Cerpen Manuk Puter


Sapa è bhârâ' ro
Manu' puter ca'-loncaan
Ta' ènga' lambâ' ro
Ècapo' niser kapèkkèran
Maka pada siang yang cerah, Klarita mendapati manuk puter tergeletak lemah tak berdaya di halaman rumahnya. Klarita memeriksa manuk puter. Ada sebagian tubuhnya terluka, seperti terkena tembak, sebagian bulu sayapnya rontok, tapi masih hidup.
Klarita membawa manuk puter itu. Ia menemui kakeknya untuk meminta pertolongan. Tentu saja permintaan Klarita akan dipenuhi. Sebab Klarita satu-satunya cucu yang dibanggakan sang kakek.
"Kek, aku butuh obat untuk manuk puter ini," ujar Klarita sembari menunjukkan manuk yang dipegangnya.
"Bagaimana kalau kita membuat dan meracik bersama? Biar nak Klarita juga bisa belajar."
"Baik, Kek."
"Kakek siapkan peralatannya dan nak Klarita membeli bahan-bahan toga yang dibutuhkan di pasar."
Untuk sementara Klarita meletakkan manuk itu dalam sebuah rantang. Ia merasa kasihan sama manuk itu.
Klarita mengamati manuk puter sembari membayangkan bagaimana rasanya terluka, terlebih manuk itu sudah tidak bisa terbang, tentu saja juga tidak bisa mencari makan. Bisa-bisa mati. Mungkin saja manuk itu akan kehilangan keluarga, saudara, atau teman-temannya. Atau justru keluarga manuk puter itu akan resah ketika manuk puter yang terluka tidak kembali pulang. Mungkin juga manuk itu sedang ingin bertemu dengan kekasihnya, kemudian ditengah jalan suatu musibah datang. Tentu saja kekasih yang menunggu akan dipenuhi rasa cemas. Atau mungkin manuk itu sedang mencari makan untuk bertahan hidup. Klarita hanya bisa berandai-andai seperti itu.
Klarita juga teringat cerita kyai saat masih mengaji di sebuah langgar. Tentang pasukan tentara yang dipimpin Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah. Akan tetapi serangan itu digagalkan oleh burung ababil. Klarita beranggapan; barangkali burung ini juga mempunyai misi kebaikan. Walau bagaimanapun manuk puter adalah sejenis burung ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup.
"Kasihan manuk ini," tiba-tiba Klarita berbicara sendiri. Ia berniat merawat dengan baik hingga sembuh.
Dulu, ketika masih kecil, Klarita sering mendengar suara manuk puter juga suara manuk lainnya. Terutama saat pagi, kadang juga sore. Di halaman rumah Klarita terdapat empat pohon kelapa. Pohon-pohon kelapa itu menjadi sarang manuk puter. Akan tetapi keempat pohon kelapa itu sudah ditebang. Karena pohon itu berbatasan dengan jalan dan sewaktu-waktu kelapa jatuh dengan sendirinya takut menimpa pengendara dan pejalan kaki.
Klarita juga sering diajak kakak sepupunya beserta kawan-kawan lelaki lainnya untuk berburu manuk dengan senapan. Hasil tangkapan utama adalah manuk puter, juga manuk kecil lainnya. Pernah juga Klarita diajak menangkap manuk puter dengan menggunakan alat pancing manuk. Terbuat dari dua bambu yang diiris seperti lidi, disilangkan, kemudian diberi benang agar membentuk cekung, di tengahnya diberi jagung yang diikat dengan benang. Dan terakhir ada benang yang kuat, dibuat melingkar sebesar bola tenis. Beberapa pancing manuk yang dibuat diletakkan di beberapa titik tengah sawah. Ketika manuk puter makan biji jagung itu, maka lehernya akan terikat benang. Selain menangkap burung kadang juga berhasil menangkap tupai. Dari hasil tangkapan itu biasanya digoreng dengan bumbu khas kampung. Tapi itu dulu.
Tentu ketika Klarita remaja sudah tidak bisa menikmati momen seperti dulu, mengingat manuk puter mulai punah di kampungnya. Ia tidak berburu lagi. Tentu saja ia tidak ingin menyakiti.
Setelah manuk puter diobati, Klarita sempat memesan sangkar manuk kepada tetangganya. Sangkar yang dipesan Klarita selesai dalam dua hari. Sangkarnya terbuat dari bambu, tampak sederhana.
Hari-hari berikutnya Klarita rutin memberi obat dan manuk itu rupanya masih bertahan hidup. Klarita juga rutin memberi makan, minum setiap pagi dan sore. Hingga manuk puter itu perlahan berangsur pulih. Klarita tampak senang.
“Manuknya sudah sembuh, Kek.”
“Syukurlah.”
“Nanti akan aku lepas lagi.”
“Kudengar suaranya bagus.”
“Iya.”
“Kenapa tidak dipelihara saja?”
“Tidak, Kek. Biarlah manuk itu terbang ke mana pun yang disukai. Biar juga ketemu dengan keluarganya.”
“Begitu.”
“Aku rindu ayah dan ibu, Kek. Ingin bertemu.”
“Doakan saja. Ayah dan ibu akan selalu baik-baik saja di sisi-NyA.” Sembari mengelus pundak Klarita.
Pada suatu pagi yang cerah, awan tampak menggantung, terdengar suara aneka manuk di sekitaran rumah Klarita, terutama di pekarangan yang banyak bambunya dan pohon kesambi. Angin berhembus pelan. Berbagi suasa dingin dan udara segar. Beberapa daun kering berjatuhan.
Klarita duduk di atas lincak, Ia meletakkan sangkar yang di dalam terdapat manuk puter di sebelahnya. Ia berencana melepas manuk puter. Ia menatap lekat-lekat manuk puter. Manuk itu berwarna misty. Di lehernya terdapat warna hitam yang melingkar, seperti cincin.
Klarita tampak mematung. Entahlah. Mungkin Klarita teringat kekasihnya, Saydi. Sosok lelaki yang pernah hinggap di hatinya. Apalagi Klarita pernah bermain ke rumah Saydi, pada saat itu, Saydi sedang memberi pakan manuk perkutu milik ayahnya.
“Jika aku jadi burung, aku tidak akan terbang ke mana-mana. Aku akan selalu hinggap di hatimu.”
Tentu saja Klarita akan tersenyum saat itu. Tapi saat ini, Klarita harus melepas kekasihnya itu meskipun dirinya masih cinta. Memang sudah lama Klarita berpacaran dengan Saydi. Dan Klarita meminta Saydi untuk segera bertunangan. Apalagi berita sudah tersebar di desanya. Sebab di desa tempat tinggal Klarita, akan menjadi aib keluarga jika tidak melibatkan kedua orangtuanya bertemu, dalam arti bertunangan.
Klarita menghela napas dalam-dalam. Sembari membuka pintu sangkar. Klarita membiarkan manuk itu berjalan melewati pintu. Kemudian terbang.
Klarita mendongak, mengamati ke mana manuk puter itu terbang, hingga lenyap ditelan pohon-pohon.
Kalau kita lihat wajah Klarita dengan jarak yang dekat, ia tampak tersenyum. Rambutnya kriting menggantung, beberapa helai rambutnya menutupi matanya. Tak lama kemudian wajah itu berganti murung. Seperti ingat sesuatu. Sesuatu yang berat untuk dilepaskan.
Dan Klarita menangis. []

Biodata Penulis
Moh. Imron tinggal di Situbondo, aktif di Backpacker Situbondo.
Cerpen Manuk Puter Cerpen Manuk Puter Reviewed by Redaksi on April 29, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar