Cerpen Mored: Jangan Bilang I Love You



Aku ingat keseluruhan kisah meski acapkali terbolak-balik susunannya. Ya, untuk ketiga kalinya aku bermimpi sesuatu yang begitu nyata. Benar-benar seperti nyata. Entahlah, akan ada petualangan kisah apalagi setelah ini.
Sebenarnya aku tengah berada di sekolah. Ya, baru selesai latihan hadrah. Saat kulihat Praja dan Azam beserta teman-teman laki-lakinya yang familiar di mataku berjalan dari tangga kelas sepuluh menuju ruangan di atas UKS.
Hei. Ruangan itu sejak kapan ada di sana?
Melihat keduanya, aku langsung bangkit dan berlari seraya memanggil nama mereka. Mereka menoleh dan hanya memandang satu sama lain.
"Kenapa, Zah?" tanya Praja. Di sebelahnya, Azam juga memandangku penuh tanya.

Aku pun berlari mendekat ke arah mereka yang masih berdiri di tangga ruangan ajaib itu. Seraya menetralkan nafas, aku memberikan dua lembar foto pada mereka.
"Ini fotonya yang buat cerita, Ja, Zam.”
Praja menerimanya dan tersenyum manis padaku, "Oh iya, makasih ya, Zah."
Azam mengambil foto di tanganku di saat aku masih menatap kepergian Praja menuju ruangan itu. Tatapku teralih demi mendapati wajah Azam yang tampak berpikir memandang foto di tangannya.
"Kamu... kenapa, Zam?"
Azam beralih menatapku. Tatapannya berhasil membuatku tertunduk. Dari matanya dapat kurasakan sorot yang sangat dalam. Entahlah, sorot itu mengingatkanku pada sorotnya masa laluku.
Aku menundukkan wajahku dan berusaha untuk tak menatapnya. Aku tak mau terjebak dalam kisah rumit itu lagi. Sungguh, aku tak mau merasakan sakit itu lagi. Aku tak mau mengulangi kesalalahan di masa lalu.
Bahuku sedikit bergetar. Air mata sepertinya mencurangiku dengan hendak jatuh dari pelupuk mataku. Aku memosisikan badanku dengan posisi yang sama dengan Azam sehingga ia tak bisa melihat wajahku yang kusangka telah kacau.
Sebuah tangan hangat mendekapku dan membawaku mendekat ke sebuah dada bidang. Dekapan ini...
"Sstt... sudahlah, kamu tenang aja, Yara. Jangan nangis. Kalau kamu nangis, bagaimana denganku?"
Air mataku malah terus jatuh seiring dengan rasa hangat yang mulai muncul di dadaku. Hangat dari dekapannya membuatku kembali teringat pada dia. Meski kutahu harapanku harus aku kubur dalam dan meninggalkan kisah lalu yang membuat sembilu bertambah pilu.
"Kamu itu cahaya, Ayara Zahra. Dan aku adalah gelap yang membutuhkan cahaya agar dapat disebut ada." Azam masih belum melepaskan dekapannya. Ia menaruh dahinya di pucuk kepalaku yang tertutup kerudung. Hangat kurasa menyebar hingga ke lubuk hatiku.
"M-makasih, Zam...."
Aku berusaha tersadar dan melepas dekapannya. Dengan cepat kuhapus air mataku dan berusaha tersenyum seperti biasanya.
"Yara-"
"Yaudah, aku pulang dulu. Sudah dijemput soalnya. Assalamu'alaikum...."
Aku menuruni tangga dengan terburu-buru dan tak membalikkan badan meski Azam terus memanggil dan mengejarku.
Tak kusangka saat aku tengah melewati bangunan universitas yang berada tepat di samping sekolah, beberapa bagian bangunan utama di sana runtuh. Aku hampir saja tertimpa salah satu reruntuhan jika tak ada seseorang yang mendorongku menjauh.
"Kamu nggak papa kan, Yara?"
Masih dalam mode kaget dan otakku berada dalam fase telmi, aku masih belum bisa mengenali sosok yang memegang pundakku dengan erat. Yang kupahami hanyalah sorot khawatir yang mendalam dari matanya. Dan juga ada bekas reruntuhan di bahu kirinya.
"Zam! Bahumu!"
Secepat kilat aku membawanya jauh dari sana dan mendudukkannya di trotoar. Aku menatapnya kesal bercampur khawatir. Dan sekali lagi aku tak tahu mengapa bisa sekhawatir itu padanya.
"Kamu... kenapa kamu nolongin aku, sih? Kamu jadi luka gini kann!" mataku mulai berair. Tampak Azam menatapku dengan wajah datar. Entahlah, bukan datar hanya tanpa ekspresi yang belum bisa dikatakan flat face.
"Kok kamu malah nangis, Ay? Duh, nggak papa. Ini cuma luka ringan. Kalau kamu yang kena reruntuhannya, itu baru luka parah yang letaknya di sini," ujarnya seraya menunjuk dada kirinya sedikit ke bawah.
Aku yang masih menangis tak mengerti dengan isyaratnya.
"Tapi kamu kan jadi luka, Zam."
"Nggak papa, selama kamu selamat." Azam tersenyum manis dengan menghapus air mata di wajahku. Ia menepuk kepalaku pelan dan berdiri seraya memandang sekitar.
"Zam, ke rumah sakit aja yuk. Obati bahumu," ajakku seraya turut berdiri.
"Nggak usah, Ay. Kamu pulang aja lagian udah hampir hujan ini. Ayo aku antar." Azam perlahan bangkit dan sedikit meringis melihat bahunya.
"Tuh kan, sudah kubilang. Ayo ke rumah sakit!"
"Nggak usah, Ay. Mending pulang aja yuk, sebentar lagi banyak yang datang. Aku nggak mau dicap sebagai pahlawan kesiangan, eh kesorean...," ucapnya seraya menarik gadis yang masih menatapnya khawatir itu menjauh dari TKP.
"Kamu beneran nggak papa?"
"Iya, Ayara.... Udah ya, jangan khawatir gitu. Aku nggak papa."
Degh....
"Kok, aku khawatir gini?" rutukku dalam hati. Aku pun langsung mengalihkan perhatian dari pemuda manis itu.
Aku hanya bisa diam menyalahkan perasaanku, sementara Azam hanya bisa menatapku dengan senyum kesungguhan. Tiba-tiba ia pun memosisikan badannya tepat di hadapanku.
"Ay, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,  boleh?"
Aku menoleh dan melotot. Bagaimana bisa sosok Azam kini berubah sangat manis di hadapanku?
"I-iya, Zam. B-boleh kok," ucapku yang tanpa sadar telah nyengir kuda.
"Jangan bilang I Love You."
"Ha!?"
"Neng, mangapnya jangan kelebaran, nanti lalat masuk, keselek, hilang nyawamu. Aku gak mau gitu, ya."
"Uhm, okey. Terus maksudmu tadi apa?"
"Aku suka kamu. Tapi aku gak mau mengatakan I Love You. Boleh aku minta kamu nunggu sampai aku ke rumahmu dan meminta izin pada orangtuamu untuk segera mengkhitbahmu?"
Jederr!
"Masyaallah!! Ini... sungguh?
Aku rasa hatiku sudah mau meledak. Aku kaget dan tak bisa berbicara. Aku diam seribu bahasa. Wajahku kutundukkan seraya menyembunyikan semburat merah di wajahku. Sebenarnya hatiku menghangat, senyum pun perlahan tertarik di wajahku.
"Lho, Ay?  Kok kamu diam gitu?"
Aku mendongak. Dan kulihat ada cahaya lembut dari sepasang mata elangnya itu. Ya Tuhan, kenapa dadaku bergetar hebat.
"N-nggak, nggak papa kok, Zam." Aku tersenyum malu.
"Yasudah ayo kuantar pulang. Aku hanya bisa mengungkapkan itu. Aku tahu ini mendadak dan kau tak perlu menjawabnya. Karena aku tahu, lelaki sejati ialah mereka yang berani menunjukkan hati lewat akad suci. Bukan malah mencintai, mengungkapkan, lalu ditinggal pergi."
"Iya, Zam. Tapi, kok-"
Tiiiingg!
Aku mengerjap.
Ha!?
Aku mengerjapkan kedua mataku. Yang kulihat bukan lagi wajah Azam yang tersenyum manis. Tapi, langit-langit kamar yang berwarna putih.
"Aduh!"
Rasanya kepalaku nyeri sekali. Baru kusadari aroma di sekitar membuatku sadar. Tadi... mimpi? Tapi kok, kenapa aku ada di rumah sakit?
Kutolehkan wajah untuk mencari seseorang yang mungkin ada di sini. Dan bertanya kenapa aku ada di sini.
Pintu berdenyit. Seseorang masuk membawa sesuatu yang ia sembunyikan di balik tubuhnya. Aku masih terhipnotis dengan sekitarku hingga tak sadar ia telah berdiri di samping kiriku.
"Hai. Gimana kabarmu, Ay?"
Suara ini....
Aku menoleh dan mataku membulat. Dadaku berdesir.
"Azam?"
"Iya ini aku, Ay."
"Berarti yang tadi, bukan mimpi?"
"Kamu mimpi apa? Tadi apa?"
"Ah, benar cuma mimpi. Terus kamu cuma sendiri ke sini?"
"Iya, aku khawatir. Aku mau kamu cepat sembuh, Ay. Kelas sepi nggak ada kamu."
Degh....
"Azam... Emang kenapa? Kok kamu tiba-tiba seperti ini?"
Azam tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku lalu membisikkan sesuatu yang membuat wajahku kehilangan urat syarafnya.
"Karena satu kalimat. Jangan bilang i love you, ya, Ay. " (*)
Situbondo, 20 Desember 2018
_______________________________
Taradita Yandira Laksmi, Siswi kelas XI MIPA 5, SMAN 1 Situbondo.
Cerpen Mored: Jangan Bilang I Love You Cerpen Mored: Jangan Bilang I Love You Reviewed by takanta on November 16, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar