Jejak Kenangan di Festival Argopuro (Bagian satu)

Maka saya letakkan benda berharga itu, sebagai saksi bahwa saya pernah meninggalkan jejak dan menitip kenangan di acara ini. Mereka menyebutnya, Festival Argopuro. 8 - 9 April 2016
Oleh : Moh. Imron
Maka pada suatu waktu, ketika sore akan segera singgah di Kota Situbondo, kami melaju ke arah barat dengan pickup menuju Sumbermalang. Sepanjang perjalanan kami menghabiskan canda tawa meski berdesak-desakan dan terombang-ambing akibat jalan yang tidak rata, turut mewarnai perjalanan kami. Kami bersama rombongan komunitas; Backpacker Situbondo, Situbondo Photography Ponsel (Si Ponsel), Pencinta Alam Jember, Seniberjalan, Penulis Muda Situbondo dan freelance lainnya. Setiba di tugu pintu gerbang Wisata Gunung Argopuro Desa Baderan, kami berjalan kaki.
Senja merayap di kaki langit, di jalan setapak, tanah dan rumput masih basah, mungkin sebelumnya hujan juga bertamasya di sana. Di pintu masuk area pertunjukan terdapat semacam gapura yang terbuat dari bambu bertuliskan Argopuro dengan jerami yang diikat kawat. Di sebelah kiri panggung pertunjukan, kami menyiapkan tenda beberapa teman yang lain menyalakan kompor; menyiapkan kopi dan tentu memasak nasi dengan sayur kangkung.
Malam itu, kami menikmati suguhan musik Festival Argopuro dengan instalasi panggung dengan alas jerami dan latar yang terbuat dari bambu, dihiasi ranting pohon dan sangkar burung. Panggung yang lebih terbuka, dekat dengan penonton tanpa pembatas sehingga penonton yang hadir benar-benar menikmati acara yang disuguhkan dalam Festival Argopuro dengan jarak dekat.
Memang jarang sekali hiburan digelar di pelosok desa. Meski mengutamakan gotong royong dan swadaya, memanfaatkan jaringan, mereka mampu menghadirkan musisi lokal dan luar negeri yang tergabung dalam Jaringan Festival Kampung Nusantara dan tentunya melibatkan pemuda-pemuda Situbondo khususnya di daerah Sumbermalang dan Besuki untuk terus berkarya.
Kegiatan ini bisa dikatakan sebagai ajang silaturrahmi kepada masyarakat dalam satu pementasan seni dan tentunya juga pada alam dengan melakukan penanaman pohon di sana.
Usai acara pentas seni, kami juga menikmati kuliner-kuliner dan tentunya ngopin berdiskusi hingga larut pagi.
###
Langit sudah cerah, udara dingin membangunkan saya, mata terasa berat, terlebih kurang tidur. Saya cuci muka dan santai-santai di area tenda. Para penduduk berlalu lalu lalang untuk melakukan aktivitasnya baik dengan kendaraan sepeda motor atau berjalan kaki.
Pagi itu sangat indah dengan pemandangan bukit yang dibelah sungai. Pohon-pohon tampak hijau.
“Saya ingin pergi ke sana.”
“Yuk, kita mandi di sungai.”
Pagi itu, kami putuskan untuk turun ke lembah. Saya bersama Wahyu, Ahmad Zaidi, Fikri dan saudaranya. Perjalanan menuju sudah cukup membuat keringat bercucuran. Sering juga kami berjumpa dengan penduduk yang sedang bercocok tanam.
Kami bersantai di pinggir sungai yang jernih. Ada jembatan kecil yang terbuat dari bambu, irama gemercik suara sungai membuat suasana menjadi rileks. Kami menceburkan diri di sungai. Airnya dingin. Rasanya saya merindukan masa kecil. Saya sudah tidak melakukan hal seperti ketika menginjak SMA. Oh ya, bisa jadi aliran sungai ini cukup senang tanpa harus mengangkut aneka bermacam sampah plastik seperti aliran-aliran sungai di kota.
Kami berkemas kembali dan mengabadikan keindahan alam. Sepanjang perjalanan pulang-pergi, kami bertemu lagi dengan beberapa penduduk yang melakukan aktivitas di lereng gunung, mereka ramah. Saling sapa ketika bertemu. Belasan penduduk sedang bercocok tanam. Ketika kami lewat mereka menawarkan untuk makan bersama. Kebetulan mereka sedang istirahat. Akan tetapi kami memilih melanjutkan perjalanan. Setiba di perkampungan penduduk. Perut mulai berontak minta diisi. Kami menikmati kuliner-kuliner perkampungan.
Sekitar pukul 11.00 WIB, cuaca tampak mendung. Tak lama kemudian hujan mulai turun. Kami mulai packing, kemudian kami berteduh di rumah penduduk. Meskipun hujan tidak lama, tapi sudah cukup membuat pakaian basah. Setelah azan Zuhur, kami beranjak pulang. Keadaan sudah tidak memungkinkan berlama-lama di sana. Padahal malamnya adalah pertunjukan terakhir. Kami berpamitan kepada panitia dan rekan-rekan yang masih di sana.
Setelah tiba di Kota Situbondo, rupanya pikiran saya masih tertinggal di Desa Baderan. Sungguh berat meninggal kegiatan itu yang hanya tinggal semalam. Saya masih mengingat kembali ketika menikmati musik, berkenalan dengan orang-orang baru, mengabadikan momen, obrolan yang tidak pernah ada habisnya. menukar uang dengan secangkir kopi hitam dengan gelas plastik lengkap dengan makanannya, tidur di alam terbuka, makan nasi dengan bergiliran, roti yang diberikan sahabat, pemandangan yang menakjubkan dan banyak lainnya.
Tapi setidaknya ada hal-hal kecil yang saya tinggalkan jejak di sana; kencing di dekat sumber air ketika malam dan tak ada orang yang melihatnya. Putung rokok yang telah dihisap semalam. Sampah-sampah makanan yang dibuang pada tempatnya. Jejak-jejak kaki yang telah mondar-mandir di sina. Tiba-tiba saya teringat tentang barang berharga yang sengaja saya tinggalkan atas batu dekat sungai. Barangkali barang itu juga ingin mandi lagi atau setidaknya menjadi peninggalan sejarah bahwa saya pernah singgah di tempat itu. Celana dalam. []
____ 
 Bersambung, Festival Argopuro 2 (Segera)
Jejak Kenangan di Festival Argopuro (Bagian satu) Jejak Kenangan di Festival Argopuro (Bagian satu) Reviewed by Redaksi on September 20, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar