Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun


 
Oleh:  Agus Hiplunudin

Sssssst... bunyi yang keluar dari mulutmu, sambil menempelkan telunjukmu di antara sepasang bibirmu—yang merah muda. Telunjukmu bagaikan sebuah anak selot yang mengunci pintu.  Aku pun seketika diam dan duduk mematung. Sepasang matamu menatap seekor capung merah marun yang hinggap di ujung bunga gelombang cinta. Perlahan kau mengangkat pantatmu, lalu berjalan sangat lamban jingkat-jingkat—sehingga daun kering yang kau injak nyaris tak gemerisik.
Dengan sangat pelan tanganmu bergerak, dan berhasil menangkap sepasang sayap capung merah marun dengan menggunakan ibu jari dan telunjukmu. Tawamu ruah, memenuhi kesunyian senja. Sepasang matamu melirikku, sambil berceloteh menghina ketidakbecusanku ketika aku menangkap capung. Aku pun turut tertawa. Kau kembali menghampiriku yang duduk di sebuah tugu batu dan kau duduk di sampingku.
“Lihatlah capung ini, warnanya merah marun, terlihat sangat indah,” katamu sambil memperhatikan capung tangkapanmu. Seperti biasa, setelah kau menangkap capung seluruh perhatianmu tersita padanya. Dan aku luput dari pandanganmu.
“Kasihan, capung ini terbang sendirian,” desahmu.
“Mungkin ia sedang mencari pasangan, mungkin pula ia sedang mencari jalan pulang,” sambungmu.
“Itu, pasangan capung merah marun,” kataku sambil menudingkan telunjuk ke seekor capung yang baru saja hinggap di ujung bunga rumput. Sepasang matamu menatap capung tersebut.
“Mungkin,” gumammu, “warna tubuhnya hijau dan sayapnya jernih.”
“Kau hendak menangkapnya?” tanyaku sesaat. Dan kau menggelengkan kepala.
Lalu, kau melepaskan capung merah marun dari ibu jari dan telunjukmu. Capung merah marun terbang kegirangan dan hinggap di samping campung bertubuh hijau. Capung bertubuh hijau terbang dan hinggap di atas punggung capung merah marun. Capung hijau menancapkan ujung ekornya ke tubuh capung merah marun, mereka pun terbang.
“Demikianlah bangsa capung bercinta,” katamu, sejurus kemudian.
“Betapa romantisnya mereka, bercinta sambil terbang, menghinggapi aneka keindahan bebungaan,” sambungmu, sambil tersenyum, seperti sedang mendamba.
Senja semakin menua. Langit oranye semakin menjingga. Matahari nampak kemerah-merahan. Dengan malu-malu ia bersembunyi di balik bayang-bayang bumi. Akhirnya alam menjadi pekat, tergantikan oleh keceriaan bintang-gemintang yang berserakan, berkejap-kejap bagaikan jutaan pasang mata bidadari.
Senja berikutnya. Senja yang masih muda, langit ufuk barat nampak ranum, kemerahan warna menambah jelita, diperindah oleh awan-awan keperakan. “Ssssst,” bisikmu. Dan aku tahu, itu tandanya capung merah marun kembali datang.
“Sekarang giliran kau yang menangkap, Diaz,” pintamu.
“Baiklah, Riah,” gumamku.
Perlahan kuangkat pantatku dari tugu batu, aku berjalan dengan cara berjingkat, sehingga langkah kakiku, nyaris tidak menimbulkan suara.
Capung merah marun nampak lengah, ia begitu nyaman hinggap di kelopak bunga rumput liar. Penuh kehati-hatian, aku sodorkan ibu jari dan telunjukku hendak menangkap sayapnya. Aku menirukan Riah. Namun, tidak dinyana; capung itu terbang dan luput dari tangkapanku. Dan lagi aku gagal.
Engkau tertawa ruah, menyisakan kejengkelan padaku. Sungguh, semua orang di kampungku tahu; bahwa aku seorang pemburu yang hebat, di mana rusa, babi, bahkan harimau dan singa betina sekalipun nyaris tak pernah bisa berlari dari buruanku itu. Aku dielu-elukan sebagai penangkap hewan liar yang piawai, bahkan Wak Ketok yang terkenal angkuh tinggi hati karena kemahirannya dalam hal memburu—tetapi di hadapanku; ia tak lebih dari sekedar kapas yang disiram oleh air, melempem, tiada berdaya.
Namun, kali ini Riah kekasihku menertawakanku, sebab aku hingga detik ini belum mampu menjadi pemburu capung yang baik, aku betul-betul kehilangan kemampuanku di hadapannya, dan mau tidak mau atau suka tidak suka harus kuakui kebenarannya. Aku kembali meletakkan pinggulku di tugu batu, duduk di sampingmu.
“Tahukah engkau, kenapa engkau tak pernah berhasil menangkap capung?”
Aku menggelengkan kepala.
Sejurus kemudian, engkau kembali berujar; “Ketika kau memburu hewan liar di hutan, kau memerlukan emosi, hasrat, dan ambisi, bahkan kemarahan yang berapi-api. Namun, ketika kau memburu seekor capung, kau harus mampu membuang semua itu. Yang engkau perlukan ketika kau memburu capung yakni; kelembutan, cinta-kasih, tanpa hasrat, tanpa emosi, terlebih amarah yang berkobar.”
“Ketika kau memburu hewan liar di dalam hutan sana, kau harus menganggap bahwa buruanmu itu sebagai musuh sejatimu. Jika perlu falsafah perang yang harus kau gunakan—kalau bukan dia maka kau yang akan mati. Namun, lain halnya ketika kau memburu seekor capung merah marun yang cantik itu; jangan kau anggap ia sebagai musuhmu, namun anggaplah ia sebagai kawanmu yang paling akrab, kau perlu kelembutan dan kemurnian hati kala kau hendak menangkapnya, sedikit saja hati capung terusik ia akan pergi meninggalkanmu, dengan kelembutannya ia mengepakkan sayapnya, menjauh darimu. Hasilnya, kau akan gagal, kau hanya dapat melihat kejelitaannya namun ia tak dapat kau miliki.”
Aku berusaha mencerna dengan apa yang dikatakanmu. Tampak olehku capung merah marun terbang, ia pergi, mungkin ia menuju rumahnya. Dalam hatiku bertanya-tanya; kemanakah capung bertubuh hijau dan bersayap jernih itu?
Pada sebuah senja yang jelita. Aku duduk di tugu batu yang biasa dipakai oleh aku dan Riah—untuk sekedar menghabiskan senja bersama capung merah marun. Dan, kali ini aku duduk sendirian.
Tampak olehku, capung merah marun hinggap di kelopak bunga rumput liar. Penuh perasaan aku berjingkat mendekatinya, dan kali ini ibu jari dan telunjukku berhasil menangkap sepasang sayap capung merah marun. Tanpa perlawanan sedikitpun, capung nampak nyaman dalam pelukan ibu jari dan telunjukku.
Aku cium punggung capung merah marun, “Kau Riahku,” lirihku. “Maafkan aku yang selalu terlambat mengertikanmu,” parau suaraku dalam sesak penyesalan. “Sekarang saatnya, aku biarkan engkau terbang, menjauh dariku. Maafkan aku Riahku.”
Selanjutnya capung merah marun aku lepaskan, tetapi ia tak lantas terbang, namun ia tetap diam di ujung telunjukku. Penuh kasih aku cium kembali punggung capung merah marun, “Terbanglah kekasihku,” bisikku. “Sekali lagi; maafkan aku yang selalu terlambat mengertikan kamu.” Lalu, sayap capung merah marun bergetar, ia seakan sedang menunjukkan kesedihannya. Selanjutnya ia terbang. Mencari tempat berlabuh. Hatinya terpaut pada capung bertubuh hijau dan bersayap jernih. (*)
Panggarangan, 1 Juli 2017
Agus  Hiplunudin, 1986  lahir  di  Lebak-Banten,  adalah  lulusan  Fakultas  Ilmu Sosial  dan  Ilmu  Politik  Universitas  Sultan  Ageng  Tirtayasa  Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
1.     Kumpulan Cerpen Edelweis yang Merindu 2019, Spektrum Nusantara
2. Kumpulan Cerpen Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut 2019, Spektrum Nusantara
3.     Novel Dendam yang Indah 2018, Jejak Publisher
4.     Kumpulan Puisi Nya 2019, Spektrum Nusantara
5.     Novel Orang Terbuang 2019, Spektrum Nusantara
6.     Novel Derita 2019, Spektrum Nusantara
7.     Novel Cincin Perak 2019, Spektrum Nusantara
8.     Novel Awan 2019, Spektrum Nusantara.
*Sumber gambar: selimuti.blogspot.com


Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun Reviewed by takanta on September 29, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar