Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin



Oleh: Agus Hiplunudin
Arakan awan menelusuri pegunungan, wajahnya yang memanjang dan melebar menutup segala permukaan, kemudian hujan merintik, setelahnya lengang, hingga yang tersisa gurat indah pelangi melengkung para bolis di langit.
Tidakah kau ingat, saat kau berbisik padaku, bahwa aku seorang lugu, polos, sebab aku masih perjaka? Ah, dalam sadarku, aku memang terlalu naif, selalu menampik cinta yang selalu datang tanpa diundang.
Lekas kau bicara, tentang kepolosanku itu. Seorang perempuan menghampiriku, tanpa malu, tanpa tedeng aling-aling ia mengakrabiku, dan malam itu juga, ia mengajak berkencan denganku, ah, betapa malunya aku padamu. Namun, lebih tepatnya aku sedang mendamba.
Langit jingga, senja sebentar lagi akan berganti malam. Gemericik sungai Citarum terdengar lirih, seperti kidung penghantar bercinta, terlintas dalam benakku suatu prasangka, berjuta keperawanan telah melebur di sini.
Lepas senja. Berganti dini malam. Kau kembali menghampiriku, lalu, engkau berkata; Albert pria terkeren di sini mengajakku berkencan. Lalu aku menimpali; diterimakah oleh engkau ajakannya itu? Engkau tak lantas menjawab. Namun, engkau terdiam sejenak sambil tersenyum dan memandangiku. Aku menolaknya, sebab aku tak hendak meninggalkanmu, ujarmu pada akhirnya.
Ini tidak adil, kataku. Kenapa? Katamu. Kalau begitu aku akan memenuhi ajakan gadis itu, Fina. Dan malam ini aku akan mengencaninya, dan kau pergilah dengan Albert. Mendengar perkataanku demikian engkau tertawa membahana, seraya memelukku dan barkata; aku akan melewatkan malam ini bersamanya. Dan kau harus melawatkan malam ini bersama Fina.
Setelah bicara itu, engkau bergegas dan menghampiri tenda Albert, aku pun menghampiri tenda Fina.
Matahari belum pula muncul dari kaki langit, hanya semburatnya saja yang baru nampak membias, gemericik sungai Citarum terus-menerus mengiang, mengidungkan kisah hilangnya keperawanan dan keperjakaan semalam.
Ketika matahari mulai meninggi naik beberapa inci di langit timur, aku pun terbangun, merenungi kebodohanku semalam, mengejar kenikmatan ragawi semata. Namun, pada hakikatnya membunuh jiwa. Demi sebuah kata, melepas keperjakaan, dan dalam nuraniku terdalam berkata; kenapa pemuda jaman kini, merasa diri malu dan rendah, ketika dirinya masih perjaka? Padahal kehilangan keperjakaan, itu sama artinya kehilangan kesucian. Kehilangan kesucian berarti kehilangan harga diri. Dan, kehilangan harga diri berarti kehilangan kehormatan. Jika orang telah kehilangan kehormatannya, maka tak layak ia disebut manusia. Aku terus meracau, mengikuti cara berpikir nuraniku.
Sontak aku terkaget, ketika dirimu tiba-tiba telah berada di belakangku. Dan mengunci dua mataku dengan dua telapak tanganmu, sesaat kemudian aku dan kamu tertawa membahana, sungguh persahabatan yang bebas lepas.
Aku telah melepas keperjakaanku, bisiku padamu. Engkau tak terkaget. Namun, berekspresi menurutku janggal, sebab engkau tercenung tuk beberapa saat. Kemudian suasana kembali sedia kala, engkau dan aku kembali bergurau, dan saling tawa.

*
Sebulan berlalu—setelah kisah Citarum. Entah siapa yang idiot. Diam-diam engkau memutuskan berlibur ke Kuta, Bali. Tanpa diriku. Dan engkau berkata padaku, engkau bermain seks dengan Stephen di sana. Entah benci atau mendamba, aku tertegun sejenak, mendengar pengakuanmu itu. Waktu itu. Sempat terlintas dalam pikiranku, memang berat membina hubungan persahabatan sejati dengan makhluk lawan jenis, tapi biarlah, seberat apa pun itu.
Sungguh ironi yang amat kentara. Selekas menyelesaikan sekolah menengah atas. Aku melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi di Ibukota. Sedangkan engkau urung tuk melanjutkan pendidikan, sebab peristiwa permainan seks di Kuta tersebut, membuat dirimu hamil, barangkali karena kondom bocor atau kepalang nafsu berahi. Menurutku ada sesuatu yang tidak adil di sini. Aku—seorang laki-laki yang kerap bermain seks tak pernah terkena dampak negatif dari aktivitas tersebut. Sedangkan, engkau—perempuan, celakanya main seks, dan langsung terkena dampak negatif, harus menanggung malu karena hamil diluar nikah, dan masa depanmu runtuh seketika, karena harus mengurus anak dan membesarkannya. Sungguh. Alangkah tak bahagia hidupmu itu, ditakdirkan menjadi makhluk berjenis kelamin perempuan yang memiliki rahim.

*
Sungguh aku takzim dengan keuletan, kesabaran, dan kesetiaanmu. Engkau membesarkan anak perempuanmu itu seorang diri. Tiada lelah, engkau kerja banting tulang, peras keringat, demi mempertanggung-jawabkan dosamu pada masa lalu.
Lain halnya dengan aku, yang bebas berkeliaran kemana kusuka. Kendati demikian, aku tetap tak dapat melupakanmu. Wajah engkau seperti bayangan diriku sendiri, yang selalu mengikuti kemana pun aku pergi.
Setelah aku meraih gelar keserjanaanku. Anak perempuan engkau telah berumur 5 tahun, ia mewarisi kecantikanmu, ibunya. Ia tumbuh dengan cerdas dan penuh limpahan kasih sayang darimu. Kerap aku menemuimu, hanya sekedar melihat wajahmu, dan anakmu—yang tak berbapak itu.
Pada suatu waktu. Saat engkau keluar rumah hendak membeli kebutuhan rumah, dapur, atau lainnya. Engkau menyuruhku, tuk menemani anakmu. Kami bermain bersama. Namun, barangkali karena kelelahan—anakmu pun tidur dipangkuanku, dan kuletakan ia pada sebuah ranjang. Aku merasa jemu, dan aku melakukan segala sesuatu pada waktu itu hanya berdasar insting belaka. Iseng. Kubuka laci lemarimu. Di sana tergeletak sebuah buku, bersampul merah jambu—yang tak lain berisi tulisan tentang penggalan kisah hidupmu. Kubaca ia. Alangkah terkesimanya aku, ketika kubaca sesungguhnya saat dirimu memutuskan tuk pergi berlibur ke Kuta—5 tahun yang silam, engkau masih dalam keadaan perawan ting-ting. Dan, karena engkau prustasi, setelah mendengar pengakuanku yang telah melepaskan keperjakaanku dengan Fina, hati engkau kian kecewa. Dan sejatinya, malam itu—saat di Citarum, engkau sama sekali tidak bermain seks dengan si tampan, Albert. Dan, sesungguhnya engkau selalu enggan tuk menyentuh seks, sebab engkau menghargai keperjakaanku—pada waktu itu. Di Kuta, engkau setengah mati melepas keperawanan. Pada akhirnya, jebol oleh Stephen. Cengangku belum pula habis, terdengar olehku suara pintu masuk, ada yang mengetuk dari luar. Dengan sigap kumasukan kembali catatan pribadimu itu, ketempatnya semula, setelah kupastikan bahwa engkau tak akan mengira bahwa buku sampul merah jambu itu, pernah kupegang dan kubaca.
*
Semenjak membaca buku bersampul merah jambu itu. Aku sering minum hingga teler, bukan di bar, pula bukan dalam diskotik. Namun, di dalam kamarku sendiri—aku mengurung diri di sana.
Dalam benakku; kenapa engkau dan aku tak menyatu saja, sedari dulu. Aku merasa antara engkau dan aku telah mengalir, aliran cinta semenjak dahulu. Namun, sayang, cinta itu, tak dapat kita definisikan. Cinta itu tak dapat kita pahami. Dan, segala yang beraroma cinta antara engkau dan aku tertutup oleh sebuah kata, yakni; persahabatan—yang menjelma menjadi kebutaan atau tepatnya keegosian hingga menutup mata cinta.
Aku berjanji pada diriku sendiri, hari esok aku akan kembali menemuimu, dan mengatakan semuanya, segala-galanya, dengan sejujur-jujurnya, bahwa engkau dan aku memang layak tuk bersatu. Dan saling membahagiakan satu sama lain.
Keesokan harinya. Benar saja. Aku berkunjung ke rumahmu. Bukan main terkesiapnya aku, sebab seorang lelaki kudapati sedang menggendong anak perempuanmu itu. kutanya padamu; siapakah laki-laki itu? Engkau menjawab; ia tak lain, merupakan ayah biologis dari anakmu. Betapa kelunya perasaanku saat itu. Namun, aku menutupi kekeluanku itu sekuat tenaga, agar engkau tak terganggu dengan kehadiranku yang bodoh atau tepatnya idiot setengah mati.
*
Pergolakan batinku menggebu-gebu, melihat engkau pada akhirnya menikah dengan Stephen. Aku pun harus berpikir realistis, semenjak itu. Aku pun setengah mati mencari pendamping hidup— akhinya; kutemukan kembali seks pertamaku, Fina. Dan kami memutuskan akan segera melangsungkan pernikahan.
Di tengah riuh rendah pernikahanku itu. Engkau datang dengan anak perempuanmu. Berbisik padaku; bahwa engkau telah pisah dengan Stephen. Aku teronggok seperti patung batu yang tak dapat bergerak, setelah mendengar pengakuamu itu. Sungguh aku mengerti, engkau menyiratkan sebuah pengharapan, yakni; pengharapan tuk hidup bersamaku. Gamang menghujam alam pikiranku, keraguan menyilumiti segala alam rasaku, hinggga yang tersisa resah-gelisah yang tiada berkesudahan.

Selesai
Yogyakarta, 1 September 2015-September 2016


TENTANG PENULIS
Agus  Hiplunudin  1986  lahir  di  Lebak-Banten,  adalah  lulusan  Fakultas  Ilmu Sosial  dan  Ilmu  Politik  Universitas  Sultan  Ageng  Tirtayasa  Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi  2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital  2017, Calpulis: Yogyakarta
Kebijakan   Birokras   dan   Pelayanan   Publik   Suatu   Tinjauan   Kritis   Ilmu Administrasi Negara 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Eksistensialisme 2017, Graha Ilmu: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional yang Telah diikuti
Jurnal: “Partisipasi Pemuda dalam Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten, di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten
Jurnal: Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Budaya Daerah, di STISIP Setia Budhi-Rangkasbitung-Banten
Jurnal: Hegemoni Budaya Politik Suku Jawa pada Pilkada 2019
Pemateri Seminar Nasional
Pemateri: Pemanfaatan Internet dan Ketahanan Nasional bersama Kominfo RI di Ciamis-Jawa Barat
Pemateri: Pemanfaatan Internet oleh Masyarakat, bersama Roy Suryo anggota DPRRI di Yogyakarta
Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik, Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.

Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung, Lebak-Banten.

Email             : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp                  : 081-774-220-4
Facebook       : @Agus Hiplunudin

Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin Reviewed by takanta on Oktober 28, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar