Cerpen : Tentang Kota dalam Pikiran


“Jadi, beginikah perasaan seseorang sebelum mengalami perpisahan?” tanya wanita itu kepada kekasihnya, di sebuah bangku taman yang melingkar, di bawah sinar bulan yang keperak-perakan, bersama angin, bersama dingin. Angin meminta mereka untuk saling menggenggam tangan. Dan dingin meminta mereka untuk jangan sampai saling melepaskan.

“Tenang saja, pada setiap malam akan selalu kukirimkan mimpi untukmu.”
“Bagaimana caranya?”
“Tunggu sampai kita saling meninggalkan, dan kita akan tahu bagaimana mimpi-mimpi itu bekerja.”
Sementara sinar bulan perlahan mulai memudar, seakan-akan memberi kesaksian bahwa ia sudah bosan karena terlampau sering melihat sepasang kekasih yang akan mengalami diorama perpisahan. Sungguh bulan yang sentimentil.
“Sebentar lagi.”
“Masih kurang dua menit.”
Dua menit. Setelah kebersamaan yang mereka alami dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, kini hanya tersisa dua menit saja? Apa yang bisa dilakukan dalam waktu sesempit itu?
“Sepertinya aku ingin menghentikan waktu.”
“Aku pun begitu.”
Tapi waktu masih bergerak. Detik-detiknya masih terus berdetak.Dan sepertinya, dalam hati mereka hanya tersisa suara denyut-denyut kegelisahan, sehingga yang hanya bisa mereka lakukan dalam satu setengah menit terakhir adalah saling menatap satu sama lain.
Dan...perpisahan pun terjadi. Wanita itu yang lebih dulu pergi meninggalkan tanpa mengucapkan selamat tinggal. Karena wanita itu tahu, ketika ucapan itu keluar dari mulutnya, maka akan membuat air matanya semakin deras mengalir. Sedangkan laki-laki itu hanya bisa melihat punggung kekasihnya yang pelan-pelan mengecil, menjauh bersama angin, bersama dingin, kemudian benar-benar hilang dan menyatu bersama gelap malam.Laki-laki memang tidak menangis, tapi hatinya pasti teriris. Tapi mereka bukanlah pasangan pertama yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai. Maka tak ada yang spesial. Hanya sebuah perpisahan pada umumnya yang memaksa manusia kembali menggunakan kesedihannya.
Kita tahu, waktu memang tidak bisa berhenti. Tapi waktu bisa diputar kembali.
“Kita bisa pergi dari kota ini, bersama-sama, dan memulai hidup yang baru,” ucap laki-laki itu kepada kekasihnya, beberapa jam yang lalu. Mereka duduk pada sebuah bangku taman, di bawah sinar bulan yang keperak-perakan.
“Ke mana?”
“Ke sebuah tempat di mana bulan tak akan pernah pudar, di mana waktu akan berhenti pada malam hari, dan tak akan pernah menjumpai pagi, hanya untuk kita berdua. Dan kau bisa melakukan apa saja yang ingin kau lakukan.”
“Kau berlebihan dalam berkhayal, mana ada yang seperti itu!”
“Ada.”
“Di mana?”
“Di dalam pikiranku, di dalam kepalaku.”
“Ah, ada-ada saja. Kau terlalu banyak membaca cerita surealis.”
“Loh, aku serius.”
“Coba buktikan! Aku ingin melihatnya sendiri.”
“Pertama, kau harus menutup matamu.”
Maka wanita itu pun mengikuti apa yang dikatakan kekasihnya. Memejamkan matanya dengan perlahan. Menarik ujung bibirnya sehingga dengan alami membentuk lesung di pipinya. Ada subuah perasaan yang sungguh sulit diutarakan oleh seorang laki-laki yang saat itu sibuk memandang sebentuk wajah manis milik kekasihnya. Sungguh begitu dekat sehingga laki-laki itu lupa dengan janjinya sendiri.
“Mana?”
“Eh, iya. Tunggu, sebentar lagi.”
“Ah, lama.”
Sebenarnya laki-laki itu bingung harus berbuat apa. Tentang kota yang katanya ada dipikirannya itu hanyalah bentuk dari sebuah pengalihan untuk menghibur kekasihnya yang baru saja bertengkar dengan suaminya. Ya. Wanita itu sudah bersuami. Dan laki-laki yang saat ini sedang duduk di sampingnya adalah selingkuhannya. Tapi tunggu dulu, cerita ini belum selesai.
“Kedua, bayangkan, kini kau sudah berada di depan pintu masuk. Pintu itu berwarna merah. Sekarang kau bisa langsung membukanya,” ucap laki-laki itu sambil membelai rambut kekasihnya.
Wanita itu masih tersenyum. Masih dengan lesung pipi yang membuat seseorang di hadapannya semakin terpesona.
“Aku sudah masuk. Kau di mana? Sejauh mata memandang, aku hanya melihat hamparan bunga.”
“Itu bukan bunga, Sayang. Tapi itu air mata. Air mata itu berkumpul sehingga terlihat seperti hamparan bunga.”
“Ah, kan sama saja.”
“Ayo cepat cari aku.”
“Bagiamana caranya?”
“Kau hanya perlu berlari menyusuri jembatan besar di depanmu itu. Kemudian lewatilah hamparan bunga itu. Setelah itu kau akan menemukan sebuah rumah kecil di sudut kanan pandanganmu. Rumah itu berwarna kuning. Kau harus cepat, karena kabut sedang bergerak dari arah berlawanan. Jika kabut itu sudah memenuhi kota ini, kau akan tersesat.”
Begitulah mereka, sepasang kekasih yang hubungannya rumit, yang tak diterima oleh kenyataan. Tapi wanita itu lebih beruntung karena telah membangun rumah tangga dan telah mengalami bagaimana rasanya malam pertama, walau rumah tangga yang terpaksa dibangun itu telah menimbulkan berbagai macam kesedihan yang terus dialami wanita itu. Namun setabah apakah laki-laki yang menjadi kekasih bayangannya itu?
Percayalah, selama bulan masih bergerak, seorang laki-laki memang diciptakan untuk membahagiakan wanita. Maka laki-laki itu, secara kemanusiaan, sama sekali tidak bersalah ketika dengan sepenuh hati mencintai seorang wanita yang telah bersuami, yang suaminya selalu kasar kepada istrinya, yang setiap malam selalu mabuk dengan wanita lain, dan masih banyak lagi kisah-kisah lain, yang ujungnya selalu negatif.
“Kenapa kau tidak minta cerai saja?” tanya laki-laki itu di waktu yang lain.
Tapi wanita itu hanya diam. Kemudian menangis. Seakan-akan ada sesuatu yang tak bisa ia ceritakan. Sikap diam itu seperti menjelaskan bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan untuk kesekian kalinya, laki-laki itu pun mencari pemahaman sendiri atas apa yang tak bisa wanita itu ceritakan.
“Sepertinya aku benar-benar tersesat. Aku tidak bisa menukan rumah itu. Sepertinya kita tidak akan pernah hidup bersama.” Wanita itu membuka mata. Kemudian pelan-pelan muncul air mata. Mengalir ke pipi. Jatuh satu demi satu sebelum akhirnya dibasuh oleh tangan kekasihnya. Ah, kenapa wanita selalu putus asa?
“Suamiku sudah mengetahui keberadaanmu,” lanjut wanita itu, “aku tak mau terjadi apa-apa denganmu.”
Kini laki-laki itu yang diam. Oh, apakah khayalan mampu menyelamatkan kenyataan?
“Aku bisa bunuh suamimu!”
Entahlah, kalimat yang mengandung keputusasaan ternyata juga bisa keluar dari mulut laki-laki ketika ia merasa hatinya seperti tertusuk-tusuk duri tajam. Tapi kemudian laki-laki itu sadar diri.
“Maaf. Aku terlalu mendramatisir sesuatu. Jadi keputusan terbaik adalah berbisah?”
“Kau tahu, itu bukan keputusan terbaik.”
“Jadi?”
“Entahlah.”
Percakapan mereka tampak seperti sedang menawar sebuah barang. Tapi apakah cinta bisa ditawar?
Dan malam semakin malam. Tak ada percakapan lagi. Mereka hanya saling menatap mata. Seperti ada sesuatu yang sulit untuk diutarakan. Seperti ada sebuah bom di tenggorokan. Ah, cinta memang mengerikan.
***
Waktu kembali seperti semula. Di mana sepasang kekasih itu benar-benar berpisah. Wanita itu sudah sampai di rumahnya. Sedangkan laki-laki itu masih duduk di bangku taman. Ia menatap langit. Menyalakan rokok. Asapnya berhamburan ke mana-mana. Pikirannya melayang jauh, ke sebuah kota di dalam kepalanya sendiri.
Di kota di dalam pikirannya itu, ia duduk di beranda rumah yang ia bangun sendiri dengan air mata. Ia memandang langit yang sama, yang hitam dengan cahaya bulan keperak-perakan. Asap rokoknya masih sajaberhamburan di udara. Membentuk bayangan kekasihnya yang sudah meninggalkannya. Senyum kekasihnya melayang-layang di kelopak matanya. Begitu dekat. Sisa parfum kekasihnya masih melekat di ujung hidungnya. Laki-laki itu semakin menikmati kehadiran bayangan kekasihnya. Semakin lama ia berkhayal, ia merasa ada kebahagiaan yang ia ciptakan sendiri dalam kepalanya. Dan semakin ia merasa berbahagia dalam khayalan, semakin tak ingin ia untuk sejenak keluar dari kota di dalam kepalanya sendiri.
Apakah memang benar, khayalan mampu menyelamatkan kenyataan? (*)
Jember, 13 Januari 2019
Alif Febriyantoro, lahir di Situbondo dan belum mempunyai istri.
Cerpen : Tentang Kota dalam Pikiran Cerpen : Tentang Kota dalam Pikiran Reviewed by Redaksi on Januari 20, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar