Cahaya Literasi dari Ujung Langit Baluran


"Sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan di ibu kota?" Ucap saudaraku yang baru saja meletakkan pantatnya di teras musala.
Aku tidak tahu pasti, apakah kalimat itu sebuah pernyataan atau pertanyaan. Memang tidak ada tanda-tanda atau juga rumus 5W+1H dalam kalimat itu. Tapi aku pastikan, kalimat itu butuh tanggapan dari mulutku yang sedang mengunyah biji-bijian hitamEh tidak terlalu hitam, masih kecoklat-coklatan. Jelas aku sudah siapkan jawaban untuknya. Toh kalau jawabanku tidak seperti yang ia inginkan, saudaraku akan protes. Tentu bukan orang lain yang punya hak untuk memprotes. Kalau orang lain yang memprotes, sudah bisa dipastikan mereka banyak nonton sinetron.
"Sudah kek. Kalau tidak, sudah back to kampung lebih awal, tidak perlu nunggu lebaran. Meskipun dikata ibu kota kejam, Alhamdulillah saya telanjangi kekejamannya dengan modal sosial behavior ala kampung." Jawabku singkat.
Tanganku masih sibuk memutar-mutat grinder manual yang sudah terisi biji-bijian setengah hitam tadi. Biji-bijian itu melahirkan aroma nikmat yang sangat khas dari daerah pegunungan Temanggung.
"Ini baru mantap kopinya, Kek. Memangnya kopi yang enak itu dari mana?"
"Semua kopi Nusantara enak, Kek. Tidak ada yang lebih unggul. Mereka akan terasa enak dan nikmat di lidah penikmatnya masing-masing. Kalau ada penikmat kopi yang masih mengunggulkan kopi favoritnya. Tidak usah diikuti, itu lidah-lidah pembohong. Barangkali lidahnya belum cukup banyak keliling ke kebun-kebun petani Nusantara."
Siang itu, awal-awal obrolan kami hanya seputar kopi. Dan keberhasilanku menahan tangis di bawah siksa ibu kota. Juga kisah kehilangan dari seseorang yang siang itu menunggu seduhan kopi dariku, Muhammad Farhanyang baru-baru ini, menulis kisah kehilangannya: Lebaran dan Dua Kepergian.
"Bagaimana kabar literasi kita?" Kali ini, aku yang balik tanya.
"Gairah menulisku kian subur, seiring teman-teman meninggalkanku satu persatu ke kota metropolis. Tapi tak apa-apa, aku hanya butuh dukungan, untuk melahirkan cahaya literasi dari ujung langit Baluran."
Saudara, sahabatku, Farhan, aku menaruh sedih, setiap kali ia mengajak menghidupkan kembali literasi yang kami gagas di kampung, namun tak ada tanggapan dari sahabat-sahabat yang pernah satu lingkaran di meja diskusi literasi sumberanyar.
Dalam tulisannya yang dimuat di takanta.id, ia telah menulis tentang kehilangan dua sosok tersayangnya. Sedangkan aku, tak ingin ia merasakan kehilangan yang ketiga kalinya, sesuatu yang menjadi jantung kedua dalam hidupnya, yaitu literasi kampung yang pernah digagasnya bersamaku dan kawan-kawan lainnya.

Literasi Kota Santri
Matahari kembali turun dari pendakian, menggeser seperempat arah jarum jam dinding dari angka 12. Seiring itu, obrolan kami juga bergeser ke literasi kota santri secara umum. Sebab tidak hanya kami pegiat literasi di kota ini. Ada banyak kawan-kawan yang bergerak di dunia literasi pinggiran kota. Misalkan beberapa mereka yang tergabung ke dalam beberapa komunitas literasi di Situbondo, antara lain: Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS, Damar Aksara, Gerakan Situbondo Membaca (GSM), dan Literasi Sumberanyar yang kami gagas di kampung.
Tak hanya itu, kami juga membicarakan progres literasi Situbondo ke depan. Pembicaraan kami tidak lepas dari literasi. Kami bicara tentang penulis-penulis nasional yang lahir dari rahim kota yang katanya kecil ini--kecil mungkin secara infrastruktur.
"Saat ini sudah banyak penulis-penulis muda yang tumbuh di Situbondo. Relasi dengan penulis-penulis nasional sudah baik seperti Sofyan dan Imron."
"Ya, kita harus mainkan vlog-vlog yang kontennya tentang dunia literasi. Tapi harus dikonsep sedemikian rupa agar punya daya tawar di kalangan milenial, Kek."
Betul, menurutku, dengan mendatangkan penulis-penulis nasional, gerakan literasi kita akan banyak dikenal. Misalkan kegiatan akhir bulan puasa kemarin yang dimotori Imam Sofyan dan kawan-kawan lainnya. Mereka berhasil mendatangkan Mas Sigit, Pak Martin dan lainnya di acara Kayumas Bersastra. Sesuatu yang luar biasa. Dengan demikian, penulis-penulis lokal yang baru tumbuh, dapat termotivasi dengan kehadiran mereka.
Secara, kedatangan mereka sudah memberikan apresiasi terhadap kegiatan literasi di kota santri. Tanpa disadari, hal ini merupakan bentuk advertise yang dilakukan teman-teman terkait kehidupan literasi di Situbondo. Saya yakin, hal itu akan menjadi pembicaraan tokoh-tokoh tersebut di forum-forum lain yang mereka datangi, bahwa Situbondo akan besar dan menjadi pusat peradaban intelektual lintas kota se-Tapal Kuda. Sayangnya, gerakan literasi ini kurang mendapat perhatian dan sambutan yang mendalam dari pemerintah.
Kopi yang aku suguhkan sudah tinggal ampasnya. Aku meracik minuman baru untuk aku suguhkan kepada saudaraku Farhan. Kelapa muda kucampur dengan fanta putih serta susu kental manis, minuman yang sudah lama tidak aku nikmati di ibu kota. Lah kok bisa? Apakah di ibu kota tidak ada? Oh tidak, bukan begitu. Apakah harganya yang mahal? Tidak juga. Bukan persoalan harga. Hanya saja aku tidak sempat bersantai-santai. Entahlah, yang jelas menikmati minuman macam itu berbeda di kota dan di desa. Nuansanya sangat berbeda, apalagi dinikmati bersama dengan sahabat yang sudah lama tak jumpa.
"Saya suka dengan teman-teman yang saling melengkapi. Artinya saling mengoreksi karya-karya yang sudah dibuatnya. Secara linguistik, kita masih butuh belajar dan saling koreksi."
"Itu bagus, selama kritik positif, untuk apa kita tersinggung. Kalau perlu kita adakan perang tulisan. Kita sama-sama belajar, bukan berarti karena banyak koleksi buku, lalu tidak suka tulisan kita dikritik. Karena menurutku, cerminan pembaca yang baik akan menghasilkan karya yang baik, baik penulisan kalimat atau subtansi tulisan." Jelas aku kepada sosok pemuda di depanku meskipun sedikit mengutip kata-kata orang yang pernah aku dengar atau mungkin pernah aku baca.
Guru bahasa Indonesiaku pernah bilang dulu, kalau kamu masih salah-salah nulis, apalagi tidak tahu arti kata-kata populer, lebih baik jual lagi buku-buku koleksimu, kemudian belanjakan kamus populer dan buku-buku linguistik.
"Aku suka tulisan mas Imron, yang ceritanya tentang mas Zaidi." Kami tertawa.
Entahlah, memori otakku tidak cukup banyak merekam pembicaraan yang menghabiskan separuh hari. Aku lebih banyak menikmati pertemuan itu, sebagai pelepas rindu.
"Teman-teman harus saling melengkapi."
"Giat literasi pemuda Situbondo tidak hanya terbatas di lingkaran kampus. Dan itu susah di temukan di kota-kota lain."
"Oh iya kopinya mantap."
Kalimat-kalimat itu berkali-kali melompat dari ujung lidah Mas Farhan, sampai ia meninggalkan teras Musallah di depan rumahku, saat matahari mulai terbenam.

N. Fata. Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Nasional. 
Cahaya Literasi dari Ujung Langit Baluran Cahaya Literasi dari Ujung Langit Baluran Reviewed by Redaksi on Juni 09, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar