Sebuah Pelukan yang Begitu Erat
Beberapa
waktu lalu, salah satu kawan meminta untuk bercerita tentang potongan kisah
cinta saya. Saya pikir tidak ada salahnya menuliskannya. Apalagi saya memang
sudah lama tidak berjumpa dengan kawan-kawan rumah. Itu terjadi sejak tahun
2006, ketika saya memilih tinggal di Curah Jeru hingga kisaran tahun 2015.
Oleh
: Moh. Imron
Ini
tentang masa lalu, sebuah kenangan di tahun 2007.
Maka
pada suatu waktu, saya berencana double
date. Saat itu juga saya tidak mempunyai sepeda motor. Akan tetapi kawan
saya, Ridho, menganjurkan untuk menggunakan sepeda motornya. Dan saya tidak
tahu cara mengendarai sepeda motor.
Saya juga punya sahabat perempuan, sering
dipanggil Intan. Saya sering bercerita banyak hal―biasanya malam―kadang belajar
bersama, rujakan atau lari pagi di hari Minggu. Dia yang banyak membantu
hubungan saya dengan Nur Fadila, pacar saya. Kebetulan juga satu sekolah dengan
Intan. Di Curah Jeru barat, Dila punya saudara, disitulah awal pertemuan saya,
kemudian saya juga pernah melihat Dila main ke rumah Intan, wah saat itulah saya
mulai dekat hingga saya pun jadian.
Dila
berpenampilan ala perkotaan, wajahnya kuning langsat, ada tanda tahi lalat,
rambut lurus, rambutnya panjang, sering menggunakan celana pendek, pahanya
mulus. Tapi saya biasa aja. Saya sering main monopoli dengannya. Atau sering
bantu tugas menggambar. Atau sewaktu-waktu lari pagi. Saya hanya anak pedesaan,
tidak banyak pengalaman dalam hal pacaran. Saya emang cupu. Ciuman saja gak
berani. Pernah satu kali, saya mendaratkan sebuah cium di pipinya, dia mukul
saya, tapi gak sakit, soalnya saya gak bilang-bilang pas waktu mau cium.
Pada
waktu itu Intan dan Dila duduk di bangku kelas 9. Kebetulan juga Intan pacaran
dengan Ridho.
Seingat
saya, saat itu akhir tahun 2007. Dan saya masih duduk di bangku kelas 12. Saya
tidak pernah jalan-jalan jauh. Mungkin karena saya memang tidak mempunyai
kendaraan. HP juga gak punya. Berbeda dengan teman-teman SMA yang lain. Saya
pegang HP pertama Nokia 1600 pada tahun 2008. Dan tentu tak ada momen yang bisa
diabadikan kala itu.
Dan
ini pertama kali jalan-jalan bersama seorang perempuan.
Saya
berjanji untuk bertemu di pertigaan Talkandang―belum ada raung. Saya boncengan
sama Ridho dengan naik sepeda motor. Sesampainya di pertigaan Curah Jeru Barat
tepatnya di Gang Las-lasan, saat itu belum dibangun pabrik wing, masih ditempati
anak main sepak bola. Pertigaan itu juga tempat nongkrong saya sebelum
berangkat sekolah sembari melihat anak-anak sekolah yang lain.
Hari
sebelumnya, menjelang waktu Zuhur saya sempat belajar nyetir sepeda motor di halaman
Madrasah Diniyah. Hasilnya lumayan. Saya masih kasar dalam menaikkan gigi roda
mesin. Harap dimaklum ya. Ini perjuangan demi bisa jalan-jalan bersama kekasih.
Ketika
malam tiba, saya tidak nyenyak tidur. Pikiran saya masih terbayang akan kekasih
saya. Mungkin ini akan menjadi sejarah penting dalam hidup saya. Saya sering
senyum sendiri, mengingat pertemuan-pertemuan saat bersama. Biasanya saya juga
sering kirim-kirim surat, sesekali numpang SMS melalui Intan.
Dari
pertigaan Curah Jeru hingga pertigaan Talkandang saya manfaatkan belajar
nyetir. Saya meminta Ridho untuk mengajari saya nyetir di detik-detik akhir.
"Jha' re-gherre," kata Ridho. Kalau
nyetir tangan saya harus lentur, maksud Ridho begitu.
Pada
akhirnya saya tiba di pertigaan Talkandang. Dila langsung bonceng sama saya.
Sementara Ridho bersama Intan. Rute yang kami lewati melalui jalan Talkandang,
Alasmalang hingga ke Pantai Pathek.
Di
sepanjang perjalanan saya tidak banyak bicara, Dila juga tidak memeluk saya.
Mungkin kami juga masih malu-malu terutama sama Intan dan Ridho. Soalnya Ridho
membuntuti saya.
Saya
sempat grogi saat nyetir. Terutama saat belokan. Gigi sepeda motor tidak pernah
saya turunkan. Takut ngonjhel. Posisi
gigi roda selalu berada di posisi angka 4. Sehabis tikungan tentu saja saya
menggas dalam posisi angka 4. Sepeda motor seolah-seolah berteriak. Tapi saya
tak peduli. Yang penting saya bahagia.
Kala
itu Pantai Pathek tidak begitu ramai. Pemandangan Pantai Pathek biasa saja.
Berhubung saya bersama pacar, jadi suasana kala itu sangat beda. Pantai Pathek
begitu indah. Saya lupa, apa saja yang dibicarakan di sana. Tapi yang jelas,
kami menikmati senja meski hanya sejenak.
Saat
pulang, saya masih grogi. Masih sama dengan sebelumnya. Ntah apakah Dila tahu
kalau saya tidak bisa nyetir sepeda motor? Dia tidak pernah membicarakannya.
Saya lewat ke timur Pantai Pathek. Sesampainya di pertigaan perbatasan
Semiring-Trebungan, saya melaju melewati jalan yang lurus ke kota. Mumpung
tidak ada belokan, saya melajukan motor dengan kencang. Saat itu pula, Dila
melingkarkan tangan di tubuh saya. Saya merasakan kepalanya juga bersandar pada
punggung. Saya tersenyum. Sebuah senyuman yang membuat saya bahagia. Dia
memeluk dengan erat. Apakah dia takut atau gimana saya nggak tahu.
###
Saat
saya santai, sama-sama membicarakan kekasih dengan Ridho. Dia sempat menegur
saya. Kalau naik motor jangan ngebut-ngebut. Apalagi baru belajar dan boncengan
sama anak orang. Saya pikir benar juga nasehat teman saya. Tapi pada waktu itu
saya menimpali dengan tawa.
###
Saat
ini, saya nggak tahu Dila ada di mana. Saya hanya bisa mengenangnya lewat
tulisan ini. Setidaknya ia pernah singgah di hati, membuat saya merasakan
bahagia meski pada akhirnya harus berakhir. Semoga yang terbaik selalu
menyertainya.
Apa
kabar Dila?
Sebuah Pelukan yang Begitu Erat
Reviewed by Redaksi
on
Juli 20, 2018
Rating: 5

Tidak ada komentar