Memvisualkan Literasi Menjadi Budaya


Literasi menjadi faktor penentu kemajuan peradaban suatu bangsa. Bangsa yang cerdas dan mau berpikir adalah bangsa yang selalu ingin mengetahui tentang ilmu. Sejatinya ilmu tak akan datang jika tidak dicari dengan upaya keras. Seperti membaca buku atau diskusi. Intelektual merupakan kau cedikiawan yang menjadi akar-akar berdirinya peradaban.

Oleh : Baiq Cynthia
Soekarno pernah berujar, “Beri aku sepuluh pemuda akan kuguncangkan dunia.”
Peran pemuda sangat menentukan nasib bangsa. Bangsa yang besar tak lepas dari pengorbanan pemuda dalam menumbuhkan semangat juang literasi. Fakta mengejutkan tentang minat baca. Bangsa Indonesia menerima penilaian yang minus dari peneliti asing. Pada tahun 2016, Central Connecticut State University (CCSU) merilis hasil penelitian mereka bertajuk The World’s Most Literate Nation atau urutan negera paling terliterasi di dunia. Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 Negara dunia yang diteliti. Posisi yang sangat mencengangkan. Sekaligus miris, dari segi kacamata literasi.
Tak berhenti di sana akses buku masih menjadi hal yang sulit bagi masyarakat menengah ke bawah. Penuturan Moh Imron selaku penggiat literasi Situbondo. “Setiap berkunjung ke perpustakaan, tidak ada buku-buku yang ‘menarik’ untuk dibaca. Dalam artian yang lebih dominan buku-buku terbitan lama. Baginya, Pemerintah masih kurang kreatif menggalakkan literasi. Bagi sebagian pemuda akan sangat membosankan. Terlebih sudah jengah dengan beberapa tugas. Berurusan dengan buku, kemudian bukunya tidak ada yang menarik.
Minat baca pemuda tidak lagi tinggi, di era gandrungnya teknologi dan dunia visual yang lebih memikat. Seperti video klip atau film. Akses buku yang sulit. Harga buku sangat sulit dijangkau. Tidak ada kebaruan dari buku-buku yang disediakan pada perpustakaan umum kota Situbondo. Hanya ada satu-dua orang yang benar-benar menjadi pelahap kata. Mengoleksi banyak bacaan berbobot. Tak lebih dari ‘butuh’ untuk pemuda yang minjam buku saat diadakan lesehan baca. Mereka dari kalangan pemuda membaca buku yang sesuai dengan hobi juga passionnya. Seperti yang hobi fotografi akan meminjam buku bacaan yang menunjang.
Tak hanya itu bagi beberapa mahasiswa maupun pelajar yang berkunjung di perpustakaan sekedar mencari buku untuk referensi mengerjakan tugas.” Imam Sofyan selaku penggerak Gerakan Situbondo Membaca, mengaku kesulitan mendapatkan banyak pengunjung yang hadir pada setiap acara bedah buku maupun ulasan buku. Beliau pun tak tanggung-tanggung mendatangkan penulis dari luar kota untuk mengajak pemuda lebih tertarik dengan dunia buku bacaan.
Tahun 2017 bulan Mei, Perpustakaan Nasional mengadakan Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Provinsi dan kabupaten/kota 2017, termasuk kota Situbondo. Dihadiri oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari kepala dinas kearsipan, pemerintah, ketua penggerak PKK, Guru, Toko Agama, Pelajar juga mahasiswa. Di forum tersebut dipaparkan 88, 1 juta orang yang mengakses internet tahun 2012. Pada tahun 2016 melonjak  menjadi 132, 7 Jt, persentase terbanyak pengguna medsos, disusul download dan game terakhir online shop.
Dari sini saya bisa menyimpulkan minat baca pemuda rendah. Sebagai sampel tentang menurunnya literasi pada intelektual muda. Lalu, apa yang mendasari?
Pertama mereka cenderung berlama-lama di depan gadget. Demi mengeksplore dirinya melalui dimensi visual. Tak jarang rata-rata pengguna gadget menggungkannya rata-rata 5 jam setiap hari. Tapi, terobosan baru yang diadakan oleh Perpusnas seperti diterbitkan jurnal dalam bentuk e-book. Bisa diakses dengan mudah melalui aplikasi seperti I-pusnas, I-Jurnal juga I-Jakarta. Sebagai sarana mempermudah akses buku yang mahal. Juga mempercepat menyebarkan arus informasi. Meninggikan kembali angka literasi di Indonesia. Selain mengurangi kegiatan banyak penebangan pohon demi kertas. Solusi yang ditawarkan oleh lembaga ini cukup membantu kalangan pengguna gadget.
Tapi, ketimpangan sosial masih terjadi. Tidak semua penduduk menggunakan gadget. Bahkan banyak yang lebih suka membaca secara fisik daripada nonfisik. Inovasi baru untuk menggairahkan pemuda membaca buku, selain hadirnya perpustakaan keliling. Mengoptimalisasi, caption-caption tentang isi buku. Membangun komunitas membaca buku dengan cepat. Tanpa mengurangi esensi buku.
Kedepannya pemuda tidak terlalu mempermasalahkan tentang akses buku lagi. Tinggal praktek membiasakan diri membaca cepat. Memberi tantangan kepada diri sendiri minimal membaca satu buku sehari. Lalu, memvisualisasikan isi buku. Mengajak banyak masyarakat lebih berlomba-lomba update tentang buku. Dari situ akan muncul budaya membaca yang baru. Melalui visual atau memvisualkan. 
Memvisualkan Literasi Menjadi Budaya Memvisualkan Literasi Menjadi Budaya Reviewed by takanta on Januari 22, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar