Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik?



Sebelum aku mengajakmu, maukah kau mendengarkan curhatku, Dik? Curhatan seorang lelaki yang hatinya tak henti-henti dirundung pilu ini.
Dik, aku menulis surat ini dengan hati yang tak cukup tenang. Aku masih terbayang kejadian di awal Maret, ketika perempuan yang kuharap menjadi teman hidup, memutuskan untuk pergi. Ia mengakhiri sebelas tahun perjalanan bersamaku. Perjalanan yang membentangkan narasi pahit-manis dua manusia yang dipertemukan Tuhan di bangku SMP.
Perpisahan itu sungguh membuatku sesak napas, Dik. Dadaku seperti terhantam pintu rumah. Gagang pintu itu sangat keras memukul dadaku, aku terjepit di antara pintu dan tembok. Dari celah yang sempit, aku melihatnya memunggungi pintu dan berlalu. Aku gagal menggenggam tangannya. Aku tak bisa menahannya pergi.  
Kau tak harus tahu apa sebab perpisahaan ini, Dik. Tapi, Kau tentu paham bahwa perpisahan adalah jalan yang melelahkan. Ada banyak hal yang harus dikubur dengan terpaksa, dengan susah payah: foto, kontak, dan bekas bibirnya di pipiku, juga bekas yang sama di keningnya. Belum lagi, tempat-tempat yang pernah membuat kebersamaan itu menjadi begitu mesra. Sangat mesra.
Tapi, melalui surat ini, maukah kau membantuku menghapus itu semua, dik?
Aku memang tidak mungkin memaksamu. Aku paham, hati perempuan terbuat dari kehatian-hatian. Pelan. Tak tergesa. Ia begitu halus. Maka, hati mana yang terbuka begitu mudah terhadap lelaki yang baru dikenalnya. Apalagi dengan seorang lelaki yang hidupnya karib dengan luka. Hati mana yang ingin terluka bersama-sama? Hati mana yang ingin terluka berlama-lama?
Tapi aku yakin. Kau mau membantuku. Menolongku dari segenap kepahitan cinta yang melelahkan ini. Kau akan membantuku dengan cara yang mungkin tak pernah aku pikirkan. Sebagaimana pada suatu sore yang landai, pada pertemuan yang tak satu setanpun tahu, senyummu itu, tak pernah kusangka memupus segala gelisah di hati ini.
Setengah kepahitan hidupku terhapus oleh senyummu. Senyummu, yang bagiku adalah cara paling tenang membunuh segenap luka.
Dik, sepertinya surat ini terlalu banyak bicara. Aku terlalu banyak mengungkapkan hal pahit yang sesungguhnya sudah kau tawarkan dengan senyummu itu. Seperti yang aku tulis, setengah kepahitan hidupku sudah kau hapus. Maka, bagaimana kalau kita genapkan bahagia itu, Dik?
Dik, tiga puluh dan tiga puluh satu Agustus esok ini, kotaku, yang juga kotamu ini akan mengadakan sebuah acara hiburan. Atau bahkan lebih dari sekadar hiburan, Dik.  Acara ini, tentu bukan lahir dari otak-atik-gatuk di meja perundingan yang pengap khas birokrasi kota kita, Dik. Melainkan dari mereka yang berhati dan berjiwa muda dengan kebersamaan yang rekat.
Mereka menamainya Festival Kampung Langai, Dik.
Aku tidak perlu bercerita panjang lebar tentang apa dan bagaimana festival ini lahir dan dibesarkan, Dik. Karena aku hanya ingin mengajakmu menonton acara ini. Berdua. Kamu mau kan, Dik?
Kau tidak perlu khawatir. Untuk sampai ke Kampung Langai, Dik, kau tidak perlu membuka google map atau bertanya pada orang selain aku. Karena, sudah kuniatkan aku akan menjemputmu. Mungkin nanti kita akan bertemu di beranda rumahmu. Aku akan menyalami orang tuamu, dan meminta restu berangkat.
Kita akan naik motor berdua, Dik. Dari rumahmu aku cukup melajukan motor dengan kecepatan 20 meter per jam saja. Tidak terlalu cepat. Tidak perlu tergesa-gesa. Agar banyak waktu untuk kita bicara dan menikmati perjalanan. Kita akan melihat kota kita yang kian hari semakin ramai dengan pembangunan: pusat perbelanjaan, perbaikan jalan dan taman kota.  
Itu bagus untuk kita, Dik. Semua itu adalah lahan basah untuk kita belajar bagaimana cara kota ini mencari bahagia. Bukankah hidup ini memang sebuah usaha menambang bahagia, Dik?
Meskipun seringkali manusia jatuh pada luka yang beruntun. Tapi sudahlah, luka dan bahagia itu seperti laut, pasang surut. Mari nikmati.
Lanjut ya, Dik. Tahun ini acara Festival Kampung Langai (FKL) sudah masuk yang ke-6. Temanya Burombu, Dibuang Sayang. Tema ini aku rasa menarik, Dik. Panitia ingin menyampaikan kepada kita bahwa setiap yang tak terpakai belum tentu hilang guna.
Ternyata, ada hal-hal di dunia ini yang dapat dimengerti menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Tinggal seberapa jauh nalar kepekaan kita membaca apapun situasi hari ini, Dik.
Bagiku, panitia FKL#6 ini seolah memberi isyarat kepada kita bahwa, kau boleh membuang sampah, tapi jangan sekali-kali kau buang kreativitasmu.
Tapi, Dik. Itu tafsirku. Belum tentu sama dengan tafsirmu.
Tapi, kita tidak akan berbeda dalam menikmati acara. Kita akan duduk beralaskan sandal kita masing-masing lalu menatap ke arah panggung lesehan yang belakangnya ada tumpukan botol bekas yang disusun menggunung. Seperti tumpeng. Nanti kita akan melihat beberapa pertunjukan yang menyenangkan. Dari musik tradisi sampai modern.
Kau sudah baca pamfletnya kan, Dik? Penampilan siapa yang dalam anganmu paling kau nantikan?
Sementara aku tunggu jawabanmu, aku menaruh penasaran dengan apa yang disiapkan Ali Gardy dan Mas Aves. Aku melihat aktivitas mereka di media sosial dan status whatsapp-nya, Dik. Ali Gardy memasang status sebuah video yang menampilkan Mas Aves sedang memegang botol bekas. Di depan layar laptop dan micrecorder, Mas Aves tampak menggosok-gosokkan tutup botol ke botol. Kemudian meremasnya, lalu meniupnya. Aku sama sekali tak paham komposisi musiknya bakal seperti apa.
Beberapa hari sebelumya, Ali Gardy juga menunjukkan sebuah video yang merekam aktivitasnya membuat alat musik dari raket bekas, seng, helm proyek, dan moncong botol pewangi pakaian. Ia meramunya jadi gitar. Entah gitar apa namanya.
Tapi yang jelas, Dik. Ali Gardy memang punya ide-ide gila. Sebagaimana kegilaannya terhadap perempuan yang beberapa hari lalu ia ceritakan padaku. Tapi, itu tak perlu kau tahu. Kau perlu tahu dia lelaki yang sangat keras dan tegas. Beberapa waktu lalu, ia pernah memarahi salah satu staf yang bekerja di Dinas Pariwisata karena tak sesuai dengan apa yang ia harapkan tentang sebuah pagelaran. “Aku tak bisa biarkan itu,” katanya, Dik.
Itu sekelumit Ali Gardy, Dik. Selanjutnya, kita akan banyak disuguhi pertunjukan dari beberapa penampil yang hadir pada FKL#6: Unen-unen, Ritual Semarang, Takesilua Japan,  Ozane Bill, Ruang Raya, Kembheng Molje dan banyak lagi, Dik.  
Nanti, kita akan belajar berbahagia lagi, Dik. Menata diri lagi. Dan, saling menguatkan.
Selebihnya, kita perlu menanam dalam-dalam di hati kita bahwa, kota ini masih bernyawa, kota ini masih berdetak, kota ini masih hidup dengan denyut nadi yang terbuat dari isi kepala pemudanya.
Tidak perlu silau dengan hingar-bingar kota lain dengan segenap lampion kefanaan yang mengerubungui mata kita, Dik. Cukuplah mengerti bahwa setiap petak kehidupan memiliki jalan dan nasibnya sendiri. Dan keduanya tidak harus bertakdir sama, satu sama lain.
Jadi, maukah kau menemaniku di Kampung Langai, Dik? Japri ya, Dik.     
___________________
*) Penulis merupakan guru di SMA Darul Ulum Banyuputih. Calon penonton FKL#6. 
   


Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik? Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik? Reviewed by takanta on Agustus 29, 2019 Rating: 5

4 komentar