Cerpen: Bianglala dan Sisa Aroma Tequila



Oleh: Nur Diana Cholida

Sepertinya takdir ingin bermain-main denganku. Atau bahkan, aku yang mempermainkan takdirku sendiri. Ku tatap novel yang kau pinjamkan untukku. Aku masih menyimpannya. Kau tak pernah menagihnya, maka aku tak akan mengembalikannya. Ku tatap lekat novel itu. Setetes Embun Untukmu, itulah judulnya. Aku bernostalgia denganmu lagi.

“Cinta ini terlalu riskan untuk kita teruskan,” kataku beberapa bulan yang lalu, “kau dan aku, jarak kita terlampau jauh, kita tak akan mungkin bisa bersama. Kau masih kelas dua SMA dan aku hampir sarjana. Aku akan pulang dan kau akan tetap.”


“Tidak, kau akan tetap di sini bersamaku. Kau bisa mengajar di sini. Ada kakakku, aku akan menitipkanmu padanya,” katamu dengan wajah memohon.

“Setelah lulus aku akan mendaftar tentara dan kau akan tetap di sini, aku akan bekerja untukmu. Kita akan menikah setelah aku mengumpulkan gajiku, aku mohon.

Saat itu kau menatapku dengan wajah memelas.

“Aku tak bisa. Aku harus kembali, aku harus pulang. Orangtuaku tak mungkin mengizinkannya. Kau dan aku, umur kita... itu tak mungkin, Ardi.”

Itulah akhir mengapa kita tak saling bersama lagi. Ya, kisah beberapa bulan yang lalu.

Batu, 15 November 2015.

Masjid ini, saksi pertemuan kita untuk yang pertama kali dan hari-hari selanjutnya, sebelum akhirnya kita berpisah untuk selamanya. Hujan begitu lebat  kala itu. Aku menunggumu di samping masjid. Beberapa saat kemudian hujan kian jinak dan hanya meninggalkan tetes-tetes kecil yang masih tersisa. Di kejauhan kau datang dengan sebuah payung abu-abu. Kau tersenyum ke arahku dan memberi isyarat agar aku ikut denganmu. Kita berjalan beriringan menyibak hujan, menelusuri jalan setapak, kita tertawa lepas menyapa rintik hujan yang melesat tanpa henti.

Kau sempat ingin menggandeng tanganku, namun aku segera menjauhkan tanganku. Akhirnya kita berjalan beriringan lagi, tanpa harus bergandengan tangan. Saat itu kau berkata padaku bahwa aku sangat imut.

“Kau tak pantas di panggil kakak. Kau seperti adikku,” katamu waktu itu.

Ya, memang benar dan kau seperti kakakku, kataku. Perawakanmu seperti bukan anak kelas dua SMA. Jelas, karena kau dua kali tak naik kelas, bukan karena malas namun karena kenakalanmu yang melampaui batas.

Aku masih menelusuri aroma kenangan kita. Menyapa bayangan lalu yang pernah kita ukir bersama. Kau dan aku, tawa itu, canda itu, aku bersamamu seperti seorang remaja yang dipenuhi bunga-bunga bahagia. Sangat bahagia. Jalinan cinta yang unik yang pernah kunikmati, senikmat kopi hitam yang kau tuang malam tadi di dalam mimpiku. Entah, aku tak  mengerti tentang mimpiku itu. Di sana wajahmu terlihat jelas; senyummu, bekas jerawatmu, kumis tipismu, lesung pipimu, ekspresi manjamu, mungkin dari sekian banyak tentangmu ini yang paling aku rindu yaitu ekspresi manja dan ngambekmu. Aku menyukainya dan aku sangat merindukannya.

Pukul 14.20, hujan rintik-rintik turun. Udara dingin menyeruak masuk menelusuri tubuhku. Ia ingatkan kembali masa lalu itu, aroma segar tanah yang terjamah hujan seakan menyegarkan kembali ingatanku padamu. Ya, kini aku mengingatnya secara sempurna.

Aku masih saja menelusuri aroma tequila kenangan cinta kita. Di atas trotoar ini ada berjuta kenangan indah tentang kita, canda tawa kita, tentang tingkahmu yang kekanak-kanakan, tentang pengemis yang pernah menertawakan tingkah kita berdua. Semuanya, semua tentang kita. Aku benar-benar sangat merindukanmu, Ardi. Namun, aku dan kau... sepertinya tak mungkin.

Ingatkah kau tentang bianglala di alun-alun kota, yang bahkan tak sempat kita naiki? Aku ingin menagih janjimu tentang bianglala itu, namun kau dan aku tinggallah cerita. Kini kutengadahkan wajahku ke atas. Bianglala, kulihat wajahku dan wajahmu berpaut mesra di atas sana dengan canda dan tawa khas remaja. Namun, itu hanyalah ilusiku semata. Karena sesungguhnya takdir memang mempermainkanku atau aku yang mempermainkannya, ah, aku tidak tahu.

Kini ku tutup wajahku. Aku ambruk. Kursi panjang berwarna merah ini menopang tubuhku. Tatapanku mulai kosong. Hujan itu seketika berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk-nusuk badanku. Sakit, perih, aku tak sanggup. Aku ingin menghapusnya. Ya, semuanya. Semua kenangan indah antara kau dan aku yang sempat menjadi kita. Aku ingin membiarkan kenangan itu hanyut bersama hujan yang menderas lagi. Namun, kau terlalu indah untuk dilupakan, Ardi. Sungguh. Di antara kisah cintaku yang lain, hanya kau yang paling mengganggu pikiranku.

Di sana, di bangku merah yang lainnya kau berpaut mesra, kau memegang tangannya, menghangatkannya dengan sebuah rangkulan. Gadis itu cantik. Ini nyata, ya ini nyata. Aku sempat mencubit diriku sendiri untuk memastikan, tapi ini benar-benar nyata.

Aku pasrah. Biarlah, bukankah aku yang menyuruhmu mencari yang lain? Bukankah aku yang melepaskanmu? Bukankah aku....

Kau tidak bersalah. Aku yang mempermainkan perasaanku sendiri. Aku yang salah atas diriku sendiri.

Mataku tak henti menatap wajah orang yang pernah kumiliki. Di depan sana aku melihatmu berjalan menggandengnya, berjalan menuju bianglala itu. Bianglala yang sempat kau janjikan padaku. Kau naik bersamanya. Seharusnya kau di atas sana bersamaku. Bukankah kau pernah berjanji?

Tiba-tiba lagu yang berbunyi dari pusat taman alun-alun kota ini berganti. Dari lagu karma milik Cokelat menjadi lagu menghapus jejakmu milik Peterpan.

Terus melangkah melupakanmu
Belah hati perhatikan sikapmu
Jalan pikiranmu buatku ragu
Tak mungkin ini tetap bertahan

Perlahan mimpi terasa mengganggu
Kucoba untuk terus menjauh
Perlahan hatiku terbelenggu
Kucoba untuk lanjutkan itu

Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu

Semua hanya tinggal kenangan. Dan aku akan membiarkannya lenyap. Aku yakin sang waktu yang akan menghapus jejak ingatanku tentangmu. Tentang aroma tequila kenangan kita dan janjimu padaku tentang bianglala. (*)

Nur Diana Cholida, lahir di sebuah desa kecil bernama Jabung sisir, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, 02 Mei 1993. Dia adalah seorang business woman, penikmat seni dan juga mengagumi sekaligus mencintai dunia sastra. Aktif di Komunitas Warna Sastra. Tulisannya pernah beberapa kali menghiasi laman Infodiknas, surat kabar, buku event bersama dan baru saja menerbitkan sebuah buku pertamanya yang berjudul Aurora Hati (J-Maestro, 2019).
Cerpen: Bianglala dan Sisa Aroma Tequila Cerpen: Bianglala dan Sisa Aroma Tequila Reviewed by takanta on November 17, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar