Merindukan Pariopo, Merindukan Hujan

Maka pada suatu siang di mana matahari menyala begitu menampar, saya bersama Mas Imron kembali melakukan perjalanan, melaju dengan sepeda motor.



Ada beberapa tempat yang kami tuju saat itu. Pertama, warnet. Di sana Mas Imron butuh koneksi internet untuk memberi kabar kepada teman-teman yang janjinya akan bergabung bersama kami. Maklum saja, selain kehabisan waktu bersama dengan pacar, belio juga kehabisan paketan internet. Duh, nasibmu Maas. Kedua, kediaman Mamah Agustina. Kami menjemput Mamah Komunitas itu. Ia yang melahirkan pemuda-pemudi luar biasa—khususnya di keluarga Backpacker. Dari pintu rumahnya. Banyak pemuda yang setelah mampir ke rumah Mamah Agustina, begitu keluar dari pintu rumahnya, merasa seperti mengalami kelahiran ketiga dan aktif bergiat di komunitas. Saya dulu juga begitu. Ketiga, sekitaran kantor perpusda. Di sanalah titik temu. Titik persiapan sebelum menuju ke tempat tujuan utama, di timur. Kami akan melawat ke Asembagus.

Satu..dua..tiga.. Kesemuanya sudah didatangi. Semua teman sudah dikabari. Mamah Agustina telah bersama kami. Di antara kantor perpusda yang tutup dan menara air pada sebuah tikungan, kami bertiga menunggu. Menunggu.. Mas Imron terlihat masih sibuk menanyai posisi teman-teman, sudah makan apa belum, sedang apa dan di mana, masih lama apa tidak. Lalu yang pertama kali muncul adalah Trisno dan Mas Uwan. Duo GGS ini terlihat bersemangat. Kemudian menyusul Mas Sufi dan Mbak Windi beserta adiknya yang kata Mas Imron manis seperti permen lolipop. Saya melihat Mas Sufi berseri-seri, entah mengapa. Dengan begitu jumlah kami sudah lengkap. Tinggal bergegas. Siang itu, matahari masih menyala dan masih begitu menampar, kami berangkat.

Selama perjalanan sesekali kami berhenti. Di lampu merah Perempatan Alun-alun, di depan PG Pandjie—di lampu merah pertigaan menuju Mangaran, di SPBU Kapongan mengisi bensin, di lampu merah perempatan Kapongan—yang juga bisa dipakai sebagai jalur alternatif menuju Mangaran, di kediaman Om Agung yang telah berangkat sejak tadi bersama Mbak Aryanti Seniberjalan, dan terakhir di sebuah toko yang tidak perlu disebut namanya, persis di lampu merah di pojokan taman Asembagus. Teman-teman masuk membeli minum. Mas Imron dan Saya juga masuk, mendinginkan hati dan perasaan.

Perjalanan dari Taman Asembagus menuju Pariopo adalah bentangan kenangan bagi saya, Mas Imron, Mas Sufi dan Mas Uwan. Setahun lalu, sewaktu kali pertama Festival Pariopo dihelat, kami sempat tersasar ke bukit-bukit dengan medan yang cukup berat. Kali ini saya tidak ingin tersasar lagi. Maka pada siang yang beranjak sore itu, kami melanjutkan perjalanan sementara matahari masih menyala dan masih begitu menampar.

Sekitar sepuluh menit perjalanan dari Taman Asembagus tanpa berhenti, kami disambut gapura masuk desa Bantal. Sebentar lagi sampai, batin saya. Selang beberapa saat, kami tiba di depan Balai Desa Bantal. Di sebelah balai desa, ada sebuah jalan tidak begitu lebar, tidak begitu sempit. Jalan menuju Pariopo. Aspal yang berlubang dan berbatu menyapa kami. Selamat datang. Jangan kebut-kebutan. Rumah sakit jauh. Kami melaju pelan saja. Menikmati pemandangan. Bebukitan mulai menghijau. Langit membiru. Anak-anak awan berlarian di atas kami.

Jalan berkelok-kelok. Keadaan aspal semakin membaik. Laju motor kami percepat. Tidak sabar ingin segera sampai. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Om Agung dari arah berlawanan.
Setiba di dukuh Pariopo. Di ujung jalan beraspal, saya diikuti yang lain berhenti sejenak. Dari sini ada dua jalur yang bisa ditempuh untuk sampai di Bato Tomang, tujuan kami. Jalur pertama agak berat namun lurus saja. Jalur kedua lumayan berat, tapi nanti kami bisa menyapa penduduk dan melihat sekolah dasar yang ada di dukuh Pariopo. Mas Imron memilih jalur kedua. Semua mengiyakan.

Setelah berjuang menaklukan jalan yang lumayan berat. Kami sampai di Bato Tomang. Di sana, telah ada beberapa orang tengah duduk lesehan membincangkan sesuatu. Sebagian dari mereka yang saya tahu adalah Mas Irwan Rakhday, Mbak Aryanti dan Pak Sarwo. Kami menyalami satu-persatu yang lebih dulu hadir. Memperkenalkan diri. Nimbrung dalam obrolan yang hangat. Menyusul Bang Dedy, Mas Rony dan temannya. Obrolan seputar asal mula nama Pariopo, Cerita Damar Wulan, dan sekelumit sejarah. Kami duduk bersila. Saya duduk di sebelah Trisno, Mamah Agustina dan Mbak Aryanti. Mas Imron di dekat Mas Uwan. Mas Sufi di dekat Mbak Windy dan Adiknya. Ehem.

Seusai acara bincang-bincang, entah siapa yang memulai, sebagian dari kami dipimpin Mas Imron berjalan menuju bukit. Saya menyusul kemudian. Melihat-lihat suasana di sekitar Bato Tomang. Puas, saya segera berlari menuju teman-teman. Ikut naik ke atas bukit. Om Agung tiba-tiba datang. Seperti turun dari kayangan. Berfoto-foto. Makan-makan. Foto-foto lagi. Selesai, saya turun duluan. Sewaktu turun itu, swallow saya putus. Sepertinya ia lelah saya ajak berjalan terlalu jauh.

Dalam senja yang berjalan lambat menuju malam itu, saya sampai di bawah. Kembali ke Bato Tomang. Sementara yang lain masih asyik melanjutkan eksplorasi. Lalu Mas Ali Gardy datang bersama Mas Hewodn. Mengobrol sebentar sembari menunggu teman-teman kembali dari eksplorasi. Tak lama sewaktu selesai eksplorasi, Mamah Agustina, Mas Sufi, Mbak Windy dan Adiknya pulang duluan. Anggota yang tersisa segera ke tempat Ke Tohasan, sekretaris Lembaga Adat Pariopo. Di sebelah kediaman beliau ada sebuah mushollah yang bisa ditempati teman-teman. Magrib berkumandang. Hari berlalu petang.

Lepas magrib, kami disuguhi kopi. Saya mencari Om Agung dan Mbak Aryanti. Biar bisa ngopi bareng. Ketemu. Mereka tengah mengobrol dengan warga. Saya ikut nimbrung. Ada Mas Prayudho juga. Mas satunya lagi lupa namanya, belio yang jadi presenter nantinya. Masuk lebih dalam dengan obrolan, menjadi pendengar yang baik, saya jadi lupa dengan kopi yang tadi disuguhkan. Barulah sewaktu obrolan berakhir, saya jadi teringat sesuatu. Kopi. Mana kopi? Beruntung Om Agung segera kembali ke kediaman ke Tohasan lantas kembali dengan membawa kopi. Om Agung jadi penyelamat. Duh, Om. Kami ngopinya bertiga saja. Saya, Om Agung dan Mbak Aryanti. Mas Imron lalu datang bergabung. Trisno dan Mas Uwan juga. Berkat duo GGS ini kami jadi ingat untuk foto-foto lagi. Cekrek!

Kopi belum habis. Om Agung mengajak kami untuk segera pindah ke Bato Tomang. Acara gelar seni (Ini istilah saya sendiri. Hehe) sudah dimulai. Lagu-lagu dangdut terdengar mengalun lembut. Lang-ngo.

Acara masih diisi dengan dangdutan sewaktu kami tiba di lokasi. Om Agung segera menghampar alas untuk kami duduki. Kopi kembali dituang. Disesap perlahan. Glek! Pikiran kami bergoyang. Hati kami bergoyang. Semuanya bergoyang. Manis sekali.

Selesai dangdutan. Obor-obor dinyalakan di sekitar panggung. Suasana mendadak berubah berbau magis. Saya merinding. Dan… Suara-suara itu seperti muncul dari rahim bebukitan di sekeliling. Suara itu berasal dari alat musik tradisional Pariopo: Pa’beng. Belum usai, suasana berganti lagi dengan pembacaan puisi yang dibacakan oleh Mas Dedy, Mas Rony, Mas Uwan, Mas Imron dan Trisno bergiliran, ditambah bunyi alat-alat yang dimainkan Mas Ali Gardy dan Mas Hewodn. Saya dan segenap orang-orang Pariopo yang hadir malam itu terkesima. Dalam puncak kekaguman saya itu, acara usai. Kami kembali dangdutan. Suasana perlahan kembali seperti semula. Sebelum akhirnya ditutup dengan salam budaya: hookyaa.

Sebenarnya acara masih akan dilanjutkan esoknya dengan Pojhian Hodo, ritual meminta hujan. Namun saya, Mas Imron, Trisno Dan Mas Uwan berhalangan ikut. Kami harus pulang, kembali ke rumah malam itu juga. Sayang sekali.

Sebelum pulang kami mengisi perut yang mulai kosong di kediaman Ke Tohasan. Mengobrol sebentar. Lalu pamit. Menyusuri gelap dan jalanan yang sepi. Dalam perjalanan saya merasakan dingin yang menusuk. Semakin jauh meninggalkan Pariopo. Pariopo yang merindukan hujan.

pemandangan Pariopo yang indah beserta kenangan Sufi di dalamnya

Merindukan Pariopo, Merindukan Hujan Merindukan Pariopo, Merindukan Hujan Reviewed by Zaidi on November 17, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar