Cerpen Mored: Benang Merah Pengekang





Lembayung senja menyinari hamparan biru laut di hadapanku. Seolah kaca yang mendapat sinar, bagai permata pantulannya menyinari netraku. Tampak serasi dengan deru ombak, nyanyian unggas udara, dan percikan kilas masa lalu. Menghantamku kembali pada masa kelam itu.

Aku menatap jauh, seolah awan yang berarak merupakan gumpalan kesahku. Tatapku tak seindah mereka, karena binarnya telah tiada. Ya, aku tahu benar bahwa apa yang kulakukan akan sia-sia. Tapi jauh dalam benakku memaksaku untuk berdiri dan tak menerimanya semudah ini.


“Apa tak bisa aku menjadi bagian dari kehidupannya? Bahkan karena tradisi, aku telah terperosok jatuh.”

“Mungkin aku harus ikhlas kembali. Ini ujian yang hebat.”

Setetes air mata meluncur. Penuh akan kesedihan dan keikhlasan.
Gemuruh dadaku menggambarkan kilasan yang pecah itu. tentang dia yang kini hanyalah menjadi bayangan harapku. Bukan menjadi realita dalam hidupku. Tentang sosok hebat yang hilang ditelan kenyataan. Untuk kesekian kalinya aku harus mengalah pada adat yang ada. Setelah ia mengekangku untuk tidak menggapai mimpiku, melanjutkan sekolahku di universitas ternama negeri, kali ini aku harus mengikhlaskan hatiku. Bukannya aku lemah, meski kenyataannya demikian. Aku hanya tak ingin menjadi sosok yang durhaka karena melanggar aturan orang tua. Apalagi aku adalah anak dari sosok penting di desa.

Syita.

Gadis berusia enam belas tahun yang memiliki kehidupan indah, tapi dalam imajinasinya saja. Karena masa remaja yang diidamkan banyak orang tak lagi sama rasanya bagiku. Karena di usiaku ini, aku harus menerima kenyataan bahwa adat yang selama ini kujunjung harus menelanku bulat-bulat.

Bagai sang Dewi Sinta yang akan disunting Rahwana, sedangkan Dewa Rama tak dapat berkutik sedikit pun. Iya, itulah kenyataan dari kehidupan remajaku. Aku hidup di desa yang masih menjunjung tinggi tradisi perjodohan muda. Bahkan aku telah dipinang semenjak usiaku baru beberapa minggu.

Saat masih kecil aku tidak mengerti arti dari ikatan pernikahan, apalagi perjodohan. Tapi semenjak usiaku menginjak dewasa, aku bertemu dengannya. Pemuda dari desa tetangga dengan takdir yang hampir serupa denganku. Dia berusaha lari karena ia merasa terkekang dengan adat di desanya. Bahkan mimpinya untuk menjadi arsitek harus gugur karena tugasnya sebagai penerus sosok penting di desa. Ya, tak beda jauh denganku.

“Hei, Syit. Bukankah ini melelahkan?” Ucapnya seraya duduk di sampingku dengan netra yang terus menatap aliran sungai.

Aku menoleh padanya dengan tatapan bingung. Tanganku masih sibuk memainkan ilalang yang dipetiknya tadi.

“Iya, kita memiliki perasaan ini tetapi kita tak dapat menyatukannya. Bukankah itu menyakitkan?”

Aku menunduk. Dalam hati aku mengiyakan ucapannya. Memang itulah yang terjadi. Baik aku atau pun Dharma tak bisa menentang tradisi itu. Meski Dharma merasa hidupnya terkekang dan berakhir dengan keberadaannya di sini.

“Aku tidak tahu harus bagaiamana, Dhar. Ayah akan menikahkanku dua bulan lagi. Ini menyakitkan, untuk kesekian kalinya aku harus menerima rasa sakit yang sama. Aku mulai merasa hidup ini tak adil.”

“Hei, bukankah kau pernah berkata selama kita percaya kita dapat melakukan apa pun? Kenapa sekarang malah sebaliknya?”

Aku menatap Dharma dengan lekat. Aku sendiri lupa kapan aku mengatakan kalimat itu. Sementara Dharma hanya membalasku dengan senyuman kecut.

“Kau lupa lagi, ya? Sepertinya amnesiamu mulai parah. Apakah kau ingat pertama kali kita bertemu di mana?”

Aku masih diam. Sungguh, dia benar soal amnesiaku. Mungkinkah aku melupakan kejadian itu? Yang kuingat hanyalah aku bertemu dengannya dan entah bagaimana kelanjutannya hingga kami saling mengenal.

“Jangan-jangan kau juga lupa akan mimpimu?” Tegurnya sekali lagi yang membuatku menunduk lesuh. Entah untuk ke berapa kalinya amnesiaku kumat. Tunggu, apa benar aku amnesia? Setahuku amnesia akan membuatku lupa secara keseluruhan. Tapi, ini hanya beberapa. Ya, hanya beberapa saja.

“Sudahlah, Syit. Kau jangan memaksakan dirimu untuk mengingatnya. Aku hanya berharap kau dapat melupakanku saat hari pernikahanmu nanti.” Dharma mengelus puncak rambutku. Setetes air mata kembali jatuh dan itu sungguh sangat perih. Kenapa aku tidak bisa mengingat hal penting dalam hidupku?

“Jangan... aku membutuhkanmu, Dharma.”

“Sudahlah, meski kita merasa adat ini mengekang kita, tapi aku yakin satu hal. Ada pelajaran hebat di baliknya. Ya, meski aku mengetahuinya setelah bertemu denganmu.” Dharma tersenyum begitu tulus. Seolah ringan baginya untuk melepasku.

“Dan mimpi-mimpi kita? Mimpimu untuk menjadi arsitek bagaimana? Mimpimu untuk membangun negeri ini haruskan hancur? Tidak, Dharma. Tak semuanya semudah itu.”

“Hei, kau benar. Aku masih memiliki mimpi itu. aku yakin bisa mewujudkannya. Entah kapan, mungkin lewat cucu-cucuku nanti.” Dia tertawa seolah ucapannya adalah hal lucu.

Aku diam. Mungkinkah ini mustahil?

Ya, lama rasanya setelah ia mengucapkan hal itu. Kini hanya tinggal menghitung hari mendekati umurku genap tujuh belas tahun. Tepat saat ulang tahunku ke tujuh belas, aku akan menikah dengan pemuda yang telah dijodohkan denganku. Miris? 

Ya kehidupan remajaku tergolong cukup prihatin. Bagi kebanyakan orang masa remaja adalah yang indah karena penuh dengan ambisi dan rasa ingin tahu. Tapi bagi beberapa orang, masa remaja hanyalah perjalanan penuh rintang. Kelokan di sana-sini yang terkadang membuatmu bertanya-tanya soal takdir. Dan, itulah yang kurasakan saat ini. Benang merah pengekang yang membuatku harus ikhlas melepasnya pergi dan membiarkanku hidup lebih mandiri.
___________________________________
*) Penulis merupakan pelajar kelas XI MIPA 5, SMA Negeri 1 Situbondo. Penyuka sastra. 


Cerpen Mored: Benang Merah Pengekang Cerpen Mored: Benang Merah Pengekang Reviewed by takanta on Januari 18, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar