Cerpen: Kehilangan Sebelum Memiliki



Oleh: Sheila Primayanti
Kamu tidak terlalu tampan untuk kupuja setengah mati. Tidak pula kaya untuk kubanggakan kepada tetangga-tetangga yang senang sekali mencibir seolah mereka sempurna. Tapi, entah mengapa aku senang sekali mengajakmu bicara. Aku senang melihatmu menjelaskan perihal mata pelajaran yang aku sendiri sudah paham.
"Ini hanya tinggal bagi 3, kemudian kamu cari pemfaktorannya," jelasmu seraya mencorat-coret deretan angka pada buku. Aku hanya tersenyum kecil menatapmu. Iya kamu, untuk apa aku menatap angka-angka yang hanya membuatku sakit kepala?
Waktu berlalu sangat cepat, rasa kagum yang kupendam perlahan bermetamorfosa menjadi suka. Namun, asa tinggal asa tatkala mendengar bahwa kamu tengah dekat dengan teman sebangkuku. Dari awal, aku yakin sekali bahwa seleramu tak jauh dari gadis pintar yang mencintai deretakan rumus fisika. Aku? Ah, jangankan fisika, mencari grafik saja aku lebih suka menggunakan geogebra.
Kita tidak satu sekolah, itu sebabnya melupakan rasa yang tak seharusnya ada adalah hal yang mudah. Pertemuan yang hanya beberapa jam saja selama seminggu seakan mendukungku untuk melupakanmu.
Hingga waktu kelulusan tiba, aku sengaja menghindari acara-acara di tempat les yang memungkinkan pertemuanku denganmu. Kau tahu? Patah hati sebelum memiliki ternyata lebih menyiksa dari pada luka di kaki.
***
Tahun-tahun selanjutnya kulewati dengan mudah, mengenal banyak kisah cinta, aku tak lagi mengingatmu sebagai seseorang yang kukagumi dalam diam. Bagiku kamu cerita yang harus kuakhiri walau tanpa memulai.
Benar kata pepatah, "Sejauh apa pun kamu menghindar, bila takdirmu bertemu dengannya maka kalian akan tetap bertemu."
Sekali lagi semesta mengajakku untuk bercanda dengan mempertemukan kita kembali. Tiba-tiba saja kamu mengirim sebuah pesan singkat. Sejenak aku lupa kamu siapa namun nyatanya hatiku memberi reaksi berbeda seakan memberi isyarat bahwa pemiliknya sudah tiba.
Perlahan aku mengingatmu kembali. Berawal dari pesan singkat yang kemudian menjadikan kita semakin dekat. Aku senang menyadari kita lebih dekat dari sebelumnya. Seperti sedang bermain di dalam labirin, aku terjebak dalam rasa nyaman yang berlabelkan teman.
"Sedang apa?"
Tanya itu selalu kamu ulang lagi dan lagi ketika kita sudah tak lagi memiliki topik pembicaraan.
"Memikirkanmu, apalagi?" jawabku yang kemudian akan kamu balas dengan tawa. Aku tak lagi ragu menunjukkan berbagai perasaan padamu. Sebab, seseorang pernah mengatakan, "Lebih baik mencoba lalu gagal, daripada tidak pernah mencoba dan membuatmu menyesal."
Kerap kali kamu menceritakan tentang hari-hari yang kamu lewati. Entah itu berkeluh kesah atau rasa senang sebab harimu berjalan sesuai rencana. Kamu juga tak lagi canggung menelponku berjam-jam walau kita hanya diam lalu tertawa bersama.
Tetapi aku terlampau senang hingga lupa bahwa bahagia selalu sepaket dengan luka. Hari itu seusai seminar buku di perpustakaan kota tiba-tiba saja kamu mengatakan ingin bertemu. Dengan tergesa-gesa aku menuruni deretan anak tangga, aku hanya tak ingin kamu menunggu lebih lama.
Di sana, di depan ruang baca aku melihat seorang lelaki jangkung dengan kemeja gelap tengah mengutak-atik ponsel pintarnya. Aku tersenyum.
"Hai, sudah lama nunggu?" sapaku.
"Lumayan, masuk dulu yuk!" ajakmu, dan aku hanya mengangguk dan mengikutimu memasuki ruang perpustakaan kota yang sangat jarang aku kunjungi.
Aku banyak berceloteh saat kita duduk di bangku ruang baca perpustakaan. Tak berniat mengambil satu pun buku yang ada di sana. Sebab, memperhatikanmu lebih menarik daripada buku-buku yang tertata rapi dalam rak.  Sedangkan, kamu masih terpaku pada ponsel pintar yang selalu saja mengalunkan nada pesan. Hanya sesekali menjawab singkat pertanyaan dariku. Bahkan kamu tak menghiraukan buku yang setia tertutup di depanmu dan aku yang mulai jengah padamu yang terlihat acuh.
"Chatting sama siapa, sih?" tanyaku setelah sekian lama.
"Bukan hal yang penting," sahutmu sambil meletakkan ponsel di atas meja ruang baca. Aku hanya diam dan membiarkanmu kembali memeriksa ponsel yang lagi dan lagi berbunyi itu.
Aku benar-benar jenuh, dengan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang baca berharap menemukan pemandangan menarik lainnya. Tatapanku jatuh pada seorang laki-laki yang tengah serius membaca buku seakan takut melewati satu huruf saja. Manis.
"Tampan, bukan?"
"Ya. Sangat tampan," jawabku asal. Semua laki-laki tampan, bukan? Tak ada laki-laki cantik kecuali artis-artis yang senang melakukan operasi plastik.
"Apa kamu suka?" tanyamu. Dalam hati aku tertawa. Ingin sekali aku berteriak di telingamu itu untuk mengatakan bahwa kamu lebih menarik daripada pemandangan apa pun.
"Tidak," sahutku lagi sebelum keheningan kembali menyelimuti.
"Mari keluar. Aku sudah bosan di sini," ucapku yang akhirnya kamu sambut dengan anggukan mantap. Lantas kita pun keluar dari tempat tenang itu.
***
Hari kian sore saat kita memutuskan berhenti di sebuah bukit kecil dengan sungai curam di bawahnya tempat yang menurutku sangat menenangkan terlepas aku yang takut pada ketinggian.
"Dulunya di sini hijau, mungkin karena musim panas yang panjang tempat ini menjadi gersang," ucapku memecah keheningan. Kamu hanya tersenyum menanggapinya. Entah apa yang ada di otak jeniusmu waktu itu.
Kita membicarakan banyak hal di tempat itu, menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah kita lewati membahas apa saja yang kita lihat. Menertawakan orang yang berlalu-lalang.
"Ada yang ingin kubicarakan."
"Sedari tadi kita berbicara."
"Aku serius. Aku menemukan seseorang yang membuatku nyaman dan aku sedang menjalin hubungan dengannya."
Senyumku luntur, aku tercekat, tak tahu apa jawaban yang harus kukatakan. Setelah hening cukup lama, aku tersenyum getir menahan laju air yang mungkin akan membentuk anak sungai di pipi.
"Sudah lama?"
"Ya. Hubungan kita jarak jauh. Aku mengenalnya di suatu grup. Aku menyayanginya."
Kamu bercerita dengan mata berbinar tak sadar bahwa aku tengah menahan perih yang menikam.
"Semoga langgeng, kalau begitu."
"Terima kasih."
"Ayo pulang, sudah sangat sore."
Saat itu aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah menumpahkan kesakitan dengan air mata. Langit yang tadinya cerah perlahan menjadi gelap. Seakan mendukung perasaan sendu. Tadinya aku berharap senja akan merekah namun sekali lagi semesta mengajakku bercanda dengan membuat senjaku ikut berduka.
"Kenapa diam saja?" tanyamu di tengah perjalanan pulang.
"Aku hanya lelah," jawabku.
Tiba-tiba kamu menepi di pinggir jalan. Aku yang tengah melamun tiba-tiba terkejut saat kamu menoleh kepadaku.
"Kenapa murung?" tanyamu.
"Aku hanya lelah. Ayo jalan lagi."
"Sebentar, apa aku berbuat salah?"
Tidak kamu tidak salah, di sini aku yang salah. Salah meletakkan hati. Aku jadi ingat kutipan film yang kutonton tahun lalu bahwa: Tuhan akan mematahkan hati, jika hati itu memilih hati yang salah.
"Kenapa melamun? Apa benar aku berbuat salah?"
"Tidak. Aku hanya lelah," kataku sekali lagi.
"Kamu berbohong. Katakan saja apa yang terjadi."
"Yang terjadi adalah aku menyukaimu di waktu yang salah."
Kamu terdiam, menghela napas berat kemudian berkata, "Tapi, aku memiliki hati yang harus aku jaga."
"Aku hanya mengatakannya seperti yang kamu minta. Aku tidak berniat meminta hatimu."
"Tapi...."
"Sudahlah. Ayo kita pulang."
"Lalu setelah sampai rumah, apa kamu akan menangis?"
Pertanyaan bodoh macam apa itu? Perempuan mana yang tak menangis jika patah hati? Ini bahkan lebih dari sekadar patah hati. Ternyata ada yang lebih menyakitkan daripada berakhir, yaitu kehilangan sebelum memiliki.
Kamu kembali melajukan motormu. Sesekali memperhatikanku melalui kaca spion dan tentu saja aku menghindar dari tatapan mautmu itu.
"Jangan menangis. Aku tak bisa melihatmu menangis," ucapmu di tengah ke heningan. Aku hanya diam tak menanggapi.
Setelah sampai di rumah, kamu tak lantas pergi. Kamu masih menatapku menahan air mata yang mungkin sebentar lagi akan tumpah.
"Semoga kamu menemukan orang yang lebih baik daripada aku."
Aku hanya mengangguk. Rasanya aku tak kuat untuk sekadar menjawab kalimat menyakitkan itu.
"Aku pulang. Assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam...," ucapku berbalik. Saat kamu kembali melajukan motormu. Aku masih di tempat yang sama menyaksikan kepergianmu dengan air mata hingga akhirnya hujan turun dan membantuku menutupi luka. (*)
Sheila Primayanti, lahir di Situbondo. Ia sedang mengumpulakan semangat untuk melanjutkan buku keduanya. Katanya, salam kenal. Karena katanya lagi, tak kenal maka tak sayang. Dan katanya lagi, kalau sudah sayang jangan tiba-tiba menghilang.
Cerpen: Kehilangan Sebelum Memiliki Cerpen: Kehilangan Sebelum Memiliki Reviewed by takanta on Desember 29, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar