Hari Raya Kurban dan Penghutbah yang Setia



Oleh: Imam Sufyan *


Hari raya Iduladha adalah hari raya penuh perayaan bagi umat Islam. Ia tidak hanya tentang silaturahmi dan bersalam-salaman. Tetapi juga tentang pesta daging kurban. Memang tidak ada nuansa mudik sebagaimana hari raya idul Fitri. Tetapi, saya rasa kesakralan Iduladha terletak pada pesta daging tersebut. Sekalipun hanya sebatas urusan perut, perayaan pesta daging kurban adalah sosialisme dalam lingkup agama Islam: sama rasa sama rata. 

Di sisi lain, perayaan pesta daging kurban merupakan simbol kebebasan yang hari-hari ini sudah mulai terkikis di Indonesia. Ia bebas mau dibuat menjadi rendang, sate, kuah semur, kuah sop, bakso dan sebagainya. Maka dari itu, mari rayakan hari raya Iduladha ini dengan riang gembira.
Sebelum umat Islam merayakan pesta daging tersebut, mereka berbondong-bondong melaksanakan salat Ied di musala, masjid dan lapangan yang lapang. Jika dirasa kurang, mereka juga bisa membuat shaf sendiri sampai ke belakang menggunakan sajadah yang mereka bawa. Sebuah pemandangan yang jarang terjadi saat shalat lima waktu. Bahkan salat subuh sebelum pelaksanaan salat Ied.
Kejadian semacam ini hanya terjadi dalam setahun dua kali, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Dari anak-anak yang belum mukallaf sampai lansia. Anak-anak akan mendapatkan pengetahuan baru tentang ketundukan dan kepasrahan dari nabi Ismail kepada ayahnya, Nabi Ibrahim. Hingga mereka tua nanti, anak-anak itu akan tetap mendengarkan kisah tersebut. Karena bagi si penghutbah, jamaah salat Ied yang dirahmati Allah SWT harus selalu mengutamakan sikap tunduk dan pasrah kepada orang tuanya. Sampai tua nanti.
Jadi, kalau saja saat pembacaan khutbah Iduladha ada banyak orang yang keluar sebelum khutbah selesai dibaca, ya harap maklumlah. Maqom penghutbah yang istiqomah bertahun-tahun menceritakan kisah yang sama saat Iduladha tidak sama dengan jamaah yang dirahmati Allah SWT.
Padahal, pada momentum banyaknya umat Islam yang sedang datang ke baitullah ini, perlu kiranya kita dengar kisah-kisah profil  Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang tidak hanya tentang ketundukan dan kepasrahan. Tapi lebih dari itu, yaitu tentang proses pencarian Nabi Ibrahim tentang tuhan yang panjang, sampai beliau memutuskan dan menyadari bahwa matahari, bulan dan api bukanlah penciptanya, melainkan dzat yang lebih besar dari semuanya. Kita juga perlu juga mendengar kisah bagaimana kejeniusan Nabi Ismail dalam memahami ilmu semantik (ilmu membaca tanda).
Suatu ketika, Nabi Ibrahim berkunjung ke rumah Nabi Ismail yang sudah lama tak ditemuinya. Sampai di rumah, Nabi Ibrahim tidak bertemu Nabi Ismail yang sedang berburu. Hanya ada istri Nabi Ismail di rumahnya. Tidak ada hidangan air atau makanan sebagaimana anda berkunjung ke rumah orang-orang Situbondoan. Padahal, untuk sampai ke rumah Nabi Ismail, Nabi Ibrahim melakukan perjalanan yang sangat panjang. Maka, dimulailah obrolan waktu itu dengan pertanyaan tentang kehidupan Nabi Ismail pasca menikah. Istri Nabi Ismail menjawab dengan keluhan-keluhan. Sebelum pergi, Nabi Ibrahim memberikan pesan,
"Sampaikan salam ku pada Ismail untuk mengganti palang pintu rumahnya."
Saat Nabi Ismail datang, istrinya menceritakan semuanya. Termasuk pesan mengganti palang pintu rumahnya. Mendengar pengakuan istrinya, Nabi Ismail langsung menceraikan istrinya. Kejadian ini tidak mencakup tentang ketundukan seorang anak kepada ayahnya saja. Tapi lebih dari itu, tentang kejeniusan Nabi Ismail dalam membaca tanda. Kisah-kisah semacam ini sepertinya perlu juga disampaikan saat khutbah salat Iduladha. Bukan kah kejayaan Islam terletak terhadap penguasaan segala ilmu pengetahuan?
Wallahua’lam Bisshowaf.

*) Penulis merupakan Koordinator GSM cum tukang ojek, Joker.

**) Gambar: um-palembang.ac.id
Hari Raya Kurban dan Penghutbah yang Setia Hari Raya Kurban dan Penghutbah yang Setia Reviewed by takanta on Agustus 12, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar