mbak berbadan tinggi sembari menyuguhkan minuman.
“Saya telefon dulu, ajudannya mas, ya,” lanjutnya.
Polwan tadi langsung mengambil hape menelefon ajudan Pak Kapolres. Selesai berbicara, polwan tersebut menuju tempat saya duduk.
“Begini, Mas. Kata pihak ajudannya, sebelumnya minta maaf, soalnya bapak tadi keluar mendadak.”
“Owh ya, mbak.”
“Mau ditunggu atau mas pulang dulu? Soalnya Bapak belum ketemu jam berapa latihan tembaknya.”
“Saya pulang dulu dah, Mbak”
“Saya minta nomer hape-nya, Mas. Nanti kalau Bapak datang saya telefon, mas.”
***
Saya kembali ke sekolah dengan terburu-buru. Rapat ini tidak bisa saya kesampingkan. Selain evaluasi Kegiatan Belajar Mengajar, rapat kali ini juga pembagian honor. Saya harus hadir di acara rapat ini. Honor tiap bulan menentukan mulut tetap bisa ngebul. Tentu saja dengan kopinya.
Belum ada satu jam kembali dari polres, gawai berbunyi dari ajudan Pak Kapolres.
“Assalamualaikum. Maaf mas, tadi Bapak ada latihan mendadak. Sekarang bapak bisa di temui.”
Maaf. Ya, kata maaf yang keluar. Entahlah. Kepala Kapolres saat ini sepertinya hendak membangun sistem. Mengubah sistem. Sistem yang lebih baik tentunya. Sistem yang dekat dengan masyarakat Situbondo. Sering saya mendengar Polres Situbondo mengadakan pertemuan tiap minggu dengan komunitas-komunitas. Tapi kata maaf yang barusan saya dengar menandakan kepolisian hendak membangun komunikasi yang baik dengan masyarakatnya. Ajudan tersebut salah satunya. Saya masih tak menyangka jika ajudan tersebut mengucapkan kata maaf. Sikap sopannya ini yang membuat saya segan banyak bicara.
“Terima Kasih, Mas. Saya langsung meluncur.” Jawab saya dengan bahagia.
Seketika saya langsung minta izin dengan kepala sekolah untuk tidak hadir pada rapat kali ini. Dan mengenai honor saya minta titipkan jika memang ada pembagian. Kepala sekolah mengiyakan permintaan saya.
Saya mengendarai sepeda dengan cepat. Terpaan angin kencang menambah suasana suka yang saya alami. Sepeda motor dan mobil yang berlalu lalang saya anggap sebagai bunga-bunga yang mengelilingi kepala saya.
Sampai di kantor ajudan tadi menyambut dan untuk kedua kalinya mengucapkan kata maaf.
“Silahkan duduk dulu, Mas. Bapak masih ada tamu.” Masih dengan nada sopan. Antara di telefon dan bertemu langsung, sikapnya masih sama.
“Owh ya, Mas.” Jawab saya dengan gugup.
Ajudan tersebut keluar dari ruang tamu. Belum satu menit, ajudan tadi muncul kembali.
“Mari, Mas. Bapak sudah tidak ada tamu.”
Saya melangkah dengan rasa gugup, masih tak percaya. Ruangan Bapak Kapolres dibuka.
Dengan rasa gugup, saya mengucapkan assalamualaikum. Kontan pak Kapolres menjawab salam saya.
“Mari. Duduk disini!” Pinta Pak Kapolres. Seketika saya duduk di tempat yang ditawarkan.
“Maaf, Mas. Tadi saya ada acara sebentar.”
Ketiga kalinya saya mendengar kata maaf. Dua dari ajudanya. Satu dari Bapak Kapolres. 
“Dari komunitas mana, nih,” tanya bapak yang memiliki nama lengkap AKBP Sigit Dany Setiyono, S.H., S.I.K., M.Sc (Eng).
Saya jawab dari Komunitas Gerakan Situbondo Membaca. Saya sampaikan juga kalau komunitas berniat mengundang Pak Kapolres untuk hadir di acara Haul Hoegeng yang sebenarnya hendak dilaksanakan bulan Juli.
“Tapi karena saya belum tahu proses administrasi di Polres, acaranya belum terlaksana” kali ini saya berbicara tidak hanya gugup, tapi terbata-bata.
“Ya itu, sebenarnya kami sudah terbuka di media sosial,” jawabnya dengan tegas.
Saya semakin yakin, di bawah kepemimpinan Pak Sigit Polres Situbondo hendak membangun sistem yang mudah untuk berkomunikasi kepada masyarakat.
“Terus kapan niatnya mau dilaksanakan?” Tanyanya dengan antusias.
“Masalah waktu terserah bapak kapan ada waktu kosong.”
“Berapa orang yang hadir?”
“Sekitar 15 orang, Pak.”
“Gimana kalau acaranya di rumah saya?”
Saya terkejut mendengar tawaran Pak Sigit. Saya menolak secara halus tawaran tersebut. Jika acara ini benar-benar terlaksana di rumah Pak Sigit saya nggak yakin yang datang benar-benar 15 orang. Meskipun kegiatan komunitas tiap minggu yang datang hanya delapan atau kurang tapi saat komunitas mengundang penulis atau mendatangkan narasumber yang masih berkaitan dengan buku biasanya lebih dari itu.
“ Nggak usah, Pak. Biar di rumah baca.”
“Di mana tempat rumah bacanya”
“Kampung Langai,vSumber Kolak, Pak.”
“Hari Selasa, tanggal 19 ya. Bakda Isya.”
“Ya, Pak,” jawab singkat.
Di sela-sela obrolan saya dan Pak Sigit, terdengar bunyi ketukan pintu. Masuk tak sengaja polisi berbadan tegak. Kemudian menutupnya kembali karena masih ada saya. Oleh Pak Sigit polisi yang mengetuk pintu tadi disarankan untuk masuk.
“Kebetulan ini dari komunitas buku,” ujar pak Sigit memperkenalkan saya pada tamu yang baru masuk. Dan saya pun mengetahui bahwa polisi yang duduk di samping kiri saya ini bertugas di kantor samsat. Tempat yang akan diresmikan untuk mendirikan Pojok Baca.
“Saya juga ingin kerja samanya dengan komunitas literasi nggak cuma sampai di sini.”
“Karena pelaku kriminal kebanyakan yang nalarnya nggak main,” lanjut Pak Sigit.
“Benar, Pak. Seperti kasus yang barusan ini Kanjeng Dimas. Korbannya banyak yang pendidikannya rendah,” sahut pria yang baru datang memulai diskusi.
“Tidak juga, Pak. Banyak juga yang pendidikan tinggi yang menjadi korban,” tapi saya urungkan untuk berbicara. Saya tahan dalam hati. Karena saya yakin masih banyak tamu di luar pintu yang menunggu untuk masuk.
“Ya dah, Pak itu aja dulu. Tapi sebelumnya saya minta foto dulu,” ujar saya memotong diskusi.
Owh mari-mari. Foto disana saja!” Dengan menunjuk pada tembok putih. Ada tulisan besar yang menempel di tembok. “Selesaikan Tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam. Jenderal Hoegeng Imam Santoso.”
Pak Sigit memanggil ajudannya untuk memfoto kita bertiga. Sekali saya difoto dengan gaya sebagaimana seorang santri yang berdiri ketika seorang kyai lewat. Kedua kalinya saya menawarkan untuk berfoto dengan tangan berbentuk huruf L.
“Huruf L itu apa, Mas?”
“Literasi, Pak.” Jawab saya dengan singkat.
“Tapi bukan literan kan?”
Kontan saja kita tertawa. Dan saya pun bahagia. []
____ 
Sumber Foto : Gerakan Situbondo Membaca

Aku, Polisi dan Buku Aku, Polisi dan Buku Reviewed by Redaksi on September 16, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar