Cerpen: Perempuan Penjaga Senja



"Cinta itu tak bisa dipaksakan," katamu sore itu, saat senja menggurat warna jingga di langit seperti sebuah lukisan abstrak pada kanvas biru di ufuk barat.
Saat itu kita tengah duduk di rangghun; sebuah tempat bernaung untuk melepas lelah mirip gazebo yang terbuat dari lincak beratap daun-daun kelapa kering di pinggir pantai. Semilir angin yang berembus menyibak rambutmu yang hitam kemerahan karena seringnya terpapar sinar matahari, membuatnya berantakan.
"Lalu, apa rencanamu?" tanyaku kemudian. Mengisi kesunyian yang sempat hadir di antara kita.
Kau tak langsung menjawab pertanyaanku. Pandanganmu lurus menghadap ombak yang sedang bermain-main bersama batu karang. Buihnya mengulum apa saja yang berada di bibir pantai; dedaunan kering, sampah plastik, hingga kotoran sapi yang terikut arus air hujan.
"Sepertinya, aku akan pergi ke negeri seberang untuk mencari cinta yang tak bisa dipaksakan itu," jawabmu kemudian setelah hening yang mengambang.
"Kenapa harus sejauh itu?" tanyaku keberatan. Namun sama sekali tak ada jawaban meskipun aku berharap kau akan membuka suara dan mengusir tanya yang ada.
"Baiklah, jika maumu begitu. Kuharap kau dapat menemukannya meski harus pergi jauh meninggalkanku."
"Aku hanya sebentar dan akan lekas kembali saat aku telah menemukannya," katamu lagi seakan menangkap ketidakikhlasanku.
"Baiklah, aku akan menunggu," ujarku menutup pembicaraan sore kita.
Esok hari, setelah percakapan itu, kau datang padaku untuk pamit menuju negeri seberang yang pernah kau katakan sebelumnya. Aku melepas kepergianmu, mengikuti setiap pergerakanmu dengan mataku saat kau menarik jangkar di hilir muara agar bisa memberangkatkan sampan yang akan kau gunakan menuju negeri seberang. Muara itu adalah tempat para nelayan melabuhkan sampan mereka, berjajar rapi seperti parkiran mobil di basement sebuah hotel, yang sesekali bergerak mengikuti riak air yang mengalir. Perlahan mesin sampanmu berbunyi nyaring seperti orang batuk sambil terkentut-kentut menandakan ia siap pergi ke mana pun si pemilik membawanya. Setelah itu kau melambai padaku sembari mengucap salam perpisahan dengan lantang berbaur dengan kesiur angin yang menerpa layar yang mulai kau bentangkan.
Aku masih berdiri menatapmu hingga kau dan sampanmu itu hilang di ufuk timur dan tertelan semburat jingga yang mulai memudar.
Hari-hari berlalu sejak kepergianmu. Tiap subuh dan senja aku selalu berdiri di tempat yang sama sambil menatap lautan sejauh mata memandang. Berharap kau segera muncul di antara jingga yang menggiring matahari yang mulai terbenam dan kemudian beranjak pergi saat matahari mulai masuk ke peraduan, lantas tenggelam di lautan yang kian menghitam.
"Setiap sore dia selalu berdiri di sana," sayup-sayup kudengar beberapa orang berbisik-bisik di belakangku.
"Ya, dia selalu ada di sana sampai hari benar-benar gulita. Apakah ia tengah menunggu sesuatu?"
"Jangan-jangan ia menunggu makhluk laut yang mengerikan untuk meminta pesugihan."
"Hus, ngawur! Tapi apa dia manusia, kan? Atau jangan-jangan dia makhluk jadi-jadian?"
"Kau ini lebih ngawur lagi. Sudahlah, ayo kita pergi!"
Langkah-langkah lebar mereka masih sempat kudengar bersama kalimat-kalimat yang semakin melebar ke mana-mana. Ya, tentu saja perihal diriku. Aku mengedikkan bahu acuh, mengabaikan bisik-bisik mereka yang berdengung bak lebah madu, toh yang mereka katakan bukanlah kebenaran yang sesungguhnya.
Terkadang manusia memang lucu, ia akan mengaitkan sesuatu pada hal-hal buruk sebelum benar-benar mau menggalinya terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran yang hakiki. Mulut-mulut manis mereka bak racun yang menggiurkan. Sedap namun mematikan.
***
Sepuluh purnama berlalu. Tiga ratus lebih hari-hari aku menunggu bersama gunjingan-gunjingan tetangga yang makin riuh. Entah kenapa aku menjelma menjadi seorang selebriti dadakan yang tengah hangat diperbincangkan di mana-mana; pasar-pasar, emperan rumah, arisan-arisan sampai sekolah-sekolah paud tempat ibu-ibu berkumpul menjaga anaknya dengan sebuah headline yang terpampang besar-besar dalam perbincangan mereka: perempuan yang setia pada senja atau kata-kata lain seperti perempuan yang meratapi duka karena kepergian kekasihnya yang hilang di tengah lautan saat senja. Dalam pikiranku terbesit sebuah tanya, apakah aku semenyedihkan itu? Lalu mengeluh, menyalahkan kau di sana yang masih abu-abu.
Berminggu-minggu kembali berlalu. Tepat saat jingga mulai menampakan diri, kau benar-benar kembali. Suara mesin sampanmu yang seperti orang batuk sambil terkentut-kentut itu sangat aku ingat. Benar saja, kau menyibak ombak yang damai menuju muara tempat kau menyimpan sampanmu itu. Membuang jangkar lalu mengikat tali tampar ke sebuah kayu di daratan agar sampanmu tak kehilangan keseimbangan. Setelah itu kau berjalan menghampiriku yang sedang berdiri menunggumu datang.
"Lama sekali kau kembali," kataku merengut sebal. "Kau tahu, dirimu telah menjadikanku perempuan penjaga senja!"
"Bagaimana bisa?"
"Karena saat matahari melukis jingga aku selalu berdiri di sini, hanya untuk menunggumu," tandasku.
Kau masih sama, terdiam. Membuatku berkali-kali lipat sebal.
"Apa kau sudah menemukannya?" tanyaku saat kita telah duduk berdua di rangghun yang pernah kita tempati sepuluh purnama yang lalu.
Kau masih terdiam sebelum menjawab pertanyaanku, sama seperti dulu. Matamu masih terfokus pada ombak yang menggulung tenang meninggalkan bekas-bekas buih di pasir yang hitam. Bedanya, diammu ini lebih lama dari sebelumnya, yang membuat kekosongan di antara kita menjadi kian melebar. Satu hal yang baru kusadari, tatapanmu tergurat letih. Perpaduan kecewa dan sesal, dan sedikit keraguan. Entahlah.
Sesaat kemudian perhatianmu beralih ke arah muara di sisi utara.
"Lihatlah muara itu," katamu sambil mengacungkan tanganmu dan menunjuk aliran muara tempat sampan-sampan berjajar. Airnya berwarna cokelat karena bercampur dengan air bekas olahan pabrik seafood yang dibuang langsung ke sungai yang berada di belakang pabrik tersebut sehingga air bekas olahan pabrik itu mengalir beriringan menuju muara di dekat kampung kita dan mengubah air yang seharusnya jernih menjadi keruh lalu membaur di antara air laut.
Aku mengikuti arah telunjukmu, memandangi muara yang sudah bosan kulihat sejak kepergianmu.
"Aliran sungai manapun pada akhirnya akan bermuara pada lautan yang sama, bukan? Seperti cinta, dicari ke manapun pada akhirnya akan bermuara pada satu titik yang sama," lanjutmu setelah jeda beberapa waktu. Aku yang tak mengerti maksud perkataanmu hanya mengernyit penasaran.
"Lalu?" Otakku mencoba mencari celah makna dari setiap untaian kata yang baru saja kau lontarkan. Sedang dirimu hanya menatap mataku begitu dalam sehingga membuatku merasa seperti ada sinar laser yang keluar dari matamu lalu menghujam telak netraku. Wajahmu makin mendekat kemudian dapat kurasakan manis dari sapuan lembut di bibirku.
"Kau adalah cinta yang tak dipaksakan itu," bisikmu nyaris tanpa suara.
Di kejauhan sana, senja mulai memudar. Dan di kejauhan sana senja perlahan-lahan menghitam, tergantikan gelap yang kian menguar. (*)
Alifa Faradis, gadis Situbondo yang menyukai anime Boruto dan masih berstatus jomblo.
Cerpen: Perempuan Penjaga Senja Cerpen: Perempuan Penjaga Senja Reviewed by takanta on Januari 05, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar