Cerpen: Tahun Baru Terakhir


Oleh: Fahrus Refendi
Peristiwa tengah malam itu menjadi duka yang tetap melekat di jiwa. Khususnya bagi ekstra kurikuler pramuka. Rabu malam Kamis, menjadi tahun baru berdarah bagi SMPN Joko Tarub. Bagaimana tidak, tiga belas dari tujuh belas anggota pramuka tewas mengenaskan terlindas truck fuso bermuatan asbes. Potongan tubuh menyebar di seluruh jalan; tangan terpisah dari tungkainya, kaki putus dari pergelangannya, usus memburai, kepala pecah, otak berceceran, dan bau anyir darah menusuk hidung. Ratapan serta tangisan menjadi saksi malam pergantian tahun malam itu.
Sebelum kejadian, rombongan pramuka  berangkat dari halaman sekolah. Rencananya mau menghabiskan malam pergantian tahun di pantai Siring. Semua angota sudah selesai mengemasi barang-barang mereka. Malam yang dingin itu merupakan acara terakhir kemah di SMPN Joko Tarub. Setelah rombongan berjalan hampir lima ratus meter dari sekolah, terjadilah peristiwa nahas itu. Truck fuso datang dari arah barat dan melibas semua anak pramuka.
Beberapa saat setelah kejadian mengenaskan, para orang tua mulai berdatangan, mereka menjerit histeris melihat mayat-mayat yang terkapar di tengah jalan. Mereka bingung lantaran banyak sekali potongan-potongan tubuh yang tercecer di banyak tempat. Jenazah  tidak bisa diamati bahkan tak bisa dikenali. Jam dua dinihari mobil ambulance mulai datang. Perawat-perawat rumah sakit mulai turun dan mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan. Potongan tubuh yang masih terlihat utuh disatukan dalam satu kantong jenazah, sementara potongan lainnya disatukan dalam kantong jenazah lain.
“Apa yang kamu pikirkan malam itu?”
“Malam itu, hawa dingin sekali, Pak! Karena gerimis.
“Apakah Anda mengantuk waktu itu?”
“Tidak, Pak!”
“Jangan bohong.
“Ngapain saya bohong, Pak!”
Interogasi pihak kepolisian pada sopir fuso berlangsung di ruangan ber-AC. Sopir dan kernet fuso diinterogasi diruangan terpisah. Di luar ruangan sudah banyak reporter yang menunggu kejelasan peristiwa yang tadi malam terjadi. Ada yang menunggu di depan pintu, ada pula yang mengambil gambar Fuso. Pihak penyidik lebih fokus pada si sopir, karena ketika kejadian, kernet fuso tidak tahu persis kronologisnya. Dia tidur.
“Kenapa Anda tidak melakukan pengereman saat melibas anak-anak itu, karena setelah digelar olah kejadian perkara, tidak ada bekas pengereman sedikit pun?” polisi berpakaian rapi itu kembali mengajukan pertanyaan kepada si sopir. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi si sopir dan kemudian menundukkan wajahnya. Diam beberapa lama. Persis seperti orang dungu. “Jawab! Jangan diam saja,” lanjutnya.
“Sa... sa... saya takut, Pak!” tangan si sopir menutupi mukanya yang masam. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.
“Takut kenapa?” balas polisi tersebut “Mari ceritakan kecelakaan tersebut pada kami, biar kasus Anda cepat selesai,” lanjutnya. Dengan mata berair, bibir  gemetar, dan kalimat yang terbata-bata sopir mulai mengungkapkan semuanya.
“Malam itu, mobil yang saya kendarai bermuatan asbes melaju dari arah Larangan menuju Pasongsongan. Waktu kejadian berlangsung, saya sadar seratus persen, bahkan saya bisa mendengar teriakan-teriakan mereka, erangan, tangisan-tangisan mereka, tulang-tulang mereka yang remuk, kepala mereka yang pecah, saya mendengar semua itu,” si sopir berhenti berbicara sejenak untuk mengusap air matanya yang mulai menetes, “tapi saya tetap lanjut menerabas rombongan itu, lantaran saya berkeyakinan orang yang saya tabrak itu bukan manusia melainkan setan yang mencoba mengganggu perjalanan saya, karena di tempat tersebut terkenal karena keangkerannya. Selama ini banyak sopir-sopir lain kerap diganggu ketika melewati SMP itu.Mata si sopir menerawang ke luar ruangan yang jauh.
***
Ayat-ayat suci Al-qur’an melantun sayu, sebelum memulai pelajaran semua murid dan para guru duduk bersama di tengah lapangan untuk mendoakan murid-murid yang sudah lebih dulu berangkat menghadap Sang Pencipta. Luapan air mata menghiasi. Mereka semua seperti kehilangan semangat, tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi.
Kedua guru TU berbondong-bondong keluar dari ruangan, disusul guru BK, mereka tergesa-gesa pergi ke kelas tujuh yang berada di paling belakang. Kudengar suara gaduh, dan sejurus kemudian berubah menjadi riuh. Suasana belajar jadi tidak kondusif, semua siswa dan siswi berhamburan keluar ruangan. Semua tertuju pada kelas VII A. Sudah ada siswi yang tergeletak tak sadarkan diri. Dan tiba-tiba mengamuk dan memberontak tak bisa dikendalikan. Guru dan teman sekelasnya berusaha memegang, tapi lebih kuat siswi itu. suara erangan nyaring sekali terdengar. Sementara ruangan sudah dipenuhi siswa-siswi yang ingin tahu apa yang terjadi. Suara pengumuman agar balik ke kelas masing-masing dari corongan yang digantung di atas plafon luar ruangan tak diindahkan.
“Lepaskan... lepaskan...!Pekikan suara itu muncul dari balik riuhan suara.
“Jangan dikasari, lepaskan saja. Biarkan dia,” lanjutnya. Sejurus kemudian, pelan-pelan pegangan yang mengikat tubuh siswi dilepaskan.
“Semuanya mundur,” suara riuh tadi seketika  terkesiap dengan ucapan yang diketahui belakangan adalah suara Pak Abdus, dia guru agama paling senior. Semua mundur kecuali Pak Abdus dan siswi itu yang berada di tengah-tengah ruangan. Semua memperhatikan.
“Pembunuh! Dia pembunuh!” tiba-tiba siswi itu bersuara. Pak Abdus mendekat ke siswi yang kesurupan. Keduanya saling bertatapan. Siswi mulai berlagak seperti ular, dia merayap di lantai dan terus saja bergerak tak karuan.
“Siapa yang pembunuh?” sergah Pak Abdus sambil memicingkan matanya
“Diaaaaa!” sambil tengadah dia mengacungkan jarinya dan matanya melotot.   Kemudian siswi itu tak bergerak dan tetap telungkup. Tak lama, di luar ruangan juga terdengar teriakan-teriakan histeris dari siswi lain, tidak hanya satu. Mereka semua seperti terjangkit penyakit yang sangat cepat menular. Suasana sekolah menjadi keruh. Semua guru bingung mengurus murid yang kesurupan.
“Pikiran kalian jangan sampai kosong,” ucap Pak Abdus dengan suara nyaring.
Kebanyakan yang kesurupan adalah perempuan. Semua tergeletak begitu saja. Sekolah tempat belajar menjadi arena ruqyah. Kiai dan dukun desa didatangkan untuk menetralisir keadaan. Tapi hasilnya nihil. Semua semakin tidak terkendali.
“Buatkan contengan(1) dan taruh di setiap sudut kelas, cepat!” kulangkahkan kakiku pergi ke rumah tukang kebun yang hanya disamping timur gedung sekolah. Tak lama segera kutunaikan semua perintah Pak Abdus. Untuk mengantisipasi hal yang lebih buruk semua murid dipulangkan lebih awal.
***
Keesokan harinya desas-desus membunuh brekay pote(2) ramai terdengar. Semua mengacu pada satu nama yaitu Karno. Dia anggota anak pramuka. Namun selamat dalam kecelakaan mengenaskan malam itu.
“Apa benar Karno telah membunuh hewan itu?” suara Pak Abdus membuat seisi kantor dewan guru seketika senyap.
“Benar, Pak! Dia yang telah membunuh hewan tersebut. Saya sendiri yang menanyakan hal itu,” sambung Pak Iyus selaku wali kelasnya.
Memang sekolah SMPN Joko Tarub bersinggungan denga rawa, akibatnya banyak hewan yang terkadang masuk ke area sekolah. Sudah disampaikan setiap penerimaan siswa baru, apabila menemui hewan yang masuk pekarangan sekolah jangan diganggu apalagi dibunuh. Hal itulah yang selalu disampaikan oleh pihak sekolah. Karena masyarakat berkeyakinan hewan tersebut adalah jelmaan atau suruhan dari Nyi Sa’i. Apabila diganggu atau sampai dibunuh akan terjadi malapetaka. Dulu ketika peresmian gedung sekolah yang pertama, ada kejadian bus antar provinsi terguling dan terbakar, menyebabkan sopir dan semua penumpangnya tewas seketika karena diakibatkan seseorang dengan sengaja menembak ular sanca di area makam Joko Tarub. (*)

(      1)  sesajen
(      2)  biawak putih



BIODATA PENULIS
Fahrus Refendi, mahasiswa Universitas Madura prodi Bahasa & Sastra Indonesia.
Ilustrator
Alex Sandra, lahir di situbondo pada 09 september 1999, sekarang sedang menempuh pendidikan seni rupa Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali. Fb : alexong, Ig : alexong1999, Youtube : rupa rupa.
Cerpen: Tahun Baru Terakhir Cerpen: Tahun Baru Terakhir Reviewed by takanta on Desember 15, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar