Sudut Pandang Marketing Politik; 30 Persen Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen Antara Harapan dan Kenyataan di Pileg 2019



Oleh : Agus Hiplunudin
Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen, hal itu menandakan bahwa selama ini politik masih berwajah maskulinitas (kelaki-lakian) sehingga politik begitu tidak peka gender. Fakta menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya berkisar 10 persen. Sejak digelar pemilu pertama di tahun 1955-2004. Perlu digaris bawahi prestasi tertinggi diperoleh dari Pemilu 1987 yang menempatkan 65 orang perempuan dari 500 anggota DPR, artinya keterwakilan perempuan di parleman menjangkau angka (13 %), dan pada pemilu 1999 yang dianggap terbuka, transparan, dan demokratis hanya mengantarkan 45 orang perempuan ke kursi parlemen itu artinya hanya (9 %) saja. Fakta ini mencerminkan keadaan perempuan Indonesia di ranah politik yang masih saja terpinggirkan perannya. Fakta secara nasional ini bisa mengarah kepada penarikan benang merah bahwa perempuan di Indonesia dianggap tidak begitu penting untuk memasuki ranah politik.
Sementara fakta terbaru hasil pileg 2014 menunjukkan hanya 17 persen saja perempuan yang duduk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Padahal telah direalisasika; dimana satu perempuan di setiap tiga laki-laki calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini tentunya dibuat oleh KPU dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota—guna mengejar 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Sementara dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa keterwakilan 30 persen berlaku di tingkat pusat kepengurusan parpol. Hal ini dirasakan kurang peka gender, sebab dengan peraturan tersebut caleg perempuan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota akan cenderung tersingkirkan oleh caleg laki-laki. Hal ini menuai polemik dimana Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) menyoal keterwakilan 30 persen perempuan dianggap menyalahi UU No 17/2017 tentang Pemilu tersebut, KPU menginginkan keterwakilan perempuan hingga kabupaten/kota.
Logikanya pada pemilu 2014 PKPU mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam partai politik dari pusat hingga daerah; namun keterwakilan perempuan di parlemen hanya menjangkau angka 17 persen. Apa lagi jika 30 persen keterwakilan perempuan dalam partai politik hanya berlaku pada tataran pusat saja, tentunya ini akan melemahkan caleg perempuan pada pileg 2019 mendatang. Dapat diasumsikan keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen hasil pileg 2019 tidak akan tercapai. Boleh dibilang 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen antara harapan dan kenyataan. Harapannya keterwakilan perempuan mencapai angka 30 persen, namun kenyataannya tetap saja jauh dari angka tersebut.
Lantas; Bagaimanakah seharusnya perempuan berpolitik, agar keterwakilan mereka paling tidak mencapai 30 persen di parlemen dari hasil pileg 2019?
Pertanyaan di atas akan dicarikan jawabannya dari sudut pandang marketing politik.  Marketing merupakan kajian ilmu manajemen, yang mengupas mengenai bagaimana suatu prodak dipasarkan, begitu pula dalam politik, sebab politik pada akhirnya menghasilkan suatu prodak, atau tepatnya prodak politik. prodak politik tersebut di antaranya; para pimpinan bangsa dari mulai arena lokal hingga nasional atau bahkan internasional, ideologi dan program partai politik pun merupakan sekelumit dari prodak politik itu tak terkecuali keterwakilan perempuan dalam parlemen. Atas karenanya prodak-prodak politik tersebut harus dipasarkan agar mendapat penerimaan dari konsumen (publik) atau para pemilih, voters. Jelasnya marketing politik merupakan strategi pemesaran politik kepada publik; marketing politik merupakan perkawinan antara ilmu marketing (dalam terminologi ekonomi) dan ilmu politik. Agar para kandidat perempuan bergeliat dalam bidang politik senada dengan yang dikemukakan Hary yang dituangkan dalam bukunya: Political Marketing Partai Politik Baru—maka mereka harus melakukan marketing politik dengan cara.
Pertama, Pemasaran Langsung Kepada Calon Pemilih (Push Political Marketing) Push Political Marketing merupakan pemasaran produk politik secara langsung ke calon pemilih. Strategi ini lebih berfokus pada isu-isu yang penting bagi para electorate dan bukan hanya menjual kandidat atau partai sebagai sebuah komunitas. Pesan komunikasi pada strategi ini bisa disampaikan secara langsung oleh kandidat atau partai, tapi bisa juga melalui relawan yang datang membagikan brosur, flyer, sticker dan sebagainya. Relawan inilah yang bertugas untuk mengumpulkan data yang berupa persepsi electorate, mengukur pengaruh pesan dan mencatat perubahan dalam sikap dan perilaku electorate. Dalam pemilihan tingkat nasional, strategi ini adalah hal yang paling sulit dilakukan mengingat membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Namun untuk pemilihan lokal cara ini cukup mudah untuk dilakukan.
Kedua, Pemasaran Melalui Media Massa (Pull Political Marketing) Pull Political Marketing adalah strategi yang paling banyak digunakan oleh partai dan kandidat. Penyampaian pesan strategi ini dilakukan melalui media massa baik elektronik, cetak, luar ruang, mobile dan internet. Strategi ini mempunyai kelebihan dapat membombardir pesan kepada khalayak, namun kurang dapat terukur efektivitasnya. Karena membutuhkan biaya yang sangat besar, strategi ini biasanya dilakukan oleh partai atau kandidat kaya atau mempunyai dana kampanye yang banyak.
Ketiga, Pemasaran Malalui Tokoh, Kelompok atau Organisasi Berpengaruh (Pass Political Marketing) Strategi yang terakhir adalah pass political marketing, strategi ini penyampaian pesan dilakukan melalui individu, kelompok atau organisasi yang mempunyai pengaruh. Strategi ini memerlukan kehati-hatian dalam melakukannya karena jika terjadi kesalahan maka akan berakibat fatal (pesan komunikasi tidak akan diterima) bahkan ditolak. Cara-cara pendekatan dan lobbying pada strategi ini perlu disesuaikan dengan tipe-tipe individu, kelompok dan organisasinya. Tidak bisa satu “transaksi” digunakan untuk semua.
Merketing politik di atas merupakan strategi untuk meraih suara di pileg 2019. Namun pertanyaan yang kemudian muncul: Mampukah para kandidat perempuan melakukannya?
Secara tradisional hambatan perempuan dalam politik biasanya (1) tabu bagi perempuan beraktivitas di luar rumah terlalu lama, sebab perempuan memiliki tugas-tugas domestik (rumah) dan harus melayani suami dan anak. (2) kapasitas perempuan tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan uang—jika mereka mengeluarkan uang terlebih dahulu harus dapat ijin dari suami. (3) mengenai kepemilikan harta; biasanya perempuan lebih miskin dari laki-laki. Jika ketiga hal tersebut dimiliki oleh para caleg perempuan maka dipileg 2019 secara otomatis perempuan tidaklah mungkin secara maksimal melakukan marketing politik. Namun, jika para kandidat perempuan terbebas dari tiga hal tersebut di atas maka perempuan akan mampu melakukan marketing politik secara maksimal. Karena itu tidak-lah berlebihan jika 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen hasil pileg 2019 berada antara harapan dan kenyataan.
Kendati demikian kaum perempuan harus menyingsingkan lengan baju—guna menyuarakan suara mereka dalam perlemen. Keterlibatan perempuan dalam bidang politik merupakan salah satu perwujudan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tentunya tertuang dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak politik perempuan yang menyatakan bahwa: 1). Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. 2). Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3). Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Dalam hal ini perempuan tidak terkecuali.

Rujukan
Hary, Perdana Inco. 2012. Political Marketing Partai Politik Baru Menuju Pemilu 2014. Studi Kasus Strategi Pemenangan Partai Nasdem, Tesis. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia
Undang-undan Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Biodata Penulis
Penulis adalah pengarang buku “POLITIK GENDER DAN BUKU POLITIK ERA DIGITAL” adapun tulisannya terkait perempuan yang telah dimuat: (1) Masil Lemahnya Peran Politik Perempuan di Pileg 2019, (2) Rumah Sumber Penderitaan bagi Perempuan, dan (3) Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria, dipublikasi oleh Takanta.Id. Kini penulis bermukim di Perum Persada Banten Blok D3 No.1, Kelurahan Teritih, RT 06/07 Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Banten. Email : agus.hiplunudin@yahoo.com. Fb : Agus Hiplunudin. Phone : 081-774-220-4.


Sudut Pandang Marketing Politik; 30 Persen Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen Antara Harapan dan Kenyataan di Pileg 2019 Sudut Pandang Marketing Politik; 30 Persen Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen Antara Harapan dan Kenyataan di Pileg 2019 Reviewed by takanta on Maret 22, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar