Cerpen: Pulang


“Ketika aku pulang, aku akan memberimu kabar, Sayang!” Dia bilang kepada tunangannya, Mila, sebelum kembali ke pondoknya. Sebelun mentari terbenam ke ufuk barat. Sebelum burung-burung kembali ke sarangnya. Sepanjang perjalanan dia ingat yang dikatakan Mila, “Kamu harus pulang!”
Suara itu menghantui pikirannya. Seakan-akan dia tak mau kembali ke pondoknya, dia terlalu sayang namun jika dia tak punya masa depan bagaimana cara membangun bahtera rumah tangganya nanti, dan bagaimana cara mendidik anak-anaknya kelak. Dia dilema oleh pikiran yang bukan-bukan. Tapi dia tetap memilih untuk kembali. Sepanjang perjalanannya dia berdoa agar cepat pulang dengan segunung ilmu.

 Inilah dunia pondok, hampir semua santri membencinya. Hanya satu alasan karena mereka tidak kerasan.
“Ren, apa kabar? Ada salam dari Mila, selamat menuntut ilmu katanya, dia mengharapkanmu untuk cepat pulang. Mila bilang satu minggu yang lalu padaku.” Kafka menyapanya, lalu menimpali sejuta penderitaan kepada Rendy.
Rendy tak berkata apa-apa, hanya menatapnya dingin lalu masuk ke kamarnya yang kecil, yang hanya untuk sembilan orang santri di dalamnya. Rendy memindahkan pakaiannya ke dalam lemari dari tasnya. Lalu dia diam sejenak, kemudian menatap Kafka, sahabatnya.
“Kafka, kau tahu! Dua hari sebelum aku kembali ke pondok dia bilang bahwa aku mulai berubah kepadanya, dia tak kuat jika selalu ku tinggalkan. Aku sakit hati, tapi aku tak punya pilihan lain selain kembali ke Asrama.”
Dia bicara dengan nada memelas. Kafka menatapnya dengan penuh tanda tanya. Kenapa dia terlalu serius, kenapa dia harus mengatakan yang semestinya harus dirahasiakan. Kali ini Kafka bingung dengan sahabatnya, bingung harus mengatakan apa. Kafka melepas tatapan tajamnya berjalan mendekati Rendy dan duduk di sampingnya.
“Ren, memang begitu tunangan di waktu muda, dan memang seperti itu perempuan. Ketika kau katakan sejujurnya dan kau serius kepadanya dan kemudian dia menerimanya. Dia tak punya pilihan lain selain dirimu, dia tak mau dikecewakan. Dan kau harus menjaga kepercayaannya.”
Kafka mengatakannya seperti itu walau sebenarnya tak tahu apa yang diinginkan oleh Rendy. Rendy saat ini benar-benar menderita, dia menetap sahabatnya kemudian tertunduk dalam waktu lama. Dengan perkataan Kafka hatinya merasa tergores. Dia benar-benar sakit hati.
“Ren, maafkan aku! Jika saat ini aku ada di posisimu pasti aku akan terluka. Yakinlah, Ren! Kau adalah lelaki sejati yang takkan melukai hati perempuan.” Kafka tersenyum sambil mengguncang-guncang tubuhnya, mengajaknya untuk ikut tersenyum.
Tapi Rendy tetap diam dan tak mau mengangkat kepalanya, seakan-akan dia asik menatap lantai kayu di dalam kamarnya. Bersamaan dengan itu, di luar sana, di atas pohon cemara, tampak dua merpati putih yang saling bersitatap, seakan-akan tak punya masalah, tak seperti Rendy dan Mila. Dua merpati itu sebagai tanda apa, mungkin suatu saat Rendy dan Mila akan sebahagia itu? Entahlah, tak ada yang tahu. Ini masih dalam ikatan tunangan, masih belum pasti untuk menikah, sebab ini adalah adat di negeri ketimuran.
***
Semantara di rumahnya, Mila merasa bersalah, juga sakit hati. Dia tahu Rendy pasti marah. Dia dihantui oleh perasaan yang membuatnya tak nyaman. Seakan-akan  dia dilanda rindu. Bersama hatinya yang sedang gelisah, dia bermaksud untuk mengirim surat kepada Rendy, tunangannya. Dia mencurahkan segala isi hatinya ke dalam kertas kosong.
Untukmu yang berawalan huruf “R”....
Kau tinggalkan aku tiga hari, aku tak kuat menahan rindu. Tiga hari bagiku bagai tiga tahun. Aku tahu, pedang hanya bisa melukai kulit tetapi lidah bisa membuat hati terluka, seperti yang dirasakan aku dan kau, Sayang. Maksud hati ingin menjadi pahlawan, tetapi kau selalu mengalah. Hatiku mulai ragu kalau kau masih setia kepadaku. Maaf bila aku harus terus terang, dan maaf selama ini aku tertutup. Wanita tak lepas dari rindu, Sayang. Dia tak mau untuk kesepian, dia butuh kepastian. Dan kau memilih untuk meninggalkan, katanya demi masa depan. Dan, apakah aku bukan masa depanmu? Lalu untuk apa kau pinang aku jika kau memilih untuk pergi menjauh? Atau aku adalah orang kedua dalam hidupmu? Aku tak kuat untuk terus menerus menjadi tawanan, aku butuh penjelasan sekarang.
Aku takut kita tak bertemu lagi, Sayang. Aku butuh penjelasan, dan kuharap kau cepat pulang! Aku takut tak punya waktu lagi untuk menetapmu, takut kau pergi jauh, atau aku sudah tiada. Maaf, Sayang, bukan bermaksud melukai, hanya kekhawatiran seorang wanita saja!
Kekasihmu”M” yang selalu menantimu untuk pulang.
Setelah menulis, dia beranjak ke tempat tidur. Dia tak punya daya. Dia mau tidur. Setelah memejamkan mata, di pipinya terdapat butiran embun. Dia tertidur, surat berada di pelukannya.
Hari mulai beranjak sore, dunia kini berubah warna, awan seakan-akan melambangkan kesedihan, kicauan burung sudah tiada. Menandakan apa hari ini? Entahlah, seakan-akan semuanya berubah. Di keluarga Mila juga merasa ada yang hilang, kenapa sampai sore seperti ini dia belum bangun tidur? Biasanya dia tak pernah tidur waktu sore. Mamanya gelisah, lantas datang ke kamar Mila. Ternyata Mila sedang tertidur pulas. Mungkin Mila kecapean, pikir mamanya. Sebenarnya mamanya itu tak ingin membangunkannya. Tetapi tidur di waktu sore kurang baik.
“Anakku, Sayang... bangun, Nak! Sudah hampir Maghrib!”
Ia membangunkan sambil mengguncang tubuhnya. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa Mila bangun. Mamanya mulai gelisah, ia guncang tubuhnya lebih keras, tapi Mila melemas. Namun di bibir Mila tersungging senyum kecewa, mamanya mulai tersenyum juga, ia menyangka putrinya bercanda. Ia pun menyubit pelan pipinya, namun tetap saja warna wajahnya tak berubah, iapun khawatir dan menyentuh dadanya ternyata tak ada detakan. Mamanya mulai memanggil dokter, tak lama kemudian dokter itu datang dan mengatakan satu kalimat yang membuatnya terluka. Kini Mila Aprillia benar-benar meninggal dunia. Seluruh keluarganya berduka.
***
Suasana di pondok pesantren biasa saja. Semua santri disibukkan oleh kegiatan. Mengaji kitab, ikut bimsus, sekolah di waktu pagi, sore hari juga bersekolah diniyah. Itulah dunia pondok pesantren. Saat ini cuaca tak terlalu panas, karena ada mendung yang menyelimuti. Dari masjid Jamik, Kafka terburu-buru mencari Rendy. Ada sesuatu yang ingin disampaikan tapi ini berita duka, tentang Mila yang meninggal dunia.
“Ren, ada berita duka! Kamu meninggal dunia, Ren!” Kafka mengucapkan dengan nada terbata-bata.
“Apa?! Aku meninggal?! Lihat dong, kau sedang bicara denganku. Kau ganggu saja.!” Dia mengatakannya jengkel dan tak peduli.
“Siapa bilang kau mati? Mila , Ren, Mila...”
“Kenapa? Ada apa dengan Mila? Cepat katakan, Kafka!” Rendy memotong pembicaraan Kafka, dia penasaran sekali.
“Mila meninggal dunia, Ren!”
“Kau jangan main-main Kafka! Atau kuhajar kau! Kau buat hatiku semakin khawatir.”
“Aku jujur, Ren! Tak mungkin aku bohongi sahabatku sendiri apalagi tentang cintamu. Barusan Ibu menelponku lewat HP pesantren bahwa Mila meninggal dua jam yang lalu.” Kafka mengatakan pelan dan serius. Wajah Rendy kini berubah menjadi pucat, matanya tak menatap Kafka lagi, dia mulai mempercayainya.
“Serius?! Kenapa aku tidak diberi tahu oleh ibunya? Dan kenapa Mila tak pernah menceritakan penyakit yang dideritanya saat-saat bersamaku. Dia menutup diri.” Rendy memelas, menatap dingin sahabatnya.
“Kenapa kau hanya diam?” Tegas Kafka.
“Ya aku mau apa?”
“Kau harus pulang dan datang ke rumahnya Mila!”
Tanpa bicara lagi Rendy bersiap untuk pulang, tinggal minta izin pada keamanan pesantren.
Sebuah motor melaju cepat, Rendy diantar langsung oleh salah satu pengurus pesantren. Katanya pengurus itu masih punya keluarga dengan mamanya Mila. Beruntunglah Rendy tak merepotkan orangtuanya. Namun, anehnya di jalan raya ramai sekali.
“Kenapa ramai sekali ya hari ini?” Rendy mengeluh. Namun tak ada yang menanggapinya.
Melihat kosongnya jalan, motor yang membawa Rendy melaju dengan cepat. Berharap cepat sampai. Di tengah kecepatan motor itu, tampak sebuah mobil menyeberang melawan arah.  Dan, Brakkk!  Hancur sudah motor pesantren itu. Dilihat dari jauh tak ada yang bergerak. Mobil yang menabrak Rendy berhenti sebentar, lalu melaju cepat. Tak peduli apa yang terjadi.
Jangan-jangan ini ramalan dua merpati yang saling bertatapan di saat Rendy berbincang dengan Kafka waktu kembali ke pondok. Atau itu bukan merpati, melainkan malaikat yang memberitahukan kepada Kafka bahwa hari itu adalah hari terakhir menatap sahabatnya, Rendy. Atau, itu bertanda kebahagiaan Rendy hanya hari itu. Entahlah, itu hanya tafsiran belaka, Tuhanlah yang Maha Tahu.
***
Cerita ini tentang dua orang yang saling mencintai, dua cinta yang saling rindu, dua cinta yang tak bertemu di kala dilanda rindu, cinta yang menginginkan untuk cepat pulang. Mila yang pulang terlebih dahulu, pulang untuk selama-lamanya. Mila yang ingin Rendy cepat pulang tapi Mila terlebih dahulu meninggalkan Rendy. Rendy yang pulang ingin melihat jasad Mila untuk terakhir kalinya malah jasadnya sendiri yang dilihat banyak orang.
Menyedihkan sekali. Dua cinta yang saling bertemu, kemudian menghilang tanpa ada yang mengetahui. Rendy dan Mila bertemu sebelum kembali ke asrama, itu merupakan pertemuan yang paling terakhir. Rendy pulang ingin melihat jasad Mila, malah dirinya sendiri menjadi korban. Ini tentang cinta yang saling rindu, dan cinta yang ingin selalu bersama, bahagia bersama, mati bersama.
Surat yang ditulis Mila menjadi saksi, bahwa pada masa itu ada dua cinta yang sama-sama mencintai, sama-sama mengharapkan cepat pulang, dan akhirnya pulang untuk selama-lamanya.
Annuqayah, 2019
Moh. Jamalul Muttaqin, berdomisili di PP. Annuqayah Daerah Lubangsa, Blok B:26. Menjabat sebagai Ketua OSIS MA1 Annuqayah. Sekaligus aktif di KOMPAS (Komunitas Menulis Pasra).
*Sumber gambar: lpmarena.com
Cerpen: Pulang Cerpen: Pulang Reviewed by takanta on September 15, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar