Cerpen : Mimpi Rufus Karya Seto Permada



Rufus—si saudagar kaya Desa Mogal—duduk mematung di atas kasur busa. Pandangan matanya terpaku pada seekor cecak buntung di dinding polos yang kaki-kakinya lengket seperti terjebak permen karet. Butir keringat sebesar jagung menggeluyur dari dahi ke pangkal hidung, dari ujung hidung masuk ke bibir. Ia mencecap-cecap dan menelan dengan satu tegukan. Asin!
Setelah kesadarannya pulih 100%, Rufus mengambil selembar kertas dari bawah bantal bersarung sutera. Kemudian sebuah pulpen bertangkai keemasan dari persembunyian yang sama. Di atas meja berpenerang lampu tidur, ia mulai menulis mimpinya sendiri.
Tanggal 15 Oktober 2019
Kabar buruk. Sungguh kabar buruk. Aku terjun ke lubang hitam. Terlempar ke sebuah kota tua yang didominasi warna cokelat berkarat. Udaranya berkarat dan membuat kerongkongan kering. Termasuk jalanan, gedung-gedung, mobil, sampai langit pun berkarat.
Mula-mula aku merayap di atas jalanan beraspal, berdiri, dan mencoba bernapas lepas sesering mungkin. Tapi tetap saja sulit. Bau karatnya begitu menusuk hidung.
Dari tempatku berdiri, terdengar suara ledakan. Jeritan wanita dan anak-anak. Tawa sekelompok orang. Suara dengung dari puluhan ribu orang dengan kata-kata yang kurang jelas. Mirip dengung lebah, tapi lebih mendengung lagi.
Seakan-akan, aku memasuki kota yang cacat fisik maupun mental.
Aku berlari menuju bukit yang juga berkarat. Suara mereka beasal dari balik bukit. Aku merayapi lerengnya sambil menyingkirkan onggokan sampah makanan dan sisa-sisa kejayaan peralatan elektronik. Aku merayap di atas tumpukan kaleng yang licin. Kadang-kadang rasanya kaki ingin tergelincir ke bawah. Semakin naik, suara dengung, jeritan, dan tawa itu semakin jelas. Sampai di atas bukit, aku masih merayap dan menemukan pemandangan yang ganjil.
Di sebelah sana, muncul petir dari langit. Menyabet anak-anak, para wanita, dan lelaki bertelanjang dada yang lehernya dicekik oleh rantai. Sosok yang menyeret orang-orang malang itu kurang jelas. Aku hanya melihat bangsa barbar itu mengenakan kerudung dan jubah hitam. Posturnya tinggi. Besar. Langkah kaki mereka lebar-lebar. Barisan itu dituntun oleh sekelompok penari wanita dengan ular masing-masing di atas kepala. Di depannya lagi, ada para Cyclops menabuh drum band berkali-kali sambil mengentakkan kaki. Rupanya suara dengung itu berasal dari para penabuh drum band.
Pemandangan itu membuat mataku pedih. Kadang gatal juga. Rasanya ingin menggaruk. Karena aku tidak ingin kehilangan momentum satu sekejap mata pun, frekuensi garukan pada mata kukurangi.
Pada waktu tertentu, rombongan itu berhenti. Para wanita ular tetap menari, sampai muncul sosok serupa binatang raksasa berbulu hitam dan berdiri tegak. Aku tidak tahu persis jenis dan spesies apa binatang itu. Orang-orang malang disuruh menyembah dan mereka menurut. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, binatang itu berteriak sekencang-kencangnya. Beberapa yang lehernya terikat rantai jatuh bergelimpangan. Rombongan berjubah hitam tertawa-tawa. Para wanita dan anak-anak menjerit-jerit.
Lantas, angin berkarat berpusing dan mengubur korban bergelimpangan itu hingga rata.
Lalu, muncul lalat raksasa dan sepotong kue tart busuk berjatuhan dari langit. Pantat lalat itu menimpa binatang bertanduk dan para wanita ular. Kaki-kakinya menginjak rombongan misterius berjubah hitam. Para Cyclops berusaha lari, tapi tertimpa juga.
Mulanya kukira lalat itu pahlawan yang langsung dikirim oleh Tuhan. Mirip burung ababil. Rupanya dugaanku keliru.
Datang lalat-lalat raksasa lain dari langit. Mereka jatuh bersamaan dengan berpotong-potong kue tart ulang tahun. Kemudian lalat-lalat raksasa itu beranak-pinak dalam jumlah triliunan atau tak terhitung. Langsung bisa terbang ke sana kemari. Dengung suara drum band berganti dengung lalat raksasa. Lalat-lalat kecil menirukan dengung itu.
Tertanda,
Rufus
Rufus biasa menyalin mimpi ke atas kertas yang sudah disiapkan sebelum tidur. Kemudian jurnal-jurnal itu ia simpan dalam laci. Di akhir bulan, ia merekapitulasi inti dari mimpi-mimpinya itu. Ia menganggap apa yang terjadi dalam kehidupannya sangat penting. Termasuk apa yang terjadi dalam mimpinya sendiri.
Ia hanyalah satu di antara segelintir orang yang percaya, bahwa jurnal mimpi mampu membuat siapa pun jadi semakin inovatif. Rufus yakin, kalau bukan karena imajinasinya, tidak mungkin menjadi saudagar paling kaya di Desa Mogal.
Mimpi malam itu sangat berbeda dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Ia sama sekali tidak mengenali tempat, orang-orang, bahkan makna dari keseluruhan. Sebagai pengecualian, ia tidak menyimpan jurnal mimpi ke laci, tetapi disimpan ke dalam saku usai dilipat dalam bentuk simetris.
Rencananya, ia ingin mencetak jurnal mimpi itu dalam jumlah ribuan. Ia akan membuat pengumuman di dinding-dinding, sampai mendapatkan orang yang bisa menafsirkannya.
***
Hari-hari usai pengumuman di pasang, datanglah seorang lelaki dari Dusun Tun Tuilan. Nama, alamat, serta identitas pribadinya diserahkan dalam bentuk aplikasi formulir. Rufus menerima ahli nujum yang ke-88 itu dengan perasaan senang. Menurutnya, angka 88 itu bisa bawa hoki.
Selama ini, belum ada yang memberikan penjelasan secara memuaskan. Rata-rata hanya terfokus pada hadiah 20 keping emas yang dijanjikan pada baris terakhir pengumuman.
“Jelaskan arti mimpi saya.”
“Tuan Rufus. Maaf, saya menyela sebentar. Di dalam mimpi itu, apakah Tuan yakin benar-benar berada dalam mimpi?”
“Ya, saya telah mengalami puluhan ribu mimpi. Tidak mungkin keliru.”
“Kalau dipikir-pikir, Tuan, mimpi itu terasa nyata, sekaligus tidak nyata. Lalat-lalat raksasa itu betul-betul mengganggu konsentrasi saya saat menafsirkan laku rombongan barbar yang menyiksa tawanan. Artinya, saat ini Tuan tengah gelisah? Pikiran dan hati campur-aduk, begitu?”
Ahli nujum gadungan, pikir Rufus. “Tidak. Saya sehat lahir-batin. Saya baik-baik saja. Sebelumnya, saya juga pernah bermimpi lebih acak dari itu. Mungkin Saudara punya pandangan lain?”
Wajah ahli nujum itu tampak pucat. Sekuat tenaga, ia keluarkan sejumlah ilmu penerawangan. Tapi satu pun tidak ada yang tembus. Mimpi Rufus kebal dari sihir yang mencoba memanipulasi ruang maknanya. Akhirnya, ia menyerah dan pulang.
Berhari-hari kemudian, datanglah lelaki bersorban dan tampak paling alim diantara puluhan lelaki bersorban yang datang sebelumnya. Seperti biasa, Rufus menyambut tamu dengan roman semringah. Berbagai menu makanan, seperti sengkulun, kue jahe, es kopyor, dan rendang disajikan dalam tatanan profesional. Rufus memaklumi saat lelaki bersorban itu tidak mau diajak berjabat tangan. Mungkin sikapnya itu bagian dari tafsir mimpi.
Lelaki bersorban itu membuka dialog dengan Bahasa Arab. Kemudian, tibalah di inti percakapan.
“Saya malu pada Tuan. Duduk di depan Tuan ini saya merasa malu sekali.”
Lho, kenapa malu, Saudara?”
“Tahukah Tuan, bahwa mimpi itu mengarah pada kehancuran tatanan hidup ini? Binatang bertanduk yang diikuti oleh rombongan bangsa barbar itu Sang Perusak, Tuan! Barang siapa yang melihatnya dalam mimpi, maka kelak akan menjadi pengikutnya. Saya malu duduk di hadapan calon pengikut Sang Perusak.”
Perkataan lelaki bersorban itu menarik hati Rufus. Untuk mengekspresikannya, ia menenggak teh botol hingga habis separuh.
“Jika itu tanda hancurnya kehidupan dan saya pengikut binatang atau Sang Perusak, lalu apa artinya lalat-lalat raksasa yang berjatuhan, Saudara? Kue tart? Putra-putri lalat raksasa yang mendengung-dengung itu?”
“Binatang serta kue tart itu tidak bukan dan tidak lain adalah jelmaan planet dan benda ruang angkasa yang bakal jatuh menimpa bumi ini, Tuan.”
Logika yang ngawur, pikir Rufus. Jawaban lelaki bersorban itu belum memuaskannya. Berhubung lelaki itu menafsirkan dengan penuh emosi yang meledak-ledak dan logika paling ngawur, maka Rufus menghadiahi 20 keping emas. Usai menutup dialog dengan kutipan Bahasa Arab, lelaki bersorban itu mengantongi keping emas dan ngeloyor pulang.
Lelaki bersorban itu adalah orang ke-600 yang telah membuat Rufus kehilangan rasa percaya dirinya. Ia tidak lagi berharap ada yang benar-benar bisa menafsirkannya. Pemberian 20 keping emas itu bukan berarti tafsirannya tepat dan memuaskan, melainkan sebagai bentuk keputusasaan dari Rufus.
Saudagar kaya raya dari Desa Mogal itu pun menyerahkan tafsiran aslinya pada takdir Tuhan.
***
Pada malam hari usai sayembara Tafsir Mimpi ditutup, Rufus bermimpi lagi.
Rufus menemukan tubuhnya melayang di dalam cahaya putih cemerlang. Triliun lalat berukuran kecil melayang diantara cahaya—seakan-akan berenang dengan gaya bebas. Ada pula yang memakai gaya dada dan gaya punggung. Di sana tidak ada lalat raksasa maupun kue tart. Hanya ada dia, triliunan lalat kecil, dan cahaya. Tidak seperti mimpi sebelumnya yang lebih banyak membisu, Rufus mengajak lalat-lalat kecil itu bicara.
“Cahaya macam apakah ini? Wahai lalat-lalat kecil?”
“Ini cahaya kedamaian, Tuan Rufus,” ucap mereka serentak dan menimbulkan dengung yang lembut.
“Ke manakah ibu dan bapak kalian? Wahai lalat-lalat kecil?”
“Mereka tengah tertidur pulas di atas kue tart, Tuan Rufus.”
“Apa yang kalian maksud dengan cahaya kedamaian? Wahai lalat-lalat kecil?”
“Setelah Tuan berenang di antara cahaya kedamaian, maka tidak ada lagi kegelapan untuk Tuan.”
“Artinya?”
“Tuan tidak akan bangun dan selamanya menemani kami berenang-renang di antara cahaya ini.”
Rufus merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia tidak tahu apa yang dimaksud “bangun” oleh lalat-lalat kecil itu. Padahal, di mimpi sebelumnya, saat Rufus merasa ingin bangun, langsung terbangun. Saat itu, perlahan kata “bangun” terhapus dari ingatan dan berbagai visualisasi yang mewakilinya.
Di luar mimpi, sudah ada ribuan orang berdiri mengelilingi rumah Rufus dengan kemarahan besar karena dibakar oleh lelaki bersorban. Mereka membawa obor di masing-masing tangan kanan.
“Kita bakar rumah pemuja setan ini!”
Anehnya, berkeping-keping emas itu masih ia simpan di balik jubah kebesarannya. Sepatah kata pun tidak diberitahukan pada orang-orang Desa Mogal dan sekitarnya.
***
Purworejo, 24 Juli 2018

Biodata Penulis
Seto Permada, lahir tanggal 12 Oktober 1994. Kini bermukim di Purworejo. Beberapa karyanya tergabung dalam buku antologi sastra, salah satunya Ritual Lapaong Astral (TBJT 2016). Sehari-harinya bekerja penuh waktu sebagai penulis lepas.

Cerpen : Mimpi Rufus Karya Seto Permada Cerpen : Mimpi Rufus Karya Seto Permada Reviewed by Redaksi on Juli 29, 2018 Rating: 5

1 komentar

  1. Saya sangat menyukai cerpen ini. Saya orang Purworejo, saya berharap bisa bertemu dengan Seto Permada dan belajar banyak pada beliau.

    BalasHapus