Puisi: Kota Melankoli



Puisi Rizqi Mahbubi*

Stasiun Kepergian

Segenap doa, dilipat rapi dalam koper hitam
Dinding, tiang, kursi tunggu berwarna perih perpisahan
Kehilangan, dan ketabahan
Bahwa tak ada jumpa yang baka.

Dekap dan kecup teramat hangat dirangkai
Agar di rantau kenangan tetap bising
Serupa kereta melaju di rel-rel baja.

Apa yang lebih perih di dengar
Dari suara speaker  keberangkatan?

Ketika tangan melambai di balik kaca jendela
Menolak cemas. Sebab hari-hari nanti
Bakal rimbun oleh duri sepi
Dan detak waktu bakal tunduk
Pada rindu.

2019



Stasiun Penantian

Apapun bising kalah lengking oleh rinduku
Kereta melaju membawa separuh tubuh
Pulang dari stasiun adalah jalan paling duri
Teduh rumah sesak oleh sepi
Malam di ranjang memeluk kerinduan sendiri.

Gerbong bergambar wajahmu
Hilir-mudik di kepalaku
Tinggal tanggal almanak gugur lunglai
Seiring jari tak tuntas menghitung cemas.

Tak ada doa paling gema
Selain kembali berjumpa.

2019



Stasiun Kepulangan

Waktu paling madu
Adalah kembali memandangmu
Pintu kereta terbuka
Seperti kupandang pelangi
Di antara desakan orang ramai
Alangkah bocah rindu
Bersorak sorai menjelma bahagia.                                    

Serupa Soekarno ingin kubaca proklamasi
Segala cemas telah lepas
Segala duri tercabuti
Aku bakal merayakan kemerdekaan
Dengan sebuah pelukan    .

2019



Kembalikan Kotaku

Yang kutulis persis hanyalah bising
Tercipta dari kesepian
Diriku sendiri

Lampu-lampu, debu-debu
Merimbuni hari-hari
Yang serupa tungku
Membakar habis tubuh Jadi abu
Yang tak pasti tahu,
Angin apa yang bakal membawaku.

Sepanjang jalan
Cuma gegap,
Rasa pengap
Orang memasang
Kebingungan masing-masing
Waktu yang melulu cemas
Untuk sekeping emas.

Kening yang dingin
Membekam hangat kenang:
Pelukan ibu, bau keringat ayah,
dan
ladang ladang matang.

Ah, kembalikan kotaku
yang sebening air mata ibu.

Anuqayah, 2019



Biografi Asmaraluka I

Alissa, salam padamu. Sejenak, aku mengkhawatirkan mekar bunga di tubuhmu berguguran dalam mimpiku selalu. Ketika segala warna cuaca yang kuhafal betul tiba-tiba kacau dalam pandangmu. Kau di sisi, betapa diksi yang kurawat dan kusiram saban hari sepenuhnya mati. Sejak kapan seluruh gelombang di dadaku riuh menerjemah utuh kau sebagai pukau.
Di beranda, kupandang awan berarak seiring burung-burung bermigrasi ke tubuhmu membekam telur-telur yang kelak akan menetas mencericitkan namamu. Tubuh hari tersusun dari cemas yang belum kering dari kemarin. Ketika hujan adalah helai rambutmu berjatuhan. Angin di sekeliling tabah mengusung bau tubuhmu aroma tunggal yang kukenal dan tak ada kelicikan toko parfum menjual. Tak mampu kutepis sejuta sketsa kulukis hanya senyummu paling manis ; senyum yang ikhlas tak seperti senyum para pelacur atau wanita penghibur. Tak ada rayu kau terlalu ayu, tak ada madah kau terlalu indah.
Lihatlah, Alissa! Petani di ladang telah bermekaran menanam doa sekaligus nasib mereka sendiri. Sedang mataku tak henti menurunkan harap, tapi ketika aku kehilangan arah menujumu maka seluruh langkah pasrah pada takdir. Hitam kenangan mengajariku bahwa terpejam cara terbaik memandangmu, bahwa merindu adalah cara terbaik memelukmu, bahwa diam adalah cara terbaik mencintaimu. Tetapi, akankah diri kuasa menanggung lengkung sabit alismu, teduh indah matamu, kepundan ranum bibirmu, hitam lebat rambutmu yang selalu merubung mengekalkan debar di dada. Sekalipun segenap perihal dirirmu berkali-kali kubakar, hari-hari seperti merangkai kembali tubuhmu.
Bermimpilah aku, manunggal bersamamu menukar cemas dengan bebas sebab mimpi yang aku rangkai di atas bangku kelas habis dikikis globalisasi. Tinggal puisi yang menggelar kemerdekaan bagi para pecinta. Meski aku tak butuh majas untuk mengatakan : Aku cinta kamu. Sebab tak ingin aku memandang kau bingung mencari tiga patah kata itu di antara tumpukan perumpamaan-perumpamaan.
Alissa, sejak semula gerimis telah menggaris jalan antara aku dan kau dan di ujung jalan tak kudapati ruang tenang buat rinduku berteduh. Maka kuputuskan aku takkan lagi mendekatimu dan menyimpan segala doa memilikimu. Biar kupunguti kembali kelopak bunga yang berguguran dari tubuhmu seperti kupungut sakitku sendiri. Biarlah kau serahasia itu sebab segenap tanda tanya telah menjelma celurit membuatku betah berperang dengan kebosananku.
Terimakasih, Alissa. Jurang luka yang kau cipta membuatku sadar begitu dalam kebodohanku untuk memilikimu.

2019



Kota Melankoli

Aku tiada kuasa berkata sayonara pada ingatan yang serupa pemakaman
Dipenuhi hantu tersungging girang dan menangis meringis.
Sekalipun jejak langkah terlipur; gugur mengantar pada pulang.
Namun, kota ini kembali meruncingkan memori:

Gemerlap lampu-lampu selalu kuterjemahkan sebagai kunang-kunang diujung halaman.
Rewel terminal tak lebih tabuhan tirta hujan berderai di genting.
Hingar pasar sekadar instrumen cericit burung di dahan.
Bahkan, aku selalu terjebak pada pinggul perempuan bergoyang seriang rumpun ilalang diterpa hujan.

Tetapi, Pandanganku bakal selalu menangkap kemilap kaca jendela gedung
sebagai celurit kakek saat hendak menyabit rumput.
sekarang tegeletak karat seperti lumut di sudut kamar.
 Adakah baskara kaeh bakal timbul seharum tembakau?

Pun dalam masjid kota ini, aku bersujud di antara kehampaan.
Marmer tetep saja gigil.
Bersandar pada pilar; masih kokoh menopang
sembari membangun surau lain dalam angan tempat bocah-bocah dukuh tulus tadarus Qur’an.

Segala mantra dan doa tinggal terpenjara, mendekam bagai napi dalam kotak susu di atas meja.

April 2019



Biodata Penulis
*) Rizqi Mahbubi, santri PP. Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-guluk Sumenep asal Bluto.aktif di Sanggar AIDS dan Komunitas SALERA.
Bisa dihubungi di Surel : Rizqi.mahbubi@yahoo.com.

Puisi: Kota Melankoli Puisi: Kota Melankoli Reviewed by takanta on September 29, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar