Cerpen : Mimpi Setelah Membaca


 
Oleh: Yolanda Agnes Aldema

Akulah perempuan paling beruntung sejagad. Memperoleh seorang laki-laki yang sepanjang hidupnya mengkonsumsi buku, menggubah puisi dan menulis cerita pendek sebagai perekam segala yang ia lakukan dan pikirkan. Katanya, ketika membaca dengan sungguh-sungguh, ia selalu terangsang untuk menulis. Menjadi seorang kekasihnya adalah mencipta kehidupan yang damai, apalagi untukku yang tak tahu apapun perihal memproduksi tulisan.
Mengenal samar-samar ketika satu kelas dengannya. Aku tak pernah menjemput bola, ia lah yang mengeluarkan tanda-tanda. Aku seolah menang dan menemukan harta karun lengkap dengan petualangan penuh misteri. Aku tak akan bercerita panjang tentang kehadiran rasa kasmaran, waktu itu, ketika hujan sering datang bersama kilat dan angin. Sebuah cerita pendek yang dibuat untukku adalah mantra yang membuatku jatuh hati. Baru kali itu, tiga lembar tulisan secara sekejap dan tetiba membuatku menerimamu. Dahulu, aku sedikit meragukanmu.
***

Buku adalah barang yang layak mendapat banyak ucapan terima kasih. Saban malam aku selalu membaca buku. Tunggu, jangan anggap aku ini pandai dan kutu buku. Hal lain mengharuskanku membaca. Kadang-kadang, tak jelas dari mana datangnya, aku kesulitan untuk tertidur. Saat itulah aku membaca buku, layaknya sebuah obat penawar. Lima belas menit kemudian, hanya ada suara dengkuran dan lelehan ludah.
Buku hanya pengantar tidur yang mujarab. Sebulan satu kali aku akan mengunjungi toko buku untuk membeli novel atau kumpulan cerita pendek yang harganya telah kupatok tak terlalu mahal. Caranya, pilih saja buku yang tidak terbit pada bulan yang sama ketika membeli buku. Aku tak pernah mementingkan buku keluaran terbaru atau yang telah lama nangkring di rak-rak toko buku. Sepertinya, aku sedikit paham judul dan nama pengarang buku-buku sastra.
Tidak hanya malam hari, ketika ingin tidur siang, aku membaca buku agar segera tertidur. Hingga tak jarang, sederet kisah dalam buku pun masuk ke ruang mimpi. Bertransmisi ke dalam tidur. Siang itu, setelah membaca cerita pendek Eka Kurniawan, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta melalui Mimpi, aku bermimpi. Dalam mimpiku, Maya ditinggal kekasihnya demi perempuan yang tidak lain adalah sahabatnya, dan melalui mimpi ia akan memperoleh seorang kekasih. Ceritanya tak berubah, hanya saja laki-laki dalam mimpi Maya adalah kau. Laki-laki yang baru-baru ini jadi kekasihku.
Getaran ponsel dan meja berpelitur, membangunkanku. Rupa-rupanya pesan singkat darimu. Kau bercerita, sedikit mengeluh, kau merasa sial, seorang mahasiswa semester satu telah menyabet juara pertama cerpen langganan salah satu koran kenamaan di negeri ini. Aku hanya mampu bertanya, siapa mahasiswa semester satu itu. Aku tak tahu dan tak mau tahu, sebenarnya. Ya, walaupun akhirnya aku tetap mencari berita itu di internet.
***
Burung-burung pulang ke peraduan. Silam, ketika ekosistem masih seimbang, burung-burung akan pulang kepepohonan, ke dalam sangkar jerami buatan. Kini yang terjadi, burung-burung bergumul di atas kabel listrik yang silang sengkarut di atas riuh rendah suasana sore menuju malam. Burung-burung kehilangan pohon dan sangkar jerami, mereka terpaksa menggantinya dengan kabel hitam dan udara karbon monoksida yang melambung ke udara. Langit telah berkarat, menjelma kuning tua dan lampu merah akan meminta para pengendara untuk berhenti sejenak, menonton burung di atasnya. Warnanya hitam, berukuran seragam. Cukup mengerikan.
Kita tak sengaja mendiskusikan burung senja yang kehilangan rumah, ketika perjalanan menuju tempat berkencan. Sebelumnya, aku tengah mendengarkan kau bercerita novel Faisal Oddang, Puya ke Puya. Segala perihal adat Rambu Solo, Tana Toraja, Allu, dan kematian ayahnya. “Aku takjub dengan perpindahan sudut pandangnya, baru pertama kali kutemui, memakai tanda asterisk,” sela ku ditengah ceritanya.
“Itu biasa. Kau berarti kurang membaca,” sahutnya. Aku membaca Puya ke Puya berkat kau yang meminjamkan tempo hari. Baru kali itu, kusediakan waktu khusus untuk membaca, kutahan kantuk di kepala. Setengah jam saja bertahan dengan bacaan saban siang dan malam. Tak hanya itu, kau pun mengajariku menulis cerita pendek. Kau menjelaskan panjang lebar, bagian yang paling kusuka adalah ketika ia menganalogikan ketika akan membuat akhir cerita, jangan sampai tertebak. Misalnya aku menebak akhirnya A, temanmu menebak B, kau tahu kau harus membuat akhir yang bagaimana? Buatlah akhiran X atau Z. “Nanti malam cerita pendek milikmu harus kau kirim. Aku tunggu,” semburnya setelah perkuliahan selesai. Seketika, aku langsung setel wajah kusut. Kau tertawa.
***
Kehidupan sepasang kekasih macam ini belum pernah kulakukan, fakta buruk yang sesungguhnya adalah aku tak pernah memiliki kekasih. Ini memalukan, tolong jangan komentar. Kontan, aku sering merasa tak pantas. Ditambah lagi, Budi Darma, pemilik kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington pernah menulis, seorang penyair yang betul-betul penyair harus memenuhi dua syarat; sanggup menulis puisi baik dan memiliki kepribadian yang menarik. Kau penyair yang menarik.
Aku ini tidak menarik sama sekali sebagai perempuan semester lima, yang kulakukan dengan buku hanya lima belas menit sehari, tidak pernah menulis, dan tidak bercita-cita. Aku hidup untuk bebas dari segala. Ya, walaupun bebas dari segala tidak menjamin hidupku bahagia. Setidaknya aku berdiri di kaki sendiri. Maka dari itu, diawal cerita ini, kutegaskan ulang jika aku adalah perempuan paling beruntung sejagad memiliki kekasih macam kau.
Ingatkah jika malam ini kuharus mengirim sebuah cerita pendek? Bacalah lagi ceritaku jika lupa. Malam ini langit berkalang mendung, aku meneleponmu. “Halo.” sambarku di ujung ponsel. “Iya. Kenapa?” tangkismu diiringi suara kresek-kresek.
“Aku sangat lelah, ingin tidur,” tawarku dengan nada manja agar diperbolehkan menunda mengirim cerita pendek. Sebenarnya, aku ingin tahu apakah kau memiliki sifat sabar atau tidak.
“Huuuu,” suasana hening, aku tidak berani bicara. “Baiklah, tak apa. Tapi besok kirimkan padaku. Malam ini, agar kau segera tidur, akan kusebutkan judul-judul buku favoritku. Mau?” Aku segera mengingat Dilan 1990, Pidi Baiq, ketika Dilan menyebutkan nama-nama binatang untuk Milea sebelum tidur. Sepertinya kau sangat paham bahwa perempuan naif di dunia ini memang ingin dikejutkan, ingin tapi tak mungkin minta, kejutan dengan hal sederhana sekalipun. Seperti saat ini.
“Boleh,” sambil tertawa kecil aku menjawabnya. Aku mempersiapkan posisi terbaik untuk tidur, menghadap ke kiri dan menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh kecuali wajah. Maklum, langit tengah berkalang mendung, sebentar lagi hujan hadir.
“Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Puya ke Puya, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta melalui Mimpi, Sepotong Senja untuk Pacarku, Malam ini Aku Akan Tidur di Matamu. Apakah kau sudah terlelap?” Ia menyebutnya dengan sangat lambat, seperti bocah kecil menjawab salam.
“Belum,” jawabku sekenanya. Ia pun meneruskan, “Hujan Bulan Juni, Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?” Setelah itu, hanya ada suara dengkuran dan lelehan ludah. Aku tak ingat percakapan apa lagi yang keluar dari ponsel. Katamu di pagi hari, “Dengkuranmu terdengar sampai seisi kamarku. Aku jadi tidak bisa terlelap.”
Malam itu, malam yang tidak akan kulupakan. Aku tidak perlu membaca buku selama lima belas menit untuk tertidur pulas. Hanya perlu barang kali lima menit, mendengarkan suaramu dan membayangkan wajahmu, ya walaupun kau tidak tampan laksana dewa Yunani. Keajaiban lagi-lagi kau munculkan.
***
Ketika aku menulis cerita ini, seyakin-yakinnya, bahwa kisah cinta itu telah basi untuk diungkit. Aku telah patah hati. Tak dinyana, kau telah memutus aku. Laki-laki yang pandai menulis itu pemarah dan pencemburu yang ulung. Ekspresi yang muncul sungguh dramatis seperti puisi-puisi kesedihan. Seenak jidat ia memutus hubungan begitu mudah. Perempuan manapun kujamin pasti patah hatinya. Ini patah hati yang lebih menyakitkan dari apapun. A-pa-pun. Aku tiba-tiba kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya.
“Aku tidak menyukaimu lagi. Mari, akhiri hubungan ini,” titahmu dengan wajah dingin seperti sebongkah salju menutupi wajahmu yang tidak ada tampan-tampannya itu.
“Apa kau bilang, cepat sekali hatimu berubah-ubah?” Setelahnya aku terbatuk, seraya membersihkan tenggorokan.
“Sudahlah. Jangan banyak bertanya. Kita akhiri,” kau segera pergi meninggalkan aku. Kulihat perawakanmu dari belakang, punggungmu seketika lenyap dari rona mataku.
***
Malam ini, setelah membaca cerita pendek milik teman kuliahku. Teman? Ah, sebenarnya, aku tidak terlalu mengenalnya, hanya sepintas lalu. Ia cukup terkenal dan diidolakan adik tingkat. Seorang laki-laki yang cerita pendek dan puisinya telah malang melintang di koran-koran daerah dan luar kota. Ceritanya sangat menyedihkan, sebuah rasa patah hati yang diterjemahkan oleh kata-kata hingga terbawa dalam tidur, aku rupa-rupanya bermimpi menjadi kekasihnya. Lalu berakhir dengan rasa patah hati yang lebih menyakitkan.
Suara jam weker membangunkanku, lalu terbelalak dengan lelehan air mata dan kelopak yang merah. “Apa yang terjadi, mimpi atau nyata? Ah, semua sama saja aku tak berhasil memilikinya. Laki-laki itu bukan kekasihku.” Aku segera menyadarkan diri dengan menepuk-nepuk wajahku.
Sial, aku terlambat. Hari ini aku harus kuliah pagi. Aku segera bergegas dan untunglah, aku tak jadi terlambat, kulihat teman-teman sedang memarkir motornya, aku pun begitu. Teman-teman menyapa, lalu berjalan terlebih dulu menuju kelas, aku pun segera mengikutinya dan terhenti dengan tarikan rambut yang kuurai begitu saja karena tak sempat mengikatnya. Kupalingkan arah dan, kudapati kau dengan senyum matahari pagi, kau merangkulku lalu berkata, “Kau tidur nyenyak malam tadi?”

Biodata Penulis
Yolanda Agnes Aldema, lahir di Boyolali, 7 Agustus 1997. Menempuh kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret. Cerita pendeknya pernah dimuat di Radar Bromo, Radar Banyuwangi, dan Malang Post. Dapat dihubungi melalui surel yolandaaldema28@gmail.com dan telepon 087835571378.

Cerpen : Mimpi Setelah Membaca Cerpen : Mimpi Setelah Membaca Reviewed by Redaksi on Mei 12, 2019 Rating: 5

1 komentar