Cerpen : Hari yang Baik untuk Menikah



Gadis itu tersenyum kepadaku setelah meletakkan secangkir teh hangat di depanku.
“Harusnya kau tak perlu repot-repot, aku cuma sebentar.”
“Kau kan sudah lama tidak ke sini. Apa salahnya?” jawabnya sembari melemparkan senyum padaku.
Inilah yang aku benci. Mestinya aku tak menuruti kemauan calon istriku untuk mengundangnya. Kalaupun aku terpaksa menurutinya, mestinya bukan aku pula yang mengantarkan undangan ini padanya.
“Mana undangannya?” katanya. Aku terkejut. Bagaimana ia bisa tahu?
“Sudahlah,” ia melanjutkan. “Tidak ada alasan lain seorang laki-laki datang ke masa lalunya kalau bukan untuk memberi kabar kebahagiaan?”
Lidahku kelu. Kupaksakan bibir ini menyunggingkan senyum padanya. Aku mengambil undangan pernikahanku dan menyerahkan padanya. Ia mengambilnya dan mulai membaca. Ia jelas melihat namaku di sana. Namanku yang bersanding dengan wanita lain, calon istriku.
“Selamat ya.” ucapnya.
Aku mengangguk. Entah kenapa aku tak bisa berkata-kata. Kelebat bayangan masa lalu, hilir mudik di kepalaku. Apalagi ia sempat melemparkan senyum padaku tadi. Maka sempurnalah aku terkepung masa-masa saat aku bersama dirinya. Mendadak aku juga terkurung rasa bersalah.
“Maafkan aku.” ucapku pada gadis itu.
“Untuk apa?”
“Kita.”
Gadis itu hanya tersenyum. Ah, lagi-lagi. Senyum itu bagai gelombang kejam yang memporak-porandakan perasaanku.
“Bukankah kita memang tidak pernah bersama?”
“Tapi kita punya masa lalu.”
“Semua orang punya masa lalu, bukan?” tanyanya, tanpa hilang senyum di wajahnya.
“Aku yang tidak bi-”
“Sudahlah,” potong gadis itu. “Dua minggu lagi kau menikah.”
Lidahku kembali kelu. Ternyata bukan kehadiran masa lalulah yang membuatku ketakutan. Inilah yang lebih menakutkan: melihatnya mengatakan ‘kau akan menikah’. Aku tak tahu bagaimana ia bisa setegar itu. Tapi aku mendengar nada getir dalam kata-katanya.
“Kenapa kau tidak menikah di hari libur saja?” tanyanya, tiba-tiba. “Hari Selasa, sepertinya aku tidak bisa hadir.”
Seolah seperti tersapu angin pegunungan, hatiku mendadak sejuk. Aku bahagia mendengar ia tak bisa hadir. Setidaknya aku tak melihatnya datang di acara pernikahanku. Aku tak ingin momen itu dirusak oleh masa lalu yang justru dirikulah yang tak bisa mengendalikannya.
“Itu hari yang paling mungkin. Kami menyesuaikan dengan kondisi dan situasi juga.”
“Maaf, ya. Aku tak bisa hadir.”
“Tak apa.”
“Aku mencintaimu,” katanya. Aku terkejut, jelas. “Kau lelaki yang tanpa kenal lelah mengejarku saat SMA dulu. Lelaki yang membuat masa-masa sekolahku menjadi begitu bahagianya. Kau membuatku merasa senang, sekaligus khawatir. Kau, cinta pertamaku. Tapi kau tak bisa meyakinkanku. Kau gagal. Sikapmu seringkali bertolak-belakang dengan ucapanmu. Kau membuatku bingung. Mana yang mesti aku pilih? Bahkan bertahun-tahun setelah masa SMA usai, kau masih belum mampu meyakinkanku. Kau hanya bisa mengejar tapi tak pernah bisa meraih. Atau mungkin kau sengaja tidak ingin meraihnya? Sekadar mengejar saja?”
Mendengar ucapannya, dua anak sungai mengalir begitu saja di wajahku. Kata-katanya telah mengguncang perasaanku. Aku remuk redam. Kutatap ia. Aku tak malu lagi berurai airmata di hadapannya. Ia, gadis itu, gadis yang kukenal sejak baru masuk SMA, dan aku langsung jatuh cinta padanya, tak kulihat sedikitpun menitikkan air mata.
Aku tak tahu bagaimana mesti menjawab perkataanya. Perkataannya benar, tapi tak sepenuhnya. Ada sesuatu yang begitu rumit dalam hatiku yang tak dapat kujelaskan. Mungkin agar lebih bijaksana, aku mesti mengakuinya sebagai kesalahanku seutuhnya.
“Barangkali, ketidak-hadiranku akan menjadikan hari yang baik bagimu untuk menikah.” []

Cerpen : Hari yang Baik untuk Menikah Cerpen : Hari yang Baik untuk Menikah Reviewed by Redaksi on Mei 05, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar