Cerpen : Nanti Kutukar Cincin Pemberian Ibumu itu



Oleh : Nurul Fata
“Harga tiket sudah meroket. Sudahlah Bos, ayo dong, gagalin saja lewat tol langitnya. Kamu lewat darat saja ya, meet-up ya, Bos.” Suara itu, sangat feminism. Kata Bos, adalah cara dia memanggilku, Eny.
Mendengar harga tiket semakin meroket, aku kaget. Padahal tadi pagi masih satu juta seratus sebelas ribu seratus sebelas rupiah. Barangkali, ini sebuah petunjuk dari Tuhan, agar aku lebih ekonomis dan meminimalisir pengeluaran, untuk menghindari perut kosong di tanah perantauan.
Oh iya, aku sempat lupa tidak menanggapi rintihan kerinduan gadis Cilacap itu. Terlalu banyak membandingkan harga tiket antara tol darat dan tol langit. He’em… dia memintaku untuk menemuinya. Di rumahnya? Tentu. Kebetulan Tanteku dan dia satu daerah, satu kampung, bahkan satu RT. Ada alasan untuk sekadar singgah.
Ya begitupun dulu pertama kali aku mengenalnya, Tanteku yang menjadi perantara. Sekitar satu tahun yang lalu. kata Tanteku dia seorang Bidan muda di Desa Pasuruhan, Cilacap.
“Eny…En…” Yah, seperti itu orang-orang memanggilnya.
Aku mulai bingung, antara melanjutkan perjalanan menggunakan bus kota, kereta atau besi terbang yang akhir tahun 2018 memakan korban. Di terminal terbesar yang ada di Jawa Timur, Bungurasih, aku menenangkan diri dulu, sambil cek tiket, siapa tahu berubah. Hasilnya sama saja tanpa satu angka pun yang berganti.
“Booos, ikut bus saja dari sana. Berhenti di Buntu ya, dekat rumahku kok. Entar aku yang jemput deh. Dari sini naik baru kereta. Ini ada satu tiket, pemberangkatan besok sore. Aku booking dulu ya.”
Mau tidak mau, aku mengikuti kemauannya. Hitung-hitung bisa bersilaturrahmi ke rumah Tante. Sayangnya di tengah perjalanan, aku mendapat kabar lagi darinya. Dia bilang, tiketnya keburu habis, orang lain lebih dulu membelinya. Tak apalah, masih ada alternatif lain. Bus juga siap aku tumpangi, kalau memang tidak ada kereta.
“Buntu… buntu… yang buntu. Buntu, Mas?”
“Iya pak.”
Tapat Azan subuh berkumandang, aku menginjakkan kaki di perempatan Buntu. Gerimis menyambut lembut kehadiranku. Aku berteduh sejenak, sebelum melanjutkan langkah kaki ke arah masjid di seberang jalan. Seorang bapak-bapak mendekatiku.
“Mau ke mana mas?”
“Ke rumah saudara, pak.”
Jari-jariku sibuk pada layar ponsel pintar.
“Kalau di sini, zona merah mas. Gak ada yang berani ke sini kalau pesan ojek online!” tegur dia.
Tanpa kata-kata, aku tunjukkan kontak ponsel yang sedang menelepon seseorang. Tak ada sepatah kata lagi, seketika dia pergi dari depanku. Aku pun kembali menyeret koper hitam melintasi punggung perempatan jalan. Sambil lalu menunggu jemputan, aku tunaikan ibadah kepada Tuhan.
Usai salat, aku menunggu di teras masjid. Tak lama berselang, senyuman manis di bawah gerimis tumpah di hadapanku. Dia membawa motor Beat hitam, memakai helm warna hitam, seragam dengan warna motornya.
“Kita ke stasiun dulu ya, cari tiket. Setelah itu baru ke rumah Tante.”
Aku hanya menunjukkan dua jempol kepadanya. Dan mengganti posisinya di atas motor. Pagi itu, aku baru pertama kali boncengan motor dengan Eny. Sejuk pagi kota ini kurasakan sepanjang jalan. Membentang sawah ribuan meter, hijau padi menghiasi.

***
Beruntung aku dapat kereta, tertera jam pemberangkatan di tiket itu, 11.16 WIB. Mumpung matahari baru ngintip-ngintip celah-celah rel kereta, aku harus lekas-lekas ke rumah Tante. Rumah Tante yang tak jauh dari stasiun Kroya, cukup lumayan irit waktu. Setiba di sana, Eny langsung pulang ke rumahnya yang hanya beberapa langkah dari rumah Tante.
Sebelumnya, aku memang sengaja tidak memberi tahu Tante, kalau aku akan berkunjung ke rumahnya.
Assalamualaikum.”
Lama tak mendapat jawaban, ada seseorang yang sedang menonton Tv di dalam rumah.
Waalaikumussalam.” Wanita itu, lari heran campur kaget, menyergapku dengan pelukan. Dia tidak menyangka aku akan tiba di sana. Memang aku tidak pernah bersilaturahmi ke rumahnya selama ini. Andai tidak kenal Eny, mungkin selamanya aku tidak akan pernah ke sana. Tante Tija, satu-satunya Tanteku yang jauh dari keluarga. Dan mungkin aku adalah orang kedua nantinya.
“Kamu kok gak ngasi kabar sebelumnya.” Sambil merengek senang akan kehadiranku. Suaminya keluar juga menemuiku, memelukku. Para tetangga kaget akan suara penyambutan Tante pagi itu. Bayangin dia teriak habis, seolah-olah hidup sendirian di tengah hutan.
“Ponakanku… ini baru ke sini, dia gak bilang-bilang.” Dia memperkenalkanku kepada tetangganya.
Bincang-bincang tak menentu: tentang perjalananku, kabar orang rumah, musim tanaman, usaha yang sedang Tante kembangkan dengan suaminya, hubungan dengan Eny, tentang pernikahan dan sebagainya. Masih banyak yang mau dibahas Tanteku, hanya saja terhenti saat aku hendak makan. Eny datang ke rumah Tante. Sebenarnya dia ingin menjemputku main ke rumahnya sebelum aku ke stasiun. Sayangnya, waktu memburuku, aku tidak bisa mampir ke rumah Eny, bertemu calon mertua.
Aku juga buru-buru makan, padahal aku masih ingin menikmati masakan tante itu. Entah enak apa karena aku sedang lapar. Waktu sisa16 menit, aku harus pamit dan lekas buru-buru ke stasiun yang kira-kira memakan waktu 10 menit dari rumah Tante. Menit-menit terakhir. Ah macet lagi, aku dan Eny masuk gang-gang kecil sebagai jalan tercepat. Sayangnya, itu bukan solusi, aku harus pelan-pelan, banyak anak-anak kecil. Dan akhirnya aku sampai di stasiun.
“Kereta Mataram belum berangkat pak?”
“Bisnis ya?”
“Iya Pak.”
“Silakan buruan masuk mas. Pak… pak… mataram belum berangkat.” Kata petugas stasiun kepada Scurity.
“Lah ini.” Dia menjawab.
Keretanya sudah melaju pelan. Aku lemas, hilang uang itu, hangus. Menurutku uang itu banyak. Aku sudah membuangnya. Kesal, kesal, kesal. Dan Eny menerima lampiasan kekesalanku siang itu.
“Sudah boos, kita cari tiket lagi.”
“Emangnya cari duit gampang?”
“Udah… udah… ayo bawa jalan-jalan biar tidak setres.” Aku menolak ajakan itu. Sikapku dingin ke padanya. Sangat lama, Eny menghilang. Tak lama ia kembali membawa selembar kertas.
“Ini ada tiket, pemberangkatan nanti malam pukul sebelas tiga puluh.” Sebenarnya aku masih kesal, namun dia mampu meluluhkanku sampai akhirnya aku mengikuti apa kata dia.
Kami pergi ke pantai siang itu, pantai Widoropayung namanya. Pantai yang pernah menelan nyawa manusia beberapa tahun yang lalu, akibat datangnya tsunami. Aku menyaksikan banyak pemandangan di sana. Ombak laut selatan, menakutkan. Namun mata disejukkan olehnya. Para wisatawan lokal nampaknya menikmati suasana itu, meskipun terbilang panas. Ada yang bermain di bibir pantai, mengendarai kuda, anak-anak kecil yang kejar-kejaran.
“Kamu mau Mendoan?”
“Apa itu?”
“Tempe digoreng sama tepung. Disajikan menggunakan sambal kacang.”
“Wah, enak nih? Khas Cilacap?”
“Kemungkinan. Hehe”
Terik matahari tak terasa ketika panasnya kami nikmati berdua. Awalnya aku pikir tidak ada nelayan di daerah ini. Namun Eny bilang banyak, tempatnya di pantai sebelah. Kami juga membicarakan hubungan kami ke depan. Aku bilang sama Eny, kemungkinan aku melanjutkan pendidikan S3. Sayangnya, Eny melarang itu. dia ingin segera dilamar. Khawatir usia tambah tua, dan kalau punya anak terlampau jauh, kurangbaik juga katanya.
“Sayang, kan sudah pakai cincin di jari-jari manisnya, tadi kok masih minta cincin lagi?”
“Ini kan dari Mama, aku maunya dari kamuuu…” aku tertawa pura-pura goblok.
Sore, aku terbangun di sebuah kursi di pinggir pantai. Aku ketiduran, sengaja dibiarkan oleh Eny. Katanya aku tampak kecapean. Pengertian memang kekasihku ini. Eny meneria panggilan dari Tanteku, dia meminta kami segera pulang, karena matahari sudah larut malam.
***
Malamnya, Eny memintaku untuk datang ke rumahnya. Permintaan itu aku sampaikan ke Om dan Tanteku saat kami sedang makan bersama setelah salat Magrib.
“Ya sudah, habis ini kita jalan-jalan ke sana.”
Aku senang mendengarnya. Di sisi lain, aku juga ragu, khawatir keluarga Eny menolak kehadiranku. Tapi tak apalah, aku sudah siap dengan semua risiko. Apapun aku harus menerimanya. Aku hanya ingin bersilaturahmi, dan itu permintaan Eny, minimal namaku yang sering dibicarakan di lingkungan keluarganya tampak wajahnya malam ini.
Kami bertiga menuju rumah Eny.
“Bapaknya Eny itu, orang paling kaya di desa ini, Le.”
“Iya kah”
“Iya.” Perbincangan itu berlangsung selama perjalanan menuju rumah Eny. Mendengar itu, pantatku tambah mengecil. Aduh, gimana kalau aku disuruh menjauh dari anaknya.
Di pintu masuk, Tanteku memberikan salam. Keluarga Eny ternyata sangat akrab dengan Tanteku. Mamanya yang belum pulih betul dari sakitnya menyuruh Tanteku masuk. Kami pun masuk ke dalam rumahnya. Terjadilah perbincangan ringan di ruang tamu itu. Awal obrolan basa-basa tentang penyakit ibu Eny.
“Siapa dia?”
“Ini ponakanku dari Jawa Timur.”
“Oalah, yang kenal Eny itu tah?” kata mama Eny.
“Iya, Bu.” Jawabku lirih.
“Gimana mas? Langsung saja kalau sama Ibu. Ada hubungan apa dengan Eny.” Katanya sambil senyum-senyum. Aku tidak menjawab. Mereka tertawa.
Eny tersipu malu-malu menampakkan wajahnya. Ia duduk di samping mamanya. Di sofa panjang ada Eny, dan mamanya, aku dan Tante di kursi yang menghadap Eny dan mamanya. Sedangkan Om duduk berdampingan dengan Bapak Eny.
“Saya sebagai orang tua, bukan melarang kalian berteman. Malah saya berterima kasih Mas En ini bisa bersilaturahmi ke sini. Saya berharap kalian mempunyai pemikiran yang luas untuk masa depan.” Kata bapak Eny yang sedari awal hanya diam dan ikut-ikut tertawa ketika yang lain tertawa.
Selang beberapa menit sejak kedatanganku, keluarga Eny berdatangan, dari keluarga bapak dan ibunya. Mereka satu persatu datang, dan diperkenalkanlah aku kepada mereka semua. Pertemuan itu berlangsung cukup lama, sebab keluarga Eny satu-satu berdatangan. Mereka membuli kami berdua. Wah kedatangan mereka membuat aku tertekan. Kalau dibahasakan, mereka menuntutku untuk segera melamar Eny. Kami pamit dari rumah itu sekitar puku sepuluh malam. Dan kalian tahu? Aku sampai dibuntuti sampai halaman rumanya oleh ibu Eny.
“Boos, tahun depan, uangku sudah punya milikmu, sedangkan uangmu tetap uangmu. Dan hutangmu menjadi tanggung jawabku, sedangkan hutangku tetap jadi hutangku.” Begitulah nasib suami. Pesan itu aku kirim ke kontak WhastApp Eny sebelum dibawa pergi kereta. []

Cerpen : Nanti Kutukar Cincin Pemberian Ibumu itu Cerpen : Nanti Kutukar Cincin Pemberian Ibumu itu Reviewed by takanta on Juni 30, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar