Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang

Imam Sufyan dan Martin Aleida


Lelaki tua itu melangkah gontai. Mengambil posisi paling belakang diantara beberapa orang yang antri lebih awal. Tidak ada kelelahan disurut wajahnya. Perjalanan Jakarta – Yogyakarta – Kayumas, Situbondo dan Bali seperti perjalanan yang sama sekali jauh dari keletihan. Sampai jumpa tahun depan, Pak Martin. Di Situbondo.
Malam itu, setelah dari Bali menempuh transportasi bus, lelaki yang sudah berumur 75 tahun kembali ke Jakarta menggunakan kereta. Martin Aleida. Saya memanggilnya, Pak Martin, sekalipun saya lebih sreg memanggilnya dengan, Mas Martin. Di ruang tunggu kereta, Pak Martin masih bersetia menceritakan kesustraan. Sempat terbersit untuk merekam percakapan dengan gadget yang saya bawa. Saya urungkan karena pesan, Pak Martin, dalam buku Tanah Air Yang Hilang saat mewawancarai Wenni Santoso, “Kisah akan jauh lebih menarik kalau ditulis berdasarkan pada ingatan dan bukan pada pita rekaman, yang harus diputar-putar ulang, membuat percekapan kehilangan jiwa.”
Benar saja, saya benar-benar kesulitan untuk mengingat-ngingat percakapan pada jumat siang itu. Hingga tulisan ini dibuat saya masih merasa kesulitan. Seingat saya, Pak Martin, memberikan wejangan tentang beberapa karya penulis novel indonesia yang meraih penghargaan bergengsi. Pak Martin menilai karya tersebut bagus, tetapi bukan itu yang dikritiknya. Melainkan tidak adanya kejujuran dalam sebuah karya.
“Kesusastraan kita ini kacau balau.”
Sesekali saya mencertikan tentang pertemuan saya dengan penulis yang meraih penghargaan sastra khatulistiwa. Sebab perjalanan Surabaya – Situbondo menghabiskan banyak waktu, ditambah tidak adanya transportasi semacam kereta, apalagi bandara, penulis yang saya temukan di Surabaya tersebut enggan datang ke Situbondo. Pak Martin hanya merespon begini,
’Mereka hendak membangun kesusastraan dengan cara elitis. Padahal, masih banyak daerah yang harus mereka datangi.”
Boleh saja, Pak Martin, mengkritik prilaku sastrawan elitis. Tapi tidak bagi saya. Jika boleh saya memilih siapa yang pantas untuk saya salahkan, saya akan tunjuk jari telunjuk saya ke wajah pemangku jabatan Situbondo. Tahun kunjungan Wisata (TKW) yang digaungkan sedari 2018 hingga saat ini hanya sebatas pemanis periode. Tapi, sekali lagi, siapa lah saya yang hanya seorang pekerja dibidang jasa ojek. Di ruang tunggu kereta, saya lebih banyak mendengar daripada harus berbicara. Pengalaman-pengalaman yang Pak Martin alami adalah pengetahuan segar bagi saya. Jarang saya temukan dalam lembaran teks. Saya anggap ini bagian dari kuliah sastra nonformal.


Buku
“Kamu sudah baca buku Adonis?” kata Pak Martin.
“Belum, Pak. Tapi saya punya buka empat jilid itu.”
“Saya belum punya. Bukunya mahal. Teman saya sempat menawari saya. 250. Waktu itu saya belum punya uang.”
Kali ini, Pak Martin, menjelaskan tentang buku-buku yang ia baca. Saya seperti seorang anak kecil yang diberikan dongeng dengan ayahnya menjelang tidur.
“Di buku Adonis diterangkan, kesusastraan Arab itu berhenti saat menganggap Al-Qur’an sebagai wahyu.
Wah.
Lalu kembali Pak Martin menjelaskan tentang buku Balthasar’s Odyssey karya Amin Malouf. Tidak terkecuali latar belakang Amin Malouf sebagai warga negara Libanon. Saya masih dengan posisi yang sama : mendengarkan dengan seksama.
“Kalau bisa Reading Group karya Ernest Hemingway, The Old Men And The Sea. Itu buku bagus. Kamu harus baca.”
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia karangan Sigit Susanto menjelaskan tentang The Old Men And The Sea yang diilhami saat perlombaan menangkap ikan marlin, atau ikan pedang di wilayah timur Havana, desa Cojimar. Penduduk Kuba memanggilnya dengan sebutan Papa Hemingway. Novel inilah yang mengantarkan Hemingway memperoleh nobel sastra tahun 1954. Uang hasil nobel tersebut diserahkan ke rakyat Kuba sebagai pembuktian, bahwa Hemingway sangat mencintai Kuba.
”Kalau mau cari terjemahan, carilah yang latarnya hampir sama dengan Situbondo. The Old Men And The Sea itukan tentang nelayan. Pas dengan Situbondo,” kata Pak Martin.
Pak Martin menceritakan lelaki nelayan yang bernama Santiago dalam novel tersebut dengan menggebu-gebu.
“Cari yang penerjemahnya perempuan. Jangan yang itu, Pak Martin menyebutkan nama sastrawan Indonesia, dia tidak tepat mengartikan kata “man”.
A Man can be destroyed but not defeated. Sastrawan itu menerjemahkan “Man” sebagai lelaki. Saya hampir berkali-kali membaca buku itu,lanjutnya.

Tanah Air yang Hilang
Buku ini hasil wawancara Martin Aleida dengan beberapa eksil di luar negeri yang kehilangan atas tanahnya. Kegetiran kelamnya masa lalu begitu terlihat dalam buku ini. Tragedi 1965 masih memberikan luka yang menganga bagi korban atas bengisnya sebuah orde. Mereka harus kehilangan tanah air yang dicintainya. Ada pula yang harus kehilangan keluarganya pula. Setelah turun dari Kapal Fery Gilimanuk-Ketapang, kami bersalaman.
“Gimana kabar kawan-kawan di Situbondo,kata pak Martin memulai
“Alhamdulillah baik, Pak,” jawab saya
Kami istirahat di rumah makan padang. Pembicaraan tentang buku Tanah Air yang Hilang dimulai. Rumah makan Padang berubah seketika menjadi sebuah ruangan formal. Ini semacam bedah buku. Pak Martin menjelaskan tentang proses kreatif menulis karya ini. Sesekali saya menimpali dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Pak Martin, itu Pak Sarmadji apa bisa dihubungi lewat email ya?
Pak Sarmadji adalah eksil kelahiran Solo yang memiliki minat membaca buku yang rakus. Tumpukan buku di rumahnya luar biasa. Beberapa tempat sudah dipenuhi oleh buku. Kecuali kamar mandi dan dapur.
“Inilah iuran saya kepada perjuangan. Saya bisa bertahan hidup dengan sehat, bahagia, karena buku-buku ini. Di buku tamu itu tercatat banyak nama. Dengan buku-buku ini saya juga bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain,” kata Pak Sarmadji
Diantara 19 orang yang diwawancarai Pak Martin, Pak Sarmadji lah yang membuat saya penasaran. Hasrat ingin tahu diumur 85 tahun tak menjadi beban bagi Pak Sarmadji. Lain Pak Sarmadji, lain pula dengan Sujono Soegeng. Sikapnya yang familiar sedikit mengurangi ketegangan saat membaca buku ini. Pak Seogeng memiliki humor yang nash dalam menyikapi tragedi 1965. Saat belio di-screening oleh pihak kedutaan, belio ditanya tentang satu hal.
“Apakah saudara setuju dengan orde baru atau tidak?’
“Apa itu orde baru? Saya tak tahu apa itu orde baru, kok saya harus menentukan setuju atau tidak,jawab Pak Soegeng.
“Kalau begitu anda komunis,tuduh orang yang melakukan screening
“Saya setan belang, tai kucing itu bukan urusan saudara,” kata Pak Soegeng.
Di rumah makan padang itulah kami lebih banyak membahas tentang orang-orang eksil yang ditulis oleh Pak Martin. Sekian.

Imam Sufyan

Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang Reviewed by Redaksi on Juni 03, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar