Cerpen Gelisah



Ia adalah seorang pria biasa yang lahir di akhir abad milenial. Tumbuh dalam wacana kehidupan peralihan antara tradisionalisme desa dan sekularisme modern kota. Perjalanan hidup dari hari ke hari telah membawanya pada kejenuhan tentang kecenderungan hidup yang membosankan—terikat dan menjadi orang kalah terus-menerus.
Dalam salah satu bagian cerita tatkala ia masih bersekolah hingga jenjang kuliah, ada kebebasan tanpa beban yang membuatnya amat senang, dan bisa dibilang itulah fase hidup paling bahagia yang pernah dirasakannya. Namun usia mengajaknya untuk memikul tanggung jawab, hingga akhirnya ia juga merasa gelisah karena ternyata semua yang dialaminya semasa belajar ialah omong kosong belaka—amat sukar dan diajarkan begitu mewahnya, begitu mahalnya.  Tapi kemewahan itu hanya untuk membeli keajegan nasib, yang akhirnya tak membawanya pada rasa kebebasan dan kebahagiaan yang terbersit dalam idealisme panjangnya, tatkala cahaya mudanya masih berpedar di ufuk timur.
Semua tentang kebosanannya memang bermula karena takdir menggariskannya tidak terlahir sebagai anak konglomerat. Ia harus merangkak sendirian, naik dari dasar anak tangga untuk meraih imajinasi tentang tempat dan status yang tinggi di masyarakatnya. Hal itulah yang membuatnya begitu cengeng di kemudian hari, labil dan egoistik. Mungkin ia juga termasuk bagian dari budak sistem kapitalis yang konsumtif.
Dan amat jelas tentunya, bahwa langkah karirnya harus di awali dari level paling bawah. Level yang membuatnya harus diperintah, dan taat perintah. Level dimana ia merasa terus diawasi, harus berkata iya—tanpa boleh membantah, begitu terpenjara oleh ketentuan, bahkan harus berada dalam puncak kondisi takut tidak dapat hidup—takut dipecat, dan takut tidak dianggap sebagai seseorang yang berperan bagi dunia. Traumatik seperti inilah yang sedikit banyak membentuk persepsi dalam dirinya dikemudian hari.
Bahwa tanpa kursi dalam pekerjaan, hidupmu akan terasa tiada berguna, bagaikan benda mati belaka, yang bisa dikenakan sekehendak hati oleh yang membelinya. Kursi kuasa adalah segalanya. Sehingga jika kamu mendapatkan kursi dimanapun juga, kursi itu harus dipertahankan dengan cara apapun dan bagaimanapun juga. Karena itu kunci keselamatan.
Dalam perasaan tertindas dizalimi, sebagai bawahan, jangankan dia, siapapun juga pasti akan mulai membangun perlawanan atas nama harga diri pribadinya, walaupun respons itu bukanlah respon untuk melawan lingkungan tempatnya bekerja. Ia merespons dengan cara untuk cepat-cepat berpindah kerja ataupun naik posisi. Tentu perjuangan yang mahal harus dilakukan, meski sebagian dari kawannya melakukan cara-cara kotor dalam persaingan yang tidak sehat. Tapi dia merasa tidak perlu membuat sejarah yang begitu kotor dalam upayanya untuk menjadi orang yang lebih tinggi.
Kenelangsaan memang akan terus terjadi sampai, pintu kenaikan pangkat itu berada digenggaman tangan.
“Rasanya orang mudah mencanangkan keinginannya begitu saja. Tapi ia tidak akan dengan mudah mendapatkan keinginan itu, tanpa melakukan apa-apa.” Begitu kata pria yang kuceritakan ini, sekali waktu saat ia benar-benar jenuh atas apa yang diusahakannya.
Kalau memang sepotong roti di hotel mewah hanya bisa dinikmati oleh orang kaya saja dengan uangnya yang lebih. Maka mendapatkan posisi yang lebih baik juga harus ditempuh sama mahalnya sebagaimana orang-orang kaya membeli sepotong roti itu dengan uangnya.

Ia memang tidak punya uang, tapi tekad keras kepalanya. Dan rasa kebosanannya, mau tidak mau telah mendorong semangat yang amat sempurna. Hingga akhirnya dia bisa pamer di akun instagramnya, tatkala ia mendapatkan tempat kerja baru di sebuah perusahaan migas di Cepu. Meski masih akan merasakan pahit getirnya menjadi bawahan dari atasannya, tapi kini dia sudah menjadi atasan dari bawahannya. Perjuangan tiga tahunnya, dengan penuh menahan rasa, tidak sia-sia juga. Di perusahaan baru ini, ia tidak hanya punya kuasa, tapi akses kesejahteraan juga akan merubah sedikit banyak cara pergaulan dan life style-nya di keseharian.
“Kalau kamu ingin kaya jadilah pengusaha, tapi kalau kamu ingin menjadi orang yang damai, jadilah aparatur negara.” Jika kamu terpaksa jadi buruh swasta, maka jangan sedikitpun kamu lengah, menunjukkan sikap berleha-leha. Selalulah waspada, di kanan dan di kirimu yang mungkin bersahabat itu, mereka adalah mangsa atau pemangsamu, untuk kepentingan mereka sendiri-sendiri. [ * ]
***

Biodata Penulis
Sukartono asli Blora, Jawa Tengah. Lulusan Matematika Universitas Airlangga. Menulis cerpen untuk news.unair.ac.id dan di blog pribadi sukartono.web.id. Sekarang sebagai karyawan swasta, dan admin web komunitas www.dibidikmisi.com.

Cerpen Gelisah Cerpen Gelisah Reviewed by takanta on April 01, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar