Cerpen : Lidah




Suara rel riuh. Subuh hampir dekat dengan matahari. Dan kota terbangun, bersama sisa hujan semalam. Seorang wanita mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan, lalu meninggalkan Pasar Kembang dengan membawa beberapa lembar uang di tangan. Tapi siapa ia kenali? Lampu kota? Harum embun pada peron? Atau sepasang anak yang menanti kepulangannya, di sebuah desa yang jauh?
***
Kereta berangkat kembali dalam keadaan senyap, sunyi, dan bersama pagi yang gigil. Segigil perasaan seorang pelacur yang sedang duduk di bangku penumpang. Ia melihat ke luar jendela. Menikmati pecahan cahaya matahari yang diam-diam masuk menembus kaca. Cahaya yang tak menyilaukan mata. Begitu ramah dan lembut.

Wanita itu sedikit memejamkan mata. Membenarkan cara duduknya. Ia merasa  sedikit gelisah ketika menjumpai beberapa kenangan yang tiba-tiba muncul dari balik pejaman matanya.

“Aku akan menikahimu!” ucap kekasihnya di masa lalu, di sebuah bangku penumpang kereta, di dekat jendela.

“Benarkah?”

“Ya.”

“Aku senang mendengarnya. Karena sebentar lagi, anak yang kukandung ini akan menjumpaimu dalam bentuk sempurna seorang ayah.”

Waktu seakan berhenti beberada detik, dan keheningan berdiri di celahnya.

 “Apa!?”

“Kau hamil?”

Ia segera membuka mata, mengambil napas sedalam-dalamnya, dan sejenak ia merasa kenangan itu pun hilang, bersama detik-detik sebelumnya. Tapi percayalah, kenangan tak akan mudah hilang begitu saja dari kepala manusia. Karena ketika kita berada dalam lingkaran ingatan, kenangan akan selalu bergerak, membekas, dan abadi.

Wanita itu, yang saat ini sibuk menjual kelaminnya demi ekonomi yang selalu surut, adalah wanita yang pernah mengalami masa lalu yang kelam. Ia adalah seorang wanita pemberani yang, tanpa berpikir panjang, memotong lidah sang kekasih yang telah menghamilinya, dan ingkar tentang janji yang berbunyi, aku akan menikahimu. Tentu saja.

Sebenarnya hanya ada sedikit kesalahan, dan hanya perlu sedikit dipoles. Tapi baginya, kebohongan adalah kesalahan yang teramat besar. Dan kenangan yang kelam adalah kesunyian paling buruk baginya. Maka ia mencipta masa depan dalam ingatan. Sendiri. Hanya seorang diri.

Sementara, di desa yang jauh, ada dua anak gadis kembar berusia empat tahun yang masih lelap dalam mimpi. Mereka selalu ditinggal ibunya pergi, tepat beberapa detik setelah mereka terlelap. Sebelum pukul 5 sore, sang ibu selalu memberi obat tidur kepada kedua anaknya. Dengan begitu, katanya, mereka tidak akan pernah mengkhawatirkannya dan bertanya ia pergi ke mana setiap malam. Tapi dalam mimpi kedua anaknya, mereka selalu melihat ibunya berjalan ke arah pintu, membuka pintu, dan hilang bersama bulan.

“Raina bermimpi Ibu dimakan bulan.”

“Sama, Sabrina juga mimpi begitu.”

Ungkap keduanya, di pagi yang lain, setelah mereka terbangun dan menemukan ibunya sedang sibuk merapikan selimut mereka.

“Ya. Karena Ibu adalah bulan, Sayang.”

“Wah... Ibu keren.”

“Raina ingin menjadi bulan juga!”

“Ah, Sabrina juga!”

Sedangkan di luar, setiap mulut selalu berbicara tentang kehidupan seorang pelacur itu. Dan cerita yang berkembang akan selalu berbeda dalam bentuk maupun versinya.

Dan selama Tuhan terus menciptakan lidah, orang-orang akan selalu sibuk bertanya kepada seseorang yang lain, adakah seorang laki-laki yang ingin menikahinya, menjadi ayah bagi anak-anaknya?

“Mana ada laki-laki yang mau menikah dengan pelacur!” ucap seorang pengangguran.

“Jika mau, laki-laki itu bodoh!” tukas yang lainnya.

“Tapi ada juga loh yang mau.”

“Entahlah.”

Sebetulnya, sudah banyak laki-laki yang bersedia untuk menikahinya, dari seorang politisi, polisi, tentara, bahkan germonya sendiri.

“Kenapa kau tak ingin menikah?”

“Sudah aku katakan berkali-kali, aku tak mau terjebak kembali dalam lidah laki-laki.”

“Tapi aku serius ingin menikahimu.”

“Serius?”

“Serius!”

“Lidah memang manis. Semanis racun!”

Tapi benarkah ia tak ingin menikah? Apakah cinta saja sudah cukup sempurna tanpa pelukan hangat seorang kekasih?

“Apakah kau yakin tak ingin menikah?” ucap laki-laki yang lain.

“Ya.”

“Kenapa?”

“Sudahlah! Aku sudah muak dengan pertanyaan yang selalu diulang-ulang oleh lidah laki-laki.”
***
Di gerbong kereta nomor 4, terlihat sepasang kekasih sedang bercakap-cakap. Mereka sedang membicarakan kelanjutan hubungan yang tengah mereka jalani. Tetap di nada yang sama dalam sebuah peristiwa ketika sepasang kekasih sedang mengalami masa-masa paling dramatis dan romantis.

“Hubungan kita sudah berjalan lebih dari empat tahun.”

“Ya. Benar sekali.”

“Aku akan menikahimu!”

Lengang.

“Benarkah?”

Wanita berbaju lengan hitam panjang itu tampak kaget ketika menjumpai pernyataan kekasihnya.

“Tentu saja!”

“Kapan?”

“Setelah kereta ini tiba di stasiun terakhir.”

“Aku sudah menyiapkan semuanya,” lanjut laki-laki itu.

Oh, tapi seburuk apakah perasaan seorang pelacur yang sejak tadi mendengarkan dengan jelas percakapan sepasang kekasih itu?

Sebelum kereta yang ditumpanginya itu berhenti, cerita yang seakan diulang-ulang ini tak akan pernah menemui ujungnya.

Namun kereta akan terus melaju, melewati berbagai macam suasana yang tak selalu sama. Dan ketika kereta sudah tiba di stasiun terakhir, semua penumpang kereta akan tahu bagaimana situasi ini akan berakhir. Sebab setiap perjalanan hanya berjalan satu kali. Sebab waktu, ia tak akan pernah mengulang yang sudah. Atau menemui kembali detik-detik sebelumnya.

Dalam hati, seorang pelacur itu berkata, “Jangan percaya dengan perkataan laki-laki!”

“Omong kosong! Memang awalnya terasa manis. Tapi lihat saja, ujung-ujungnya, lidah laki-laki itu akan membawamu ke palung kehancuran!”

Sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun terakhir. Dan seorang pelacur itu akan segera menemui kedua anak gadis kembarnya. Ia tak sabar ingin melihat wajah keduanya. Wajah yang lugu dan polos, yang masih dalam kedaan terlelap.
Pelan-pelan, ia kembali mengalami lamunan. Pelan-pelan, kedua matanya sedikit terpejam. Dan dalam keheningannya sendiri, ia pun tertidur.

“Raina, Sabrina!?”

“Kenapa kalian bisa ada di sini?”

Ia tahu bahwa ia hanya bermimpi. Dan dengan cepat ia kendalikan pikiran alam bawah sadarnya menjadi sebuah peristiwa yang dapat ia nikmati sendiri. Maka ia mengembuskan napas dengan nada yang terdengar cukup tenang. Tetap dalam keadaan mata yang tertutup. Seakan-akan memberi kesaksian untuk orang-orang yang berada di sekitarnya, bahwa ia hanya lelap dalam tidurnya sendiri.

“Raina takut, Ibu!”

“Sabrina juga!”

Lantas keduanya memeluk ibunya.

“Takut kenapa?”

“Di rumah, ada orang yang tidak kami kenal. Orangnya tinggi. Laki-laki itu pakai kalung dengan mainan mirip lidah yang tergantung di talinya.”

“Laki-laki itu mencari Ibu.”
Dalam beberapa detik, mimpi yang dialaminya itu terasa hening, dingin, dan begitu menggigil.

“Sudah, sana kalian tidur lagi.”

“Ah, Raina tidak mau kehilangan Ibu!”

“Sabrina juga!”

“Ini hanya mimpi, Sayang.”

Ia memeluk kedua anaknya yang terlihat begitu cemas dan ketakutan, membenarkan rambut keduanya yang berantakan, lalu membasuh kening mereka yang berkeringat.

“Tapi kami tidak bohong, Ibu!”

“Orang itu mengikuti kami sampai ke sini.”

Sejenak Romlah terdiam. Nama pelacur itu adalah Romlah, sebuah nama yang baru saja terpikirkan. Dan pada akhirnya ia pun menjumpai kegelisahan paling puncak dalam mimpinya sendiri.

Romlah seperti menatap jurang yang dalam, kemudian jurang itu menatap balik. Begitulah yang ia rasakan ketika melihat seorang laki-laki yang dikatakan kedua anaknya itu sudah berdiri tegap di hadapannya. Benar saja, laki-laki itu adalah kekasihnya di masa lalu. Tapi dengan keyakinannya, ia terus saja mengatakan dalam batinnya bahwa ia hanya bermimpi.

“Oh, tidak!”

“Tidak mungkin!”

“Aku yakin, ini hanya sebatas mimpi.”

“Cepat pergi! Jangan ganggu aku lagi!”

“Aku sudah bahagia dengan kedua anak kembar ini!”

Tentu saja laki-laki itu tak akan mengatakan apa-apa kepada Romlah. Tapi kedua anaknya itu mendengar dengan jelas, laki-laki itu mengatakan sesuatu kepada mereka. Sesuatu yang tak mungkin mereka mengerti apa maksudnya.

“Hanya kalian yang bisa mendengarkan saya berbicara. Maka tolong sampaikan pesan ini kepada ibu kalian: Dengan lidah yang sudah terpotong ini, Ayah akan membawa kalian semua ke surga.”

“Ayah!?”

Seperti percikan cahaya pada ruang gelap, bagian ini seakan-akan pecah begitu saja, menembus jendela, keluar dari gerbong kereta, dan hilang bersama bagian-bagian sebelumnya.

Sedangkan kereta sudah tiba di stasiun terakhir. Romlah terbangun dari mimpinya. Keringat dingin membasahi seluruh wajahnya. Ia membuka mata lebar-lebar. Di hadapannya, ia melihat seorang laki-laki sedang sibuk menahan rasa sakit. Potongan lidahnya tergeletak di bangku penumpang. Darah segar membasahi mulut dan juga bajunya. Tapi Romlah, ia hanya lewat dan ­tak merasakan apa-apa. (*)

ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Suka melamun.
Cerpen : Lidah Cerpen : Lidah Reviewed by takanta on Juli 22, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar