Rekacipta Upacara Hodo: Belajar Dari Lenong



Tahun 2018 merupakan tahun yang menyibukan bagi Pemerintah Daerah kabupaten Situbondo. Di tahun ini, Pemerintah Daerah setempat tengah mempersiapkan berbagai hal untuk Program Tahun Kunjungan Wisata 2019. Berbagai upaya telah dilaksanakan termasuk usaha pemerintah merekacipta beberapa kearifan lokal yang sebelumnya tak dikenal dan bahkan terlupakan. Salah satu contohnya adalah Upacara Hodho untuk meminta hujan yang berasal dari Desa Dukuh Pariopo.

Sebenarnya, proses rekacipta banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Contohnya, proses rekacipta pada kebudayaan Betawi yang gencar terjadi pada tahun 1970an (Shahab:2004). Menurut penulis, Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo dapat belajar dari proses rekcipta kebudayaan Betawi. Rekacipta kebudayaan Betawi menjadi relevan untuk Pemerintah Kabupaten Situbondo karena pada saat itu proses rekacipta tersebut dilatar belakangi oleh inisiatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan perhatian lebih terhadap sejarah dan pariwisata (Shahab: 2004), sama dengan latar belakang Pemda Situbondo yang mengagkat kembali Upacara Hodo untuk tujuan pariwisata. Inisiatornya pun sama, yaitu pemerintah daerah masing-masing.
Di samping itu, kesamaan lain yang membuat rekacipta Betawi menjadi relevan adalah karena masyarakat Betawi dan Masyarakat Situbondo sama-sama kuat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini dapat dilihat misalkan sebagaimana yang dikutip Aisya (2016) dari Chaer, bagaimana Palang Pintu sangat identik dengan Islam dan bagaimana setiap pengantin laki-laki diharuskan untuk mengetahui ajaran Islam yang tersirat dalam pantun dan lagu sike yang disampaikan juru pantun. Sama dengan masyarakat Situbondo yang sangat kental dengan pesantren dan ulamanya, hingga dijuluki sebagai Kota Santri.
Dengan beberapa kesamaan tersebut, Penulis menyarankan Pemda Situbondo untuk belajar dari Proses rekacipta di masyarakat Betawi. Dalam hal ini, proses rekacipta yang dapat dijadikan contoh adalah proses rekacipta Lenong. Di sini, Proses rekacipta Lenong relevan degan proses rekacipta Upacara Hodo. Lenong sebagai hasil dari proses rekacipta digolongkan dalam recreated culture. Ia merupakan kebudayaan yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan tuntutan dan keadaan dengan penambahan fungsi baru. Lenong saat direkacipta, mengalami banyak modifikasi cerita sehingga menimbulkan perubahan fungsi lenong. Menurut Shahab dan Ardan dalam Shahab (2004) ada Lenong Departemen yang berfungsi menyampaikan program pemerintah, Lenong Mahasiswa yang sebagian besar penontonnya adalah mahasiswa.
Sama  seperti proses rekacipta Lenong, Hodho juga digolongkan sebagai recreated culture. Hodho mengalami beberapa modifikasi dan perubahan fungsi. Dalam sebuah video proses upacara Hodo yang diuggah kanal, Ananta, penulis melihat orang-orang yang terlibat dalam upacara tersebut mengenakan Batik Situbondo. Jika mengacu pada perkembangan batik di Desa Cotto’an, Batik Situbondo memang sudah ada sejak 1980an, namun bermotif madura. Sedangkan, motif kerang dan biota laut seperti yang terlihat dalam video tersebut adalah motif yang baru dibuat pada tahun 2010 setelah Syarifah dan beberapa orang mendapat pelatihan dari Dinas Tenaga Kerja (Putri:2017). Sedangkan Upacara Hodo sendiri telah ada sejak 1880an , sejak Bhuju’ Mothi’, Bhuju’ Sembang, Bhuju’ Heni’, dan Bhuju’ Hayab membuka lahan Desa Dukuh Pariopo (Hasan:2018). Artinya, unsur Batik Situbondo yang ada di dalam Upacara Hodho adalah satu hal yang baru. Selain itu, Upacara Hodo mengalami pergantian fungsi, yang dari awalnya berfungsi untuk meminta hujan bertambah fungsi untuk objek wisata.
Dalam proses rekacipta kebudayaan Betawi, termasuk Lenong, Pemprov DKI cenderung hanya melibatkan golongan profesional dan seniman yang tidak berasal dari Betawi. Akibatnya, terdapat beberapa hasil rekacipta yang tidak mencerminkan Betawi itu sendiri. salah satu contohnya adalah Lenong Rumpi, salah satu variasi dari Lenong (Shahab:2004). Menurut penuturan beberapa orang Betawi yang diwawancarai, sebagaimana dikutip Shahab (2004) dari  Pramuka dan Pos Kota, Lenong Rumpi tidak bisa diterima oleh masyarakat Betawi karena ceritanya sama sekali tidak mencerminkan Betawi yang identik dengan Islam dan tidak memenuhi pakem Lenong itu sendiri.
Lalu, apakah nasib Upacara Hodo sama seperti Lenong yang mendapat penolakan karena ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan kepribadian Betawi?
Menurut penulis Upacara Hodo dapat diterima dan jika dipromosikan secara gencar, ada kemungkinan Upacar Hodo dapat juga diterima sebagai identitas masyarakat Situbondo secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan karena unsur-unsur yang ada di dalamnya tidak bertentangan dengan nilai Islam yang ada di Situbondo. Bahkan, mantera yang dibaca di dalamnya memasukkan unsur Islam.
“Bismillahirrahmanirrahim. Tembang pamoji kaule. Pamojina socce kalaben ate se pote. Kaangghuy ngadep ajunan Gusti. Moge-moge karadduwe parnyo’onan ban. Partobeden. Son nak poto abibiden Nabi Adam. Wekasane Nabi Muhammad. Sengkok jenneng Alif, Alif igu popocogi. Sang pangocap sapa liwepa. Sengko’ makhlukka Allah. Mandhi... mandhi... mandhi....Diye…Tekka... tekka... tekka...Diye…Sendhit Jibril… sakeng Malaekat. Ondem dateng... Ondem dateng... Ondem. Dateng...Mon geggere... Mon geggere...Amin… amin… amin…Lailaha illallah Muhammadurrasulullah. Dangdangkep sere kakep. Mon majid mara ngocap. Mon manossa mara nyanggigep. Somor bandung talage petteng.  Sabuhoni moge ondem.Petteng dateng. Malaekat papat tekka dateng. Saksena para wali. Wawalina Nabi Muhammad. Lailaha illallah Muhammadurrasulullah” (Maknuna dkk: 2013)
Selain itu, Upacara Hodo adalah kebudayaan yang lahir di lingkungan yang sangat panas yang dipercaya dapat mengundang turunnya hujan. Lingkungan yang sangat panas tersebut tidak hanya berada di Desa Dukuh Pariopo, namun hampir di seluruh wilayah Situbondo yang memang dekat dengan pantai. Sehingga, di beberapa desa lain terdapat upacara serupa seperti Demong di Desa Agel, Esmo Kerem di Desa Palangan dan Ojhung di Desa Bugeman, yang berfungsi sama untuk mengundang datangnya hujan (Maknuna dkk: 2013). Jadi, sebenarnya masyarakat Situbondo sangat familiar dengan tradisi memanggil hujan seperti Upacara Hodo. Sehingga, kemungkinan besar jika pemerintah dapat mengangkat Upacara ini dengan baik, Upacara Hodo dapat menjadi identitas masyarakat Situbondo secara keseluruhan.
Melihat Potensi Upacara Hodo yang sangat familiar dengan Masyarakat Situbondo dan tidak adanya unsur yang bertentangan dengan nilai Islam yang melekat dengan masyarakat Situbondo, Pemerintah dapat memanfaatkan mereka cipta Upacara Hodo untuk kemudian menjadi identitas masyarakat Situbondo. Tentu, dalam penjelasan penulis, masih banyak kekurangan dalam mengeksplorasi hal-hal yang relevan dari proses rekacipta pada masyarakat betawi untuk proses rekacipta budaya di Situbondo. Oleh karenanya, masih perlu dilakukan eksplorasi proses rekacipta pada kebudayaan Betawi ataupun proses rekacipta di tempat lain. Sehingga, dari situ Pemerintah Kabupaten Situbondo dapat belajar bagaimana melakukan proses rekacipta dengan baik. []
           

Daftar Pusataka:
Aisya Shelma. 2016. Struktur Teks, Konteks Pertunjukan, Dan Ajaran Islam Pada Palang Pintu Pada Pernikahan Adat Betawi. Akhais. Hal: 25-28
Hasan Tutik M. 2018. Tradisi Pojiyan Hodo Dalam Perspektif Filsafat Nilai Max Scheler. Surabaya: Universitas Negeri Sunan Ampel
Maknuna, Laksari L dkk. 2013. mantra dalam tradisi pemanggil hujan di situbondo:Kajian struktur, formula, dan fungsi. Publika Budaya: halaman 1-15.
Putri Risqi R A P. 2017. Dinamika Industri Batik Cotto’an di Desa Peleyan Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo Tahun 1950-2016. Jember: Universitas Jember
Shahab Yasmine Z. 2004. Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok: laboratorium Antropologi FISIP UI

*penulis adalah Mahasiswa Antropologi FISIP UI.

Rekacipta Upacara Hodo: Belajar Dari Lenong Rekacipta Upacara Hodo: Belajar Dari Lenong Reviewed by takanta on Februari 09, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar