Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan



Oleh: Muhtadi ZL

Perempuan itu duduk termangu di beranda rumah. Meramu kenangan pahit di masa silam. Dulu, terlalu banyak tangan-tangan hitam yang menjamah tubuhnya, sampai ia tak mampu menarik senyum di bibir ranumnya, hatinya perih, matanya pedih. Ingin sekali ia melebur ke dalam hujan di sore itu, agar suaminya tidak tahu kalau matanya mengembun.

Gemericik hujan yang bertalu-talu di genting, di halaman, di jalanan, di pelupuk hatinya, membuat perempuan itu senang ketika melihat hujan, meski sesekali kedatangan hujan memanah perasaannya. Jika itu terjadi, perempuan itu bersyukur karena dengan begituia beranggapanTuhan masih sayang padanya.


Ayu, begitu suaminya memanggil, perempuan umur 30-tahunan yang belum dikaruniai anak. Saat pertama mengenal Ayu, suaminya sering melihatnya menyendiri, kadang, di dapur, di ruang tamu, di emperan rumah, bahkan suaminya pernah memergoki Ayu sendirian di sawah. Suaminya hanya bisa menahan tanya, sesekali ia memaklumi, sebab, kata ibu Ayu, putrinya bersikap demikian setelah pulang dari Ibu Kota. Tapi tetap saja suaminya merasa ada yang janggal, hal itu yang membuatnya ingin mengetahui lukisan silam istrinya.

Terkadang, bila berduaan, Ayu lebih sering bungkam, apalagi hendak tidur, lebih parah lagi, ia bak angin yang mendayu, hanya ada namun tak bersuara. Sesekali suaminya bertanya tentang masa lalunya, tak ada respon dari Ayu. Ia seperti  orang kekeyangan. Bahkan sang suami pernah mendengar dari mulut tetangganya, kalau Ayu seperti kerasukan, dengan sikap dinginnya itu. Namun, suaminya menepis berita angin itu. Karena suaminya menilai keseharian Ayu sebagai istri,  sama saja seperti istri kebanyakan, hanya komunikasi saja yang membedakan.

Di pelataran rumah, Ayu masih setia menatap hujan jatuh dari genting dan talang rumah. Setiap tetesnya ia teringat pada masa kanak-kanak bersama Sulastri dan Wiwin, teman sebayanya. Mereka bertiga berlari-lari, sambil tertawa lepas, bermain cipratan air hujan yang menggenang. Teringat hal itu Ayu tersenyum, andai bisa terulang, ketika itu pula ia akan melebur bersama hujan, tapi itu nihil, melihat usia, tentu saja ia malu, meski mendapat izin dari sumainya.

Hujan memang tidak begitu deras. Angin hanya mendayu, membangunkan bulu roma. Beruntung meski senang menyendiri—kalau tidak lupa—ia akan membuat teh hangat. Karena ia berkeyakinan, meski hatinya pilu dengan manis gula, perlahan pilu itu akan lenyap, karena rindu yang memanah jiwanya mulai terasa lepas dan tak membuatnya berat pikir.

“Ayu, kamu tidak mau masuk, di luar dingin,” panggil suaminya pelan dari ruang tamu yang sedang menonton televisi ditemani kepulan asap rokok dan kopi.

Ayu mendengar panggilan itu, untuk menjawab rasanya berat. Seperti mendung yang mulai  ke barat, hatinya terjerat. Karena takut suaminya salah tanggap, Ayu menjawab persis seperti yang sedang ia perbuat.

“Iya Mas, Ayu tahu, tapi Ayu ingin melihat pelangi,” jawab Ayu. Suaminya menggeleng setelah menyeruput kopi.

“Ada-ada saja istriku,” gumamnya sambil menggeleng.

Dalam hati, ingin sekali ia menemui istrinya. Meski sedikit canggung dan tahu bahwa ia tak akan mendapatkan tanggapan dari istrinya, ia mencoba melawan angan kelabunya. Suaminya berdiri sambil menjepit rokok di sela-sela jarinya sambil membawa kopi yang tinggal separuh.

“Kamu sedang apa Ayu?” tanya suaminya lembut.

“Aku hanya melihat hujan, Mas,” tutur Ayu dengan wajah datar.

Seketika hening, tak ada suara dari suami istri itu, bunyi hujan semakin pelan. Begitu Ayu, jika ada lawan bicaranya ia akan diam—tak peduli siapa yang ada di depannya.

“Apa yang istimewa dari hujan?” tanya suaminya memecah keheningan.

“Karena hujan aku bisa bersamamu dan menjadi istrimu, Mas, raut wajah Ayu tetap datar, ia tidak melihat suaminya, tatapannya hanya melihat hujan yang berjatuhan bak beribu busur panah.

Suaminya tidak mengerti apa maksudnya. Berbagai tanya menggantung dalam benaknya.

“Aku tidak tahu apa maksudmu, Ayu.

Hanya perempuan yang bisa mengerti, Mas,” sergah Ayu.

“Maksudmu, Ayu?” sanggah suaminya cepat.

“Kamu tak perlu tahu, Mas” ucap Ayu.

“Aku ingin tahu, karena kamu istriku, Ayu. Nada suaminya agak naik.

“Justru karena kamu suamiku, Mas. Aku tak ingin kamu tahu. Karena kalau kamu tahu, Mas, kamu takkan mau menikah denganku,” elak Ayu panjang.
Baru kali ini suaminya bicara tanpa sekat. Semua ujaran Ayu singkat, padat dan akurat, sesuai dengan apa yang ia alami dan perbuat, yang tak lain adalah sejarah pahit bagi dirinya. Tetapi meskipun pagi itu indah bagi suaminya, karena dapat berbicara lencar dengan istri tercintanya, tetap saja hal itu  meninggalkan tanya dalam tempurung kepala suaminya. Sebab pertnayaannya tak kunjung mendapatkan jawaban dari isrtinya.

“Jika begitu akibatnya, aku akan diam dan kembali ke ruang tamu,” ujar suaminya datar, matanya bening, hatinya seolah tertusuk panah, ia tidak terima dengan sikap istrinya.

“Aku tidak ingin kita berpisah, Mas,” suara Ayu pelan. Matanya mengembun, seketika tubuhnya lemas, hati dan jantungnya terasa dirampas. Kini suaranya seakan dirampas angin.

Suaminya tidak menanggapi, ia hanya tersenyum, mencari alasan agar istrinya tidak tersinggung. Ia berdiri sambil membelakangi istrinya yang masih menatap rintik hujan.

“Kamu tidak marah kan, Mas?” tanya Ayu saat suaminya berada di ambang pintu.
Suaminya tidak menjawab, ia terus melangkah sambil mengangguk pelan, meninggalkan asap rokok yang beterbangan.

Hati Ayu lusuh, pikirannya keruh, laksana air yang tak pernah disentuh. Meskipun pikirannya keruh, Ayu mencoba meramu kejadian pahit sewaktu di Ibu Kota, bersama rintihan hujan yang kian samar-samar.

Waktu itu Ayu berjalan sendirian dari kampus ke indekosnya. Bulan mengintip di sela-sela awan. Bintang-bintang tampak memesona. Lampu jalan bersinar temaram. Jalan yang Ayu lalui agak sepi. Jantungnya berdegup pelan. Dengan wajah tenang ia lalui jalan yang seolah ada sesuatu, entah apa.

Sejauh mata memandang, indekosnya tampak, secarik senyum ia goreskan di bibir ranumnya. Ayu menengadah, awan hitam berarak menutupi bulan dan bintang-bintang. Ia terus berjalan, sambil sesekali menatap sekitar. Ayu kembali menengadah, langit sudah gelap. Angin malam menyapa kulit, sejuk. Malam itu Ayu ingin tebar senyum dalam peluk malam agar lelah dan penatnya berkurang.

Ayu terus melangkah, tak sabar tubuhnya ingin  segera rebah. Sebab seharian ini ia ngampus tiada henti. Entah karena apa, tiba-tiba perasaannya berubah, ia merasa di belakang ada  langkah. Ayu ingin sekali menoleh. Tapi, sontak tubuh Ayu didekap dari belakang, hidung dan mulutnya ditutup kain. Napasnya tiba-tiba sesak. Ia mamberontak, namun tak ada hasil, uratnya menengang, darahnya mengalir deras.  
Dalam pandangannya semua gelap, tetes hujan mulai terasa di kulitnya, kakinya tidak menyentuh tanah. Hujan semakin deras dan ia semakin cepat meski pandangannya buram. Semua gelap dalam pandangannya.

Seketika Ayu melihat sekitar. Dari sela-sela pintu ia melihat televisi masih menyala.

Ah, Mas nonton apa? ucapnya pelan, sambil mengelap pipinya yang mulai basah. Gerimis sore belum beranjak, malah terbang ke matanya yang seolah melipat jarak begitu mudah.

Ingatannya kembali pada tiga tahun silam. Ayu membuka mata dengan terpicing-picing, tubuhnya lemas. Pelan Ayu merasa selangkangannya sakit. Ia mencoba duduk. Perutnya sakit, tapi ia paksa. Ayu melihat darah yang mengalir dan menyatu dengan air hujan di sela-sela pahanya. Rasa sakitnya mulai menjalar ke badannya. Baju yang ia kenakan tak beraturan dengan celana yang melorot setinggi lutut. Perlahan ia sadar, apa yang terjadi pada dirinya.

Ingin sekali ia berteriak, tapi itu takkan membalikkan keadaan, sebab nasi telah menjadi bubur. Ayu berdiri dan melangakah ke bawah hujan yang masih deras. Mencoba tersenyum meski dengan paksa. Mengenang masa lalu yang membuatnya tertawa riang bersama Sulastri dan Wiwin, dulu. Dengan keadaan yang tak suci, ia mencoba menengadah, memohon ampunan pada Sang Maha Pengasih untuk menguatkan dirinya agar kuat menahan setiap cobaan. Di lehernya terasa ada gigitan, merah dan ia merasa sakit.

Ayu mengusap air matanya. Pandangannya rabun pada gerimis di sore itu. Ia tidak mau jika tubuhnya yang tidak suci diketahui oleh suaminya. Sebab itulah, ia memilih mengelak ketika ditanya perihal masa lalunya dan hal itu pulalah yang membatnya enggan untuk memiliki anak sebelum mendapat ilham dari Ilahi.
Mencintai hujan bila bertandang adalah kebahagiaan dan kesedihan yang tersirat baginya. Dengan hujan ia mendapat jubah untuk menutupi tubuh nistanya di malam itu dan  diperalatkan sebagai alat penyebrang lorong-lorong kebencian, neraka yang tak ia sangka.

Sore itu masih gerimis. Kelopak matanya masih mengembun dan mengalir air tipis-tipis. Hatinya teriris, dan ia mencium amis di sore yang puitis. Membuatnya tak tahan, lalu menangis bersama teh yang sedari tadi tak ia gubris. (*)

Muhtadi ZL, adalah santri  PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas  Cinta Nulis (KCN) dan Komunitas Penulis Kreatif (KPK). Dan Mahasiswa Instika (HES)

*sumber gambar: aiaara.blogspot.com
Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan Reviewed by takanta on September 08, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar