Cerpen : Percakapan Malam Hari



Oleh: Alif Febriyantoro

“Apa yang akan kau lakukan ketika suatu saat aku ketahuan selingkuh?”
Tanya seorang suami kepada istrinya. Di sebuah malam yang dingin. Di hadapan meja bundar yang memamerkan secangkir kopi.
“Kau sungguh menanyakan hal itu kepadaku?”
“Tentu saja.”
“Aku tidak tahu.”
“Tapi kau harus menjawabnya.”
“Apa yang membuatmu menanyakan hal itu? Apakah kau ingin menikah lagi?”
“Dan apa yang akan kau lakukan ketika aku ingin menikah lagi?”
Sang istri memasang wajah yang tidak biasa. Ia seperti ingin melemparkan cangkir yang berisi kopi itu ke kepala suaminya. Tapi ia tak melakukannya.
“Kau sudah gila?”
“Justru aku jauh dari kata gila ketika aku bertanya seperti itu.”
“Lalu apa maksudmu?”
“Entahlah.”
“Kau ini bagaimana!”
“Aku hanya ingin bertanya saja. Karena kita tidak tahu, ada kejadian apa di hari-hari yang akan datang.”
“Tapi tolonglah jangan bahas hal ini. Kita baru saja menikah. Dan pernikahan kita belum genap berumur seminggu.”
“Tapi ada sesuatu yang membuatku bertanya-tanya. Tentang segala bentuk keyakinan yang harus kita bicarakan.”
“Ketika kau melamarku, bukankah kau telah meyakini bahwa menikahiku adalah pilihanmu?”
“Bukan tentang itu, Sayang.”
“Lalu?”
“Kau tahu, aku bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini. Dan aku adalah seorang manajer. Dan sekretaris-sekretaris di sana banyak yang lebih cantik darimu.”
“Kau terlalu jujur, Sayang.”
“Tentu aku harus jujur.”
“Lalu apa yang harus kita bahas?”
Sang suami mulai meminum kopi yang sejak tadi berdiam diri di tengah-tengah percakapan mereka. Ia rasakan pahit dan manis yang begitu pas. Kini sepasang mata mereka saling bertukar sorotan. Masuk ke dalam sebuah ruang yang paling sunyi daripada kesedihan.
“Hem ya... jadi bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Ya... jika aku ketahuan selingkuh.”
“Kau berniat selingkuh atau kau takut jika kau ketahuan selingkuh?”
“Tidak ada yang aku takutkan.”
“Lalu ke arah mana tanda tanyamu itu?”
Sang suami menarik napas dalam-dalam. Dan ia melenturkan lidahnya, agar kalimat-kalimat yang keluar selanjutnya akan lebih mudah dipahami oleh istrinya.
“Coba kita sama-sama membayangkan, suatu saat nanti, ketika kita telah mempunyai anak, dua atau tiga. Dan mereka semua telah tumbuh dengan kasih sayang yang kita berikan. Coba kau bayangkan, di saat itu, kau menemukan diriku tengah selingkuh dengan wanita lain. Dan ketika hal itu terjadi, apa yang akan kau lakukan?”
Sejenak sang istri terdiam cukup lama. Seakan-akan waktu berjalan dengan lambat. Ia seperti tak ingin menjawab pertanyaan suaminya. Tapi terkadang sesuatu dalam hatinya memaksanya untuk menjawab pertanyaan itu sebagai salah satu perjanjian yang akan mereka sepakati bersama.
“Semua wanita yang telah bersuami pasti akan memilih untuk berpisah.”
“Lalu bagaimana dengan anak-anak?”
“Biarkan mereka memilih untuk tinggal dengan siapa.”
“Maksudnya, bagaimana perasaan mereka ketika mengetahui orangtuanya berpisah?”
“Ya... itu salahmu, suruh siapa selingkuh. Makanya jangan sampai selingkuh.”
“Maksudmu jangan sampai ketahuan selingkuh?”
“Kau ingin mengujiku atau bagaimana?”
“Sama sekali tak ada niatan untuk mengujimu.”
“Tapi ini semua terkesan seperti kau ingin menguji kesabaranku.”
Jam terpojok di angka 11. Di ruang tengah itu, bersama cicak-cicak di dinding, bersama lampu yang terangnya terbatas, bersama kertas-kertas yang berserakan, sepasang suami-istri itu tampak duduk tak nyaman. Mata mereka terbuka lebar-lebar. Kadang, sang istri menunduk. Kadang, sang suami menatap langit-langit.
“Sudahlah... mending kita tidur. Ini sudah larut,” ucap sang istri kemudian.
“Tapi kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku sudah menjawabnya. Aku pilih cerai!”
“Itu bukan jawaban. Tapi itu tindakan.”
 “Aku yakin, jika masalah ini berlanjut, sampai subuh kita tidak akan tidur!”
“Ini bukan masalah. Tapi ini bertujuan untuk mencegah masalah.”
“Kan... kau mulai bicara dengan logika-logikamu.”
“Tapi aku serius.”
“Andai kita ini adalah tokoh dalam sebuah film, mungkin sang sutradara ingin aku membunuhmu!”
“Tapi kita nyata.”
“Dan apa yang akan dilakukan oleh tokoh yang nyata?”
“Sebelum kau minta cerai, aku lebih dulu akan menceraikanmu.”
“Oh, begitu?”
“Ya.”
“Kurasa aku akan minta cerai malam ini!”
Angin di luar seperti ingin memasuki rumah mereka untuk mendinginkan suasana yang tengah mereka alami. Tapi sang suami sejenak menarik ujung bibirnya, kemudian ia tertawa kecil.
“Apa yang kau tertawakan?”
“Aku hanya bingung dengan wajahmu, ketika kau tampak marah.”
“Kau tahu, aku mencintaimu,” lanjut sang suami.
“Dan?”
“Tapi bukan tidak mungkin, suatu hari nanti aku akan selingkuh.”
“Jadi intinya apa?”
“Kau benar-benar ingin cerai ketika aku selingkuh?”
“Ya. Tentu saja!”
“Apakah kau sanggup?”
“Aku malah membayangkan kau tak akan sekuat itu ketika menghadapi kenyataan yang pahit,” lanjut sang suami.
“Nah, maka dari itu, yang perlu kau lakukan hanyalah berusaha supaya kejadian yang pahit itu tidak terjadi.”
“Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin.”
“Baiklah. Kurasa pembahasan ini sudah selesai.”
Sekarang, bagi mereka, waktu terasa cepat berlalu. Kopi itu sudah dingin. Perasaan mereka sudah menjadi satu dalam irama.
“Tapi....”
“Masih ada lagi?”
“Aku belum bercerita tentang mimpiku.”
“Semenjak aku mengenalmu, dan sampai saat ini ketika kau duduk di hadapanku sebagai suamiku, aku belum pernah mendengar kau bercerita tentang apa yang kau mimpikan.”
“Maka ceritakanlah, aku akan menjadi pendengar yang baik.”
“Apakah kau ingat, di pesta pernikahan kita, ketika kita berdua duduk di kursi pelaminan, aku sempat mencium keningmu dan berkata, ‘Aku mencintaimu.’ Kau tahu, pada saat itu aku benar-benar merasa takut.”
“Aku takut mengecewakanmu,” lanjut sang suami.
“Takut mengecewakanku?”
“Ya. Semalam sebelum pesta pernikahan kita, aku bermimpi.”
“Lalu apa yang kau mimpikan?”
Sang suami kembali menggenggam gagang cangkir kopinya. Tapi ia tak sadar kalau kopinya ternyata sudah habis. Kemudian ia atur cara bernapasnya, ia pelankan suaranya.
“Dalam mimpiku itu, aku menemukan seorang wanita berjalan ke arahku. Sebelumnya aku tak sadar jika itu adalah dirimu. Tapi ketika kau mulai berkata, ‘Salmaaan... kau tak mencintaiku lagi?’ Dan kau mulai menangis. Setelah itu tiba-tiba kau pergi meninggalkanku. Dalam mimpiku itu, aku bertanya, apa yang salah? Dan aku melihat ke arah samping, seorang wanita lain sedang menggandeng lenganku dengan mesra.”
Sang istri terdiam sejenak.
“Jadi... mimpi ini yang membuatmu bertanya-tanya?”
“Kata orang, mimpi adalah juga seperti takdir.”
“Kau percaya itu?”
“Tentu saja aku tidak percaya.”
“Lalu kenapa kau merasa takut?”
“Aku hanya takut mengecewakanmu.”
“Hidup ini terlalu mudah bagi kita yang sama-sama sudah saling mengerti satu sama lain. Aku percaya padamu, kau tahu itu. Dan kau tahu, aku juga mencintaimu. Maka sebaik-baiknya ketakutan adalah tentang bagaimana kau meyakini bahwa kau tak akan pernah mengecewakanku.”
“Akhirnya, kau bisa juga berkata-kata bijak.”
“Kau merendahkanku?”
“Tidak. Aku mencintaimu, Amalia.”
Di ruang tengah itu penuh dengan tawa dan bahagia. Seakan-akan mereka seperti lahir kembali ke dunia. Hidup memang diciptakan untuk keindahan. Sepasang suami-istri itu kemudian saling memeluk. Tampak mesra. Sungguh indah. Siapa yang tak merasa bahagia ketika hidup bersama dengan orang yang kita cintai?
***
Dua tahun kemudian mereka mempunyai anak. Dua gadis kecil. Raina dan Ralina. Tapi sebenarnya apa yang mereka pikirkan ketika menamai kedua anak kembarnya itu?
“Kita sudah punya anak. Kebahagiaanku sungguh bertambah besar,” ucap sang istri di sebuah malam yang hangat, ketika duduk di hadapan meja bundar, juga di hadapan suaminya.
“Oh ya, ada yang ingin kutanyakan,” lanjutnya.
“Apa? Jangan bilang kau ingin mengulang pertanyaanku dua tahun yang lalu.”
“Bukan kok.”
“Jadi apa yang ingin kau tanyakan?”
Sang istri mengambil napas dalam-dalam. Ia lembutkan suaranya, “Apa yang akan kau lakukan ketika kau tahu anak kembar itu bukanlah darah dagingmu?”
Sejenak sang suami terdiam, kemudian ia membalikkan badan. Ia melotot tajam ke arah anak kembar yang dibiarkan duduk di sebuah karpet depan televisi. Ketika anak kembar itu melihat cara ayahnya menatap, mereka yang belum mempunyai gigi itu kemudian tertawa dan memukul-mukul pahanya sendiri. Lucu Sekali.
“Kau sungguh menanyakan hal itu kepadaku?”
“Ya. Tentu saja.”
“Aku akan tetap mencintaimu, Amalia.” (*)
Jember, 2018
Alif Febriyantoro, kelahiran 23 Februari 1996, asal Situbondo. Suka melamun.

Cerpen : Percakapan Malam Hari Cerpen : Percakapan Malam Hari Reviewed by Redaksi on Mei 27, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar