Adha yang Berpuisi

freepik


Malam ini membuat aku sedikit De Javu. setelah mendengar tabuhan bedug di setiap masjid, riuh takbir, lecutan kembang api, ucapan-ucapan maaf pada notifikasi gawai di semua sosial media. Ini hari raya. Mungkin bedanya, adalah baju yang tak semuanya baru, ucapan maaf yang tak setulus rindu, dan puasa yang tidak sesempurna pahala yang disuguh. Semua itu mengingatkanku pada ramadan. Ramadan kecil lebih tepatnya.
Aku sedikit menyingkap gorden kamar. Tidak ada yang bisa aku lihat kecuali keceriaan-keceriaan kecil. Entah benar-benar ceria karena adha atau hanya ikut-ikutan. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikiran orang-orang yang berlalu lalang. Saling sapa, jabat tangan, bermaafan, sampai janji bersilaturahmi ke rumah orang yang ditemuinya. Aku masih merasa De Javu.
Hakikatnya bukan karena itu semua. Tapi ada pada diriku sendiri. Mengapa tak sebahagia yang lain?. Tiba-tiba air mata merembes, mengalir. Senyum yang pura-pura. Ada apa? Mengapa terulang lagi?
Puasaku tuntas tepat magrib bertamu
Puasaku mendekap kala subuh bersitatap
Hingga takbir kembali mengajak bercumbu
Masjid sepi itu kembali ramai, Pak
Tinggal senyumku yang masih beku didekap tangis ibu.
Iduladha atau hari raya kurban. Dimana Ismail putra Ibrahim rela disembelih atas perintah-Nya. Tapi Allah menggantinya dengan kambing dari surga. Kisah nabi Ismail dan Ibrahim berputar mengelilingi pikiran yang mulai kacau. Adhaku haru. Puisi-puisiku mati tertimbun kayu yang menjadi bilik liang. Tinggal Adha yang masih setia berpuisi. Puisi rindu. Sebab hanya sekali dalam setahun ia bertamu. Datang sehari, lalu pergi lagi. Merakit rindu-rindu baru, serindu aku pada bapak.
Aku mulai mengerti, mengapa senyum tak cepat mampir, barangkali masih tersangkut pada kenangan-kenangan tahun lalu. Saat bapak masih berucap sendu "Adha sudah datang, apa kamu tidak mau membuat puisi untuk menyambut kedatangannya?" Aku masih ingat betul pertanyaan-pertanyaan itu. Sekarang aku tak punya puisi. Biarlah gantian Idul Adha yang berpuisi untukku. Gorden kembali kututup. Beranjak keluar rumah, merangsek dari duduk nyaman. Tanganku meraih pundak ibu. "Bu, dengarkan Adha berpuisi." Pintaku.
Aku seperti mendengar puisi dari alam, indah sekali. Sayangnya bapak tidak mendengar, beliau hanya mendengar puisi-puisi yang aku tulis dan bacakan. Kali ini, adha yang mengantarkan puisinya. Ia merakit setahun hingga sampai pada sumbu terpendek di telingaku. Adha bersalam, aku menyaut. Lalu adha berpuisi;

Aku datang lagi,
Bersama degup rindu yang terpatri
Lenguh takbir yang sejuk di bawah nurani
Purnamaku mengembang
Jangan biarkan senyummu tumbang
Bapakmu bersamaku menikmati cinta paling jingga
Lebih dari sekedar senja
Sambut aku beserta rindu
Syahdukan angin yang menyatu gema takbir sampai lepas subuh,
Sampai setombak condong di timur firdaus
Ikut aku berpuisi dengan suaramu yang halus
Berpangku kalam yang lurus.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Illahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilham.

Idul adha kali ini berbeda. lebih istimewa. Lebih sempurna. Bapak bahagia, aku juga harus sama. Bapak menikmatinya, aku juga harus demikian.
Lebaranku tidak boleh pekat. Anak-anak desaku berlarian, bersorak, menyulut petasan. Aku harus ikutan. Ibu beranjak juga, menuju dapur, menyiapkan makanan untuk besok dibawa ke masjid. Semua harus tetap berjalan. Seperti biasanya. Sebagaimana harusnya.
Sedihmu boleh tumpah di dekapku.
Suara yang sama seperti suara barusan. Membuatku kembali tenang. Puisi adha benar-benar menyadarkanku. Bahwa yang hilang dan pergi cukup dihantar dengan doa dan ngaji.
Adhaku adalah surat rindu dari bapak. Berupa puisi.

Tulisan ini saya persembahkan untuk Mas Imron, Mas Zaidi, Mas Farhan, dan kalian yang ditinggal bapak (pada hakikatnya tak pernah ditinggal), Hantarlah lewat doa. Ikhlas susah, biar doa yang bicara.

Malam Iduladha, 10 Agustus 2019.

Adha yang Berpuisi Adha yang Berpuisi Reviewed by takanta on Agustus 10, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar