Cerpen Pledoi Jagung



Cerpen Eko Setyawan
Apakah hatimu pernah terguncang seperti halnya sebuah kapal yang tersapu gelombang besar. Ombak yang bergulung-gulung menabrak kapal dengan terus menerus lalu kau ditimpa kecemasan yang begitu mendalam. Keyakinanmu goyah, kau dirundung gelisah. Merasakan ketakutan dan ketegangan entah kapan akan berakhir. Apakah kau pernah merasakannya?
Mungkin saja kau pernah merasakannya. Sama sepertiku yang dirundung kegelisahan hingga saat ini. Merasa bersalah atas apa yang ditimpakan orang lain kepadaku. Seperti halnya kapal yang mungkin akan tenggelam di tengah-tengah badai atau seperti seekor tikus yang menjadi korban perumpamaan manusia yang serakah. Suka merugikan manusia lainnya. Betapa sakit hati jika kau menjadi tikus. Kau dijadikan olok-olokan oleh bangsa manusia yang kejam itu. Mereka melontarkan kata-kata sesuka hatinya.
Aku menyesal menjadi jagung. Kau tahu kenapa?
Sebelumnya memang tak menjadi masalah ketika diriku harus dihadapkan dan ditanam oleh manusia. Di ladang-ladang, tubuhku disebar untuk melahirkan anak-anakku dan diriku yang baru. Manusia-manusia itu berharap banyak padaku juga kawan-kawan sebangsaku. Mereka menanam di berbagai tempat dan memanfaatkanku sesuka hati mereka.
Tapi akhir-akhir ini, entah mengapa mereka membenciku. Serupa membenci agama yang tak sepaham dengan agama mereka. Apa mereka kira, aku seperti agama manusia yang bisa dibenci karena tidak berkenaan dengan keinginan hati mereka. Sungguh biadab. Mereka tak ada bedanya dengan iblis yang diciptakan Tuhan untuk menyebarkan kebencian.
***
Semua kebencian manusia terhadap bangsaku dimulai ketika mereka melakukan upacara di pekuburan desa mereka. Saban awal bulan Sura, mereka melakukan bersih desa sekaligus membersihkan kompleks pemakaman yang ada di desa. Membersihkan ilalang, daun kering, juga rumput-rumput yang menghuni di areal pekuburan.
Mereka semua bergotong-royong membersihkan tanah pekuburan yang di dalamnya dihuni oleh kerabat atau keluarga mereka. Mungkin saja, mereka beranggapan bahwa kerabat atau keluarga mereka yang tertanam di dalam tanah pekuburan itu merasa penuh sesak dan terganggu dengan adanya berbagai macam tumbuhan dan ilalang. Mayat-mayat itu dianggap kegerahan di dalamnya sehingga perlu dibersihkan atap rumahnya. Mungkin saja manusia-manusia berpikir begitu. Entahlah. Tetapi mengapa mereka menanam bangsaku di areal pemakaman ini. Aneh memang, untuk apa pula orang yang sudah tentram di alamnya mereka urusi.
“Kita harus melakukan upacara di sini,” kata seseorang dari mereka. Tinggi badannya  setara dengan pohon yang kami huni. Kulitnya kecoklatan serupa bangsa buah sawo.
“Untuk apa?” timpal seseorang yang memiliki rambut serupa rambutku yang sudah menua. Bedanya rambutnya lebih hitam. Panjang dan serupa jelaga.
“Ya untuk menghargai para leluhur kita,” kata orang yang tubuhnya setinggi badan kami itu lagi.
Orang-orang yang lain menyimak apa yang dikatakan oleh orang itu. Mereka mendengar dengan seksama dan mengangguk tanda setuju dengan yang yang diucapkan lelaki berkulit coklat. Mereka merasa perlu menghormati leluhur mereka. Terlebih lagi, di pintu masuk pekuburan ini ada pohon beringin yang besar dan rindang. Besarnya kira-kira sama dengan rentangan tangan lima manusia. Daun yang menghijau sepanjang tahun juga melindungi pekuburan itu dari panas. Jika sore hari tiba, daun-daun itu juga menutupi tubuhku. Serupa dekapan seorang ibu pada anaknya.
Pohon itu memang sudah lama di sini, jika kutaksir umurnya, berlipat-lipat banyak sekali dari umur kami. Mungkin tak bisa terhitung. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya akar-akar yang menggantung di ranting-ranting dan tubuh pohon. Besar akar-akar yang menggantung itu lebih besar dari tubuh kami bahkan meskipun umur kami yang telah mencapai usia maksimal dan hampir mati.
“Benar katamu, kurasa kita memang perlu melakukan upacara di sini. Paling tidak untuk menghormati orang tua kita yang sudah mati, juga para tetua kita yang menjaga desa kita,” kata salah satu dari mereka yang lain. Kali ini tubuhnya cukup besar. Seperti anyaman bambu yang sering digunakan untuk tempat wadah kami ketika dipanen, “kita harus melakukannya. Secepatnya. Sebelum bulan Sura ini habis.”
Semua orang yang ada di pekuburan itu setuju. Anggukan kepala serempak sebagai tanda untuk meyakinkan diri. Mereka memutuskan untuk segera melakukan upacara. Lalu mereka berkumpul di bawah pohon beringin untuk membahas apa saja yang akan mereka berikan pada leluhur mereka. Selain rapalan doa-doa untuk mendoakan para leluhur, mereka juga akan menyiapkan berbagai makanan yang sedianya digunakan untuk mengantar doa-doa itu agar sampai dan diterima oleh Gusti Allah.
Mereka berkumpul dan duduk melingkar sebelah barat pohon. Hal itu sengaja dilakukan untuk berlindung dari terik matahari yang mulai merayap di sisi timur. Ada yang duduk beralaskan sandal mereka, ada yang beralaskan daun, duduk di akar-akar pohon, ada pula yang duduk tanpa alas. Bokong mereka langsung menempel di tanah dan hanya berbatasan dengan celana mereka.
“Apa yang akan kita lakukan untuk mengirim doa pada leluhur kita?” tanya salah satu dari mereka yang sepertinya memiliki kuasa.
Seketika orang-orang yang semula riuh itu terdiam. Mereka seolah ketakutan dengan apa yang sedang mereka hadapi. Ada yang bersuara setengah berbisik di antara mereka. Tetapi hanya samar-samar dan tak kudengan dengan jelas.
“Begini pak RT, sebaiknya kita menyediakan sesaji dan beraneka ragam jenis makanan sebagai penghantar doa,” lelaki berkulit kecoklatan itu lagi yang berbicara. Darinya aku mengetahui bahwa yang memulai pembicaraan dan orang yang memiliki kuasa itu bernama pak RT.
Lagi-lagi terdengar suara riuh serupa dengung lebah yang sering menyesap daun-daunku. Mereka menggumam hebat dan menimbulkan suara yang sangat tak kumengerti. Suara-suara itu saling berkaitan dan bertautan serupa angin yang menerpa daunku ketika musim panen tiba. Suara kerisak yang begitu keras dan tak beraturan.
“Sesaji macam apa itu pak Tohir?” tanya lelaki bertubuh gempal. Ia duduk di akar yang menonjol keluar dari tanah. Dari bibirnya terlihat mencibir. “Sekarang sedang tidak musim tanaman yang bisa dibuat sesaji.”
“Iya pak Tohir, kira-kira apa yang cocok buat sesaji?” tanya yang lain. Wajahnya tidak terlihat. Hanya punggungnya saja yang kulihat dari sini. Ia membelakangi rerimbunan bangsa kami.
Kerumunan itu kembali hening. Mereka tampak sedang berpikir keras. Wajah mereka terlihat seperti orang yang sedang gelisah. Urat-urat di kelapa mereka menonjol. Hingga akhirnya orang yang dipanggil pak RT itu kembali berbicara.
“Di desa kita, jagung-jagung sudah mulai menua dan siap dipanen. Bagimana jika jagung-jagung itu yang kita gunakan sebagai sesaji penghantar doa-doa di kuburan ini?”
“Setuju, pak,” kata seseorang yang lain, “lagi pula, di desa kita banyak sekali yang menanam pohong jagung. Sepertinya juga sudah siap panen. Bisa kita gunakan sebagian untuk dibuat sesaji. Lagi pula, sesaji itu nanti sebagian besar juga akan kita makan sendiri.”
Mereka semua mengangguk tanda setuju dengan apa yang telah diusulkan. Kembali riuh menyergap kerumunan itu. Suara-suara kembali mendengung diiringi suara burung-burung yang hinggap dan bersarang di rerimbunan daun-daun. Ada seekor cerpelai yang terbang dari pohon kamboja dan hinggap di pohon beringin itu.
Kesepakatan telah dibuat dan disetujui bersama. Tiga hari lagi upacara itu akan dilaksanakan. Tepat setelah bulan Sura memasuki hari tujuh. Warga percaya bahwa angka tujuh merupakan angka yang keramat. Sehingga segala hal akan menjadi lebih sakral dan khusyuk. Warga berbondong-bondong menyiapkan segala hal yang dibutuhkan. Tentu saja hal yang paling pertama dilakukan adalah memanen jagung-jagung yang mereka tanam. Tapi aku tak tersentuh. Karena umurku memang masih terlalu muda untuk dipanen.
***
Segala hal yang dibutuhkan untuk sesaji telah siap. Beragam olahan jagung telah terhidang di tampah-tampah yang terbuat dari bambu. Sebagian lain dibungkus daun pisang. Olahan disusun rapi serupa makam-makam yang berderet dengan linier. Ada pula yang ditumpuk menyerupai gundukan tanah pemakaman di sini. Padat dan tentu saja berwarna kecoklatan.
Mereka menyusun aneka sesaji dibawah pohon beringin. Disampingnya ada bermacam bunga dan beraneka ragam warnanya. Lalu seorang yang berpakaian hitam mendekat. Ia berkumis agak keputihan, berambut putih, serta memakai ikat kepala yang bermotif hitam kecoklat-coklatan. Aku menatapnya lekat-lekat.
Semua orang mulai berkerumun di sekitar orang berpakaian hitam itu. Mereka mengelilinginya dengan menundukkan kepala. Bibir orang berpakaian hitam itu pun mulai berkomat-kamit. Aku tak tahu apa yang ia ucapkan, tetapi semua orang berseru “amin” secara berulang-ulang dengan tempo yang seirama. Lalu diakhiri dengan basuhan kedua telapak tangan pada muka mereka.
Aneka makanan yang digunakan sesaji itu pun dibagikan ke seluruh orang yang datang. Makanan dari jagung itu diberikan kepada semua orang yang mau menerimanya. Alhasil, orang-orang tak sabar dan saling berebut untuk mendapatkannya. Mereka semua percaya bahwa makanan sesaji yang telah didoakan akan membawa berkah. Mereka berebut dan berusaha memperoleh banyak olahan yang terbuat dari jagung itu.
Orang yang dipanggil pak Tohir itu nampak begitu bahagia. Wajahnya berseri-seri seperti sedang mendapat keberuntungan. Ia mendapat banyak makanan dari upacara itu. Ia pun membawanya pulang dan membagi-bagi makanannya pada keluarga. Tetapi ternyata anaknya yang telah lama tak ada di kampung ini menolak pemberian makanan darinya. Sudah lama anak pak Tohir bersekolah di kota, ia hanya sesekali pulang ke kampungnya.
“Makanan itu tidak berkah pak. Haram. Itu namanya musyrik,” kata anak itu pada pak Tohir.
“Apa maksudmu, nak?” tanya pak Tohir pada anaknya yang begitu aneh.
“Tentu saja, pak. Asalkan bapak tahu. Seluruh warga desa ini telah menyembah pohon dan itu dilarang agama.”
“Kami tidak menyembah pohon. Kami semua hanya mengirimkan doa pada para leluhur,” sahut pak Tohir dengan geram.
“Tidak pak. Itu semua salah,” bantah anaknya.
Mereka berdua pun bertengkar hebat. Warga kaget melihatnya. Mereka tidak mengerti apa yang telah terjadi pada bapak dan anak itu. Tetapi mereka tak mampu berbuat banyak. Mereka hanya memandang dari kejauhan dan tak ingin terlibat dalam pertengkaran bapak dan anaknya.
Tapi keadaan semakin memanas. Anak itu semakin keras kepala dan mengatakan bahwa sesaji itu tidak akan ia makan. Ia tidak mau memakan yang berkaitan dengan kemusyrikan. Begitulah katanya terus-menerus. Selalu diulang-ulang terus-menerus dan semakin membuat keadaan menjadi kacau. Tiba-tiba hal mengejutkan terjadi, anak itu menghardik seluruh warga desa karena telah melakukan tindakan menyembah setan, memuja ibis. Ia mengucapkan sumpah serapah dan berteriak keras.
Anak itu mulai menuju dapur dan mengambil golok. Ia menuju pohon beringin di kuburan. Warga desa mengikutinya agak jauh karena ketakutan. Anak itu semakin beringas dan mulai mengayunkan golok itu ke batang pohon. Ia berusaha menebang dan merobohkan pohon. Tetapi semuanya sia-sia. Pohon itu terlalu besar untuk dirobohkan dengan sebilah golok.
Anak itu pun mulai berjalan ke kebun jagung. Aku gemetar melihatnya. Ia menuju ke arahku dengan mata nyalang. Pasti ia tahu bahwa seluruh sesajian dan makanan yang digunakan untuk sesajian terbuat dari bangsa jagung. Ia mulai menebas semua pohon jagung di dekat pekuburan ini. Aku dan seluruh bangsaku raib dari bumi. Kami mati satu per satu. Aku tak tahu mengapa kami yang jadi korban. Mengapa kebencian anak itu menimpa kami.
Sungguh, manusia begitu kejam dengan segala kelakuan-kelakuannya. Apa kebencian mereka pada orang lain sama halnya bencinya mereka pada makhluk lain. Benci pada bangsa kami. Bangsa jagung yang tak tahu apa-apa. Aku tak pernah mengerti. Setahuku, di kampung itu tidak ada lagi tanaman jagung. Kata mereka, bangsa kami hanya akan mendatangkan bencana.

Biodata Penulis
EKO SETYAWAN, lahir dan menetap di Karanganyar, Jawa Tengah. Menempuh kuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret. Karya-karyanya tersebar di media cetak maupun daring. Buku kumpulan puisinya berjudul Merindukan Kepulangan (Bebuku, 2017). Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar, Komunitas Sastra Senjanara Surakarta, dan Literasi Kemuning. Dapat dihubungi melalui surel esetyawan450@gmail.com serta telepon 089673384146.

Cerpen Pledoi Jagung Cerpen Pledoi Jagung Reviewed by takanta on Juni 03, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar