Cerpen: Sebelum Kau Terjun Malam Itu





Seharusnya malam itu aku pulang terlebih dahulu sebelum Marni berhasil meloloskan diri dari kamar tidur yang kau kunci dari luar. Jika bukan lantaran menuruti kegembiraanku yang bergas, tentu kau tak perlu terjun dari lantai tiga kontrakan.

Marni memang tak bersalah. Tentu saja. Usianya yang menginjak lima tahun masih belum mampu mencerna pikiran dan keinginan orang dewasa macam kita. Kau yang terlalu posesif seakan mengungkung keinginannya untuk belajar apa pun. Sementara aku hanyalah penulis kacangan yang ingin dianggap penulis meski tiada sekalipun tulisanku yang dimuat media.

Anggap saja aku ceroboh. Dulu, aku menikahimu, dengan keyakinan, bahwa aku akan membahagiakanmu dengan caraku sendiri. Terlebih ketika Marni lahir, aku kian gusar menumpuk beberapa kebahagiaan palsu padamu. Kecerobohan itu kian menggunung sebab aku yang terlampau idealis—barangkali sok bahasa lebih tepatnya—sehingga tak mampu meyakinkanmu bahwa aku benar-benar menikahimu dan akan membahagiakanmu dengan caraku.

Janjiku padamu seperti kabut dalam gelap dan menggumpal di langit malam. Tiada sebersit cahaya bintang yang datang.

Tentu saja anggapanmu dulu benar perihal minuman hitam itu mengandung racun. Racun kafein yang menenggelamkanku berlama-lama dengannya ketimbang menghabiskan waktu bersamamu dan Marni. Ya. Lagi-lagi harus Marni yang jadi korban keegoisanku.

Belum lama ini kau mengungkit-ungkitnya sebagaimana kisah seorang kawan yang mesti menyerahkan nyawanya pada racun bernama sianida. Barangkali kau ingin aku mati bersama kopi yang dicampur zat kimia itu. Mudah saja kau mengaduknya ke dalam kopi yang kauhidangkan saban pagi sebelum kau berangkat ke kantor, sebab pada jam segitu aku masih terlelap usai semalaman menulis beberapa kisah yang tak kunjung usai kutulis akhir ceritanya. Aku terlalu terbelenggu dengan ending yang tertutup. Menurutmu haruskah sebuah cerita berakhir terbuka?

Kau harus mengubah gaya menulismu. Menulislah sesuai keinginan pasar saat ini. Begitulah saran Mufid suatu hari ketika aku mengunjunginya di kantor PWI. Selain berdiskusi soal media baru yang baru dirintisnya, aku juga meminjam beberapa ratus ribu rupiah dengan dalih membeli susu Marni.

Jika cerpenku dimuat di koran, baru kukembalikan. Aku selalu meyakinkannya, dan ia menurut.

Namun perkara menepati janji tidaklah semudah membuat janji. Bahkan berbulan-
bulan aku tak kunjung bisa mengembalikan uang itu. Cerpen-cerpenku tidak pernah dimuat di koran Minggu ataupun media daring. Mungkin benar, cerpenku terlampau idealis, tak menuruti keinginan pasar. Atau, mungkin, aku yang salah kirim ke alamat email redakturnya.

Pernah suatu ketika kumarahi seorang redaktur koran X lewat surel lantaran cerpenku dimuat di koran yang diasuhnya dan aku tak mendapatkan sepeser pun honor. Aku hanya minta hakku setelah buah tulisanku dimuatnya tanpa memberitahukan perihal pemuatan. Aku kian gusar sebab hampir dua bulan tak kunjung ditanggapi. Maka, sejak saat itu, cerpen-cerpenku tak pernah lagi dimuat di koran itu. Barangkali, si Redaktur beranggapan bahwa aku penulis materialistis dan pemarah.

Untung Mufid pengertian dan tak pernah menagih. Sejak kuliah, ia selalu bisa kuandalkan dan tak luput sering membantu persoalan ekonomiku. Selain mengelola media daring citizen journalist-nya, ia juga wartawan tajir yang sering memperoleh fee dari pemerintah daerah. Ia kawanku yang mujur.
Uang diam, Bung. Banyak kebusukan di pemda,” jawabnya, ketika kutanya dari mana uang yang selalu dipinjamkannya itu. Termasuk rokok yang kuisap saban hari, juga pemberiannya.

Tapi ini soal lain.

Kukatakan padanya jika istriku mulai mengeluh lantaran susu Marni kian bertambah dan harganya pun makin mahal. Beberapa kali ia meminta pisah jika aku tak segera punya penghasilan. Bersama Marni, ia mengancam akan pulang ke rumah orang tuanya. Aku jadi gelap pikiran dan sering melarikan diri ke warung-warung kopi. Ada yang kubayar dengan beberapa cerpenku yang gagal dimuat namun tak sedikit yang kasbon. Aku telah terperosok ke dalam keegoisanku sendiri. Bahkan terlampau tak peduli.

Puncaknya adalah malam itu. Diiringi deru lalu-lalang bus dan truk dan kendaraan pribadi lain, rel kereta api bergetar digesek roda besi hingga berderit, sebenarnya aku hendak mengabarkanmu bahwa aku telah mendapat honor dari salah satu koran nasional. Aku mampir sebentar ke kahwaji di seberang stasiun, sebelum pulang. Aku juga hendak membeli beberapa bungkus nasi dan lauk sebagai tanda syukurku bahwa itu kali pertama aku menafkahimu dan Marni. Oh ya, sepulang dari warung kopi aku juga akan membelikan Marni beberapa kotak susu jika saja kau tak buru-buru terjun dari lantai tiga kontrakan dan Marni meloloskan diri dari kamar tidur yang kau kunci dari luar. (*)

M Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Buku kumcernya Cerita-cerita yang Patut Kau Percaya (2019). Kini mengabdi di SMAN 1 Panarukan. Twitter: @mufirra_
Cerpen: Sebelum Kau Terjun Malam Itu Cerpen: Sebelum Kau Terjun Malam Itu Reviewed by takanta on Januari 12, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar