Cerpen - Fragmen Nalea


Aku mencarimu di desa Ensifera dan Wintersia, di lorong-lorong Parco Ducalo, di Bukit Citadella, di balik bangunan kota Karelia, di setiap keping reruntuhan Woolwich, di Sungai Serayu, Terminal Tawang Alun Jember dan terakhir di Stasiun Banyuwangi Baru. Selama perjalanan berhari-hari tersebut, aku hanya menemukan gerbong-gerbong kereta serta masinis yang terkantuk-kantuk di tengah kabut malam.
Aku memutuskan pulang, menumpang kereta jurusan Banyuwangi-Situbondo.
“Mau kemana, Mas?” Bapak-bapak mengenakan kupluk bertanya, sejak tadi aku yang duduk disampingnya hanya diam. Saat itu udara teramat dingin meski berada di dalam kereta yang sedang melaju kencang. Melesat bagai anak panah.
“Menemui seseorang, Pak.”
“Pacar?” Bapak itu semakin ‘kepo’ bertanya. Tapi tak mengapa, untuk membunuh dingin kusempatkan mengobrol dengannya. Tidak terasa obrolan kami sampai pada kisahmu, bagaimana aku mengenalmu, memakumu dalam ingatan sampai bagaimana aku mencintaimu. Cinta yang mematahkan segala bentuk teori cinta pada umumnya.
“Ah, Mas ini ada-ada saja.” Bapak itu tertawa pelan, “Mas jangan terlalu sentimental terhadap hasil imajinasi seseorang.”
Aku tersinggung, langsung melabrak bapak sialan itu. “Bukankah Bapak juga hasil imajinasi saya? Percakapan kita, kereta, masinis, rel serta setiap benda di sekeliling kita, bukankah hanya hasil imajinasi saya. Kurang ajar mengatai saya sentimental!” Aku menarik kerah Bapak tidak tahu terimakasih itu, mengeluarkannya dari cerita.
Setelah beberapa jam ditemani kesunyian, kereta tiba di Stasiun Situbondo. Aku satu-satunya penumpang yang turun di sini. Sekejap, kereta leyap dari pandangan. Kenapa demikian? Karena sebenarnya tidak ada kereta jurusan Banyuwangi-Situbondo. Lagi-lagi menggunakan otoritasku sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam cerita, aku mengada-ada. Ternyata memiliki kekuasaan nyaman juga, pantas saja orang-orang memperebutkannya.
Sepertinya usahaku akan menemui jalan buntu, tebing terjal, jurang dan apapun istilah untuk menggambarkan aku harus berhenti. Aku tetap meneruskan pencarianku dengan mengenakan sandal putus asa. Di tengah keputusasaan, aku memberanikan diri meminjam pintu kemana saja milik Doraemon, bertanya kepada Oxymora, Isara, Dukun Voodoo, Alesia, dokter Manisha, Kunnaila, Chiodos, Nehalenia, Galopa, Miden, Subale, Cartesia dan semua tokoh yang hidup rukun dalam kumpulan cerpen Sarelgaz.
“Di mana Nalea?”
Semuanya membisu. Aku bergegas kembali pulang.
Haruskah aku berhenti di sini? Tidak. Aku lupa pada satu orang: Janelle. Kuputuskan untuk menulis surat.
Janelle, aku sudah menerima suratmu. Membacanya membuatku menangis. Nah, sekarang sebagai balasan, aku akan bertanya satu hal padamu. Di mana Nalea? Kau pasti mengenalnya kan? Aku ingin menemuinya. Kutunggu balasan suratmu secepatnya.
Salah satu dari sekian penerima suratmu.
Kulipat suratku, kukirimkan ke kantor pos. Mereka pasti tahu caranya mengirim suratku. Reputasi Janelle cukup mengesankan, ia sempat menempati halaman utama New York Times selama beberapa pekan. Lantaran suratnya yang tersebar luas hingga Antartika. Membuat Penguin dan Beruang Kutub kesal. “Kenapa manusia mengirimi kita surat padahal mereka tahu kita tidak bisa membaca.”
Hingga suatu hari pintu rumahku diketuk.
Saat kubuka, seorang wanita berdiri di sana. Ia mengenakan kacamata, rambutnya dikuncir. Wanita ini cantik, pikirku. Lihatlah saat ia tersenyum, gigi gingsulnya mencabik-cabik perasaanku. Ia mengenakan pakaian dengan nuansa sederhana. Celana jins ketat, kaos lengan panjang warna hitam. Jika saja itu kau, Nalea, aku akan menikahinya.
“Hai.” dia melambaikan tangannya ke arah wajahku.
“Siapa kau?”
“Aku Janelle. Kau yang ingin bertemu dengan Nalea, bukan?”
Sungguh sayang, namanya Janelle. Nama yang kurang bagus, aku tidak begitu suka meski cantiknya Janelle tak terkata. Aku tidak ingin mencintai hanya karena wanita itu cantik, aku bukan pemuja fisik.
“Dari mana…”
“Bukankah kau mengirimiku surat? Aku tahu alamatmu dari sana, dengan sedikit bantuan Pak Pos.” Dia tersenyum lagi.
“Masuklah.”
Janelle bercerita panjang lebar bagaimana perjalanannya menemuiku. Sesekali tertawa, menangis. Janelle minta maaaf karena tidak tahu tentangmu. Justru dia ingin menemuiku seperti aku ingin menemuimu. Hanya saja terbalik, dia dari dunia cerpen aku dari dunia nyata. Kami sama-sama gilanya, memasuki dunia yang sama sekali berbeda, tak sejajar, tidak ekuivalen. Dan di akhir percakapan kami, Janelle menciumku. Lalu pulang kembali ke alam asalnya. Jika saja kau tidak pernah ada, mungkin aku akan menikahinya.
Pintu rumah diketuk lagi, kali ini lebih keras.
“Tadaa!”
Bapak-bapak yang di awal cerita kukeluarkan, kembali lagi, tiba-tiba muncul di hadapanku. Ah, sial! Aku menghadapi tokoh yang keras kepala, susah dikeluarkan. Dia terbahak-bahak melihatku keheranan.
“Saya tidak terima. Saya akan memberitahu kabar konyol ini ke semua orang, hewan, tumbuhan, dan setiap benda. Biar tidak ada yang bersedia membantumu. Rasakan!” lalu dia menghilang.
Akibatnya, seluruh semesta menertawakanku. Beruntung mereka tidak melempariku dengan batu. Semua orang mencariku. Mereka protes gara-gara perbuatanku semesta tidak seimbang, planet-planet tetangga menjadi gila, seisi semesta kacau. Mereka menangkapku, melemparku ke dalam mesin penghancur energi-materi. Aku lenyap seketika.
Nalea, benarkah aku sudah gila?
____
Penulis : Ahmad Zaidi, Situbondo
Catatan: Terinspirasi dari kumcer Sarelgaz dan beberapa cerpen karya Sungging Raga. 
Cerpen - Fragmen Nalea Cerpen - Fragmen Nalea Reviewed by takanta on Januari 14, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar