Cerpen - Dendam Amba



Raja siang tepat di atas ubun-ubun. Namun, bagi Amba yang sedang menanggung malu dan kecewa, karena cintanya ditampik Bisma secara terang-terangan—Bisma menolak diajak nikah oleh Amba. Hingga sengatan matahari pun tak dirasakannya panas, sebab barangkali panasnya matahahari terkalahkan oleh gelegak jiwanya yang lagi terbakar, terbakar karena dendam dan kebencian terhadap Bisma.
Oleh : Agus Hiplunudin
Amba pun mulai dilanda lelah, dan hatinya dilanda putus asa, sebab usahanya sia-sia belaka, sekian lamanya dirinya mencari para kesatria tuk membunuh Bisma. Namun, Bisma tak pula terbunuh, dan nyatanya; semua kesatria yang mencoba membunuh Bisma, bukannya Bisma yang terbunuh, melainkan kesatria tersebut yang menemui ajalnya.
Amba masuk jauh kedalam hutan, di sana, dirinya bertemu dengan para petapa yang tersohor akan kesalehan dan kedekatannya pada Dewata. Kata Amba; “Coba tuan-tuan bayangkan, Bisma mengambilku dari ayahku, Raja Kasi. Namun, karena ia seorang brahmacarin ia menolak menikahiku, dan kini semua lelaki tak ada yang mau menjadi suamiku, sebab takut dan malu pada Bisma. Kini, betapa malu dan pedihnya hatiku, karena Bisma; aku menjadi perawan tua.” Dan para petapa yang mendengar cerita Amba turut merasakan apa yang dirasakan sang putri jelita, Amba. Para petapa itu menyarankan Amba tuk menemui Parasurama—seorang petapa sakti pilih tanding. Amba pun mengikuti saran mereka.
Bertemulah Amba dengan Parasurama di pertapaannya, dan Parasurama tergerak hatinya setelah mendengar cerita Amba, pula Parasurama secara pribadi dirinya membenci para kesatria, karena menurutnya; para kesatria terlalu mudah mengucapkan sumpah, hingga karena sumpahnya itu, tak jarang para kesatria mengorbankan orang lain, dan sumpah kesatria merupakan bentuk arogansi dan keegoisan mereka tuk mempertahankan status sosial yang mereka sandang, kata Parasurama; “Anakku, Amba. Jika engkau mau. Aku bisa mendatangi Bisma, dan memintanya tuk menikahimu.” Kata Amba; “Bapak, Parasurama. Aku tak lagi menginginkan pernikahan itu. Hanya satu keinginanku, yakni kematian Bisma.”
Karena terpanggil jiwanya, Parasurama pun mendatangi Hastinapura, dan menantang Bisma tuk bertarung dengannya. Pertarungkan terjadi dan sengit, hingga yang menyaksikan tak dapat menebak siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah, tujuh hari tujuh malam berlalu. Namun, di antara mereka belum ada yang limbung, pada hari keempat belas, barulah Bisma dapat mengalahkan Parasurama.
Parasurama pun kembali kepertapaannya dan berkata pada Amba; “Putriku, aku harus mengakui keunggulan Bisma, dan saranku; kembalilah engkau padanya, ikutilah kata-katanya, sebab itulah hal yang paling masuk akal yang dapat engkau lakukan.” Kata Amba, “Tidak Bapak. Aku tak akan kembali ke Hastinapura, bagaimana mungkin aku hidup bersama orang yang paling aku benci.”
Akhirnya Amba undur diri dari pertapaan Parasurama, tak jauh dari situ—Amba melakukan tapabrata yang amat kerasnya memohon pada Dewa Subrahma[1] tuk melampiaskan kebenciannya pada Bisma. Dewa Subrahma pun turun ke dunia dan memberikan sebuah kalung teratai pada Amba, kata Dewa Subrahma; “Siapa pun yang memakai kalung teratai ini, ia akan menjadi musuh utama Bisma.” Setelah berucap demikian Dewa Subrahma kembali menghilang.
Penuh riang gembira, Amba beranjak dari tapabratanya, mencari kesatria yang mau memakai kalung teratai pemberian Dewa Subrahma tersebut. Namun, setiap kesatria yang ditemui Amba, mereka menolak memakai kalung bunga teratai itu karena ciut duluan jika harus berhadapan dengan Bisma. Dalam keputus asaan Amba menemui Raja Drupada yang terkenal sakti dan bijaksana. Tetapi, lagi-lagi Raja Drupada pun menolak memakai kalung bunga itu. Dalam riuh kekecewaan, Amba meninggalkan Raja Drupada dan menggantungkan kalung bunga teratai di pintu gerbang istana. Sekian lamanya kalung teratai tersebut tergantung di sana, tak ada seorang pun yang berani menyentuhnya, sebab rasa takut dan getir bila harus menjadi musuh Bisma.
Amba berjalan tertatih menuju Himalaya, tempat Maha Dewa bersemayam. Di sana, ia kembali melakoni tapabrata  amat beratnya, hingga langit dan bumi berguncang dengan hebat, dan munculah Dewa Syiwa di hadapannya, atas cinta kasih Dewa Syiwa, Amba diperkenankan tuk membunuh Bisma. Namun, bukan sekarang, melainkan pada kehidupan yang akan datang, ketika Amba reinkarnasi—terlahir kembali dari kematiannya sebagai manusia. Sebab, tak sabar menunggu reinkarnasinya, Amba pun membuat api unggun besar, dan menjatuhkan diri kedalamnya.
*
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan terus berganti, dan tahun-tahun pun terus berlalu tiada terhenti, hingga orang-orang tak lagi membicarakan kisah kepahitan asmara Amba yang terluka karena Bisma. Begitu pula dengan kalung teratai milik Amba pemberian dari Dewa Subrahma masih tergantung di pintu gerbang keranjaan Pancala, di mana Raja Drupada sebagai parabunya.
Pada sebuah senja yang jelita, tampak pasang burung ekor kipas saling berkejaran, terbang dari sebuah dahan dan hinggap di dahan lainnya. Srikandi yang jelita tak jemu-jemunya memperhatiakan pasang burung ekor kipas tersebut di ambang pintu gerbang istana Pancala. Namun, mata indah sang putri pada akhirnya merasa bosan juga, dan pandangannya ia alihkan pada pintu gerbang istana, tampaklah olehnya sebuah kalung bunga teratai tergantung di sana, dan diambilah kalung bunga teratai tersebut, lantas ia kalungkan ke lehernya yang putih dan jenyjang. Setelah itu, ia berlari ke dalam istana dan menemui ayahandanya, Raja Drupada, kata Srikandi; “Ayahanda, lihatlah leherku, kalung bunga teratai ini, sejiwa dengan kulitku.” Bukan main terkejutnya Raja Drupada, dan katanya; “Srikandi, engkau telah melakukan kesalahan besar, tindakanmu amat ceroboh, tahukah engkau? Bahwa siapa saja yang memakai kalung bunga teratai tersebut secara otomatis telah menjadi musuh Bisma yang agung, dan kini engkau; hidup dalam suatu bahaya besar.” Atas kecerobohan putrinya itu, Raja Drupada amat marah padanya, dan menghukum Srikandi dengan cara membuangnya ke dalam sebuah hutan.
Srikandi amat bersedih hati—ia tak menyangka hanya karena memakai sebuah kalung bunga teratai yang indah, Ayahandanya begitu memurkai dirinya, hingga membuang dirinya ke dalam sebuah hutan yang tersohor karena angkernya. Untuk mengurangi kelaraan jiwanya, Srikandi pun melakukan tapabrata di sana. Namun, atas kuasa Dewata, Srikandi yang cantik jelita, alat kelaminnya berubah, dari perempuan menjadi laki-laki, tetapi kecantikannya tak berubah sedikitpun.
*
Malam itu, malam kesembilan, dan esoknya, hari kesepuluh dari perang besar Baratayuda[2] di padang Kulusetra, karena Bisma berperan sebagai maha senapatih di pihak Kurawa tuk menumpas pihak Pandawa, karenanya Bisma merupakan orang paling capek di pihak Kurawa. Barangkali karena lelah, selekas diskusi membicarakan perihal susunan prajurit dan pola serangan yang akan dilancarkan besok tuk menghancurkan pihak lawan—bisma langsung masuk kedalam tendanya dan tidur pulas di sana.
Dini hari, sebelum para keluarga Kuru, para raja koalisi, dan para prajuritnya terbangun dari lelap tidurnya. Namun, Bisma telah terjaga, kesatria tua itu duduk tercenung dalam tenda di bibir tikarnya, mimpi barusan layaknya sebuah kenyataan, Amba datang mengujunginya dan mengalungkan padanya sebuah kalung dari untayan bunga teratai, Bisma mengerti; sebentar lagi sebuah karma akan menemuinya, dan Bisma teringat; bahwa kalung teratai tersebut dipakai oleh Srikandi.
Pada hari kesepuh, ketika matahari semburatnya mulai membias di langit timur. Segenap pasukan Kurawa yang dipimpin langsung oleh Bisma telah bersiap dan berhadap-hadapan dengan balatentara Pandawa yang dipimpin oleh Dristadyumna putra sulung Raja Drupada. Tak lama berselang matahari ke-sepuluh dari perang menampakkan wajahnya, menandakan waktu perang telah datang, baik pasukan Kurawa maupun pasukan Pandawa berbarengan mengibarkan bendera panji-panji keperkasaan dan yel-yel kemenangan, menuip terompet yang tebuat dari tanduk lembu, gading gajah, dan kerang. Selanjutnya; kedua pasukan pun segera bertemu, dan saling bunuh antara satu dengan yang lainnya, dalam waktu relatif singkat padang Kulusetra telah dibanjiri darah, tubuh bergelimpangan dalam keadaan kepala terlepas dan mayat berserakan.
Tampak; dengan gagahnya Arjuna di dalam kereta kudanya membidikkan anak panahnya pada kakeknya sendiri, Bisma. Anak panah Arjuna pun melesat dengan kecepatan kilat. Namun, bisma yang pilih tanding mudah saja menangkis anak panah itu dengan perisainya. Sedangkan Srikandi yang berdiri di depan Arjuna tak tinggal diam, ia segera mengambil gendewa dan anak panahnya, dipentangkan ke arah Bisma, hingga sebuah anak panah Srikandi mengenai dada Bisma. Bisma mengerang, matanya yang selalu teduh berubah liar seperti seekor benteng yang hendak menubruk lawannya, Bisa seperti hendak melumat Srikandi. Namun, Bisma segera menguasai diri, dan ia tak mau menyerang balik pada Srikandi, sebab sesungguhnya Srikandi terlahir sebagai perempuan, dan pantang bagi seorang kesatria membunuh perempuan di medan peperangan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Arjuna, ia terus menerus menghujani Bisma dengan anak panahnya, sedangkan Arjuna bersembunyi ke tubuhnya Srikandi tiap kali Bisma membidikkan panah padanya, dan itu, membuat Bisma mengurungkan serangannya pada Arjuna.
Hingga pada akhirnya puluhan atau bahkan ratusan panah Arjuna menghujam sekujur tubuh Bisma. Namun, Bisma seorang tangguh, dan dia tegar, sebab dirinya mengetahui bahwa hari itu, merupakan hari kematiannya. Dalam keadaan sekujur tubuh dipenuhi anak panah Arjuna dan Srikandi, Bisma turun dari kereta kudanya, dan melemparkan sebuah tombak pada Arjuna. Namun, serangan Bisma telah kehilangan tajinya, dengan mudah tombak tersebut ditangkap oleh tangan kiri Arjuna. Tubuh Bisma terkulai. Namun tubuhnya tak menyentuh tanah, sebab ribuan panah menopang tubuhnya itu.
Langit mendung, para manusia dan para dewa tertunduk sedih dan menangis, menyaksikan detik-detik kematian pahlawan besar, Bisma. Ketika Bisma gugur para dewa turun dari langit ke bumi, mereka menaburkan bebungaan ke atas tubuh Bisma yang memancarkan cahaya, dan menebarkan wangi sumerbak—sebagai penanda bahwa dirinya masuk surga. Disaat semua orang menangis melepaskan kepergian Bisma ke alam abadi. Tetapi, lain halnya dengan Srikandi, ia tersenyum, dan gurat lesung pipinya, mewarisi keindahan gurat lesung pipi Amba—seorang perempuan yang terluka hatinya oleh Bisma.
Selesai
[1] Dewa Subrahma, yakni Dewa yang memiliki enam wajah
[2] Baratayuda, merupakan perang besar antara Pandawa (keluarga Puru, Pandu) dan Kurawa (keluarga Kuru, Destarata)
Yogyakarta, 23 September 2016
___
TENTANG PENULIS
Agus Hiplunudin, Pria Kelahiran 1986, buku pertamanya berjudul “Politik Gender”. Cerpennya telah dimuat diberbagai media massa, kumpulan cerpen terbarunya; “Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut, 2018”.






Cerpen - Dendam Amba Cerpen - Dendam Amba Reviewed by takanta on Januari 28, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar