Puisi: Labirin Kerinduan



PUISI: GUS FAHRI

Reuni Persakitan

Di kediaman itu serentak kita bungkam.
Kau merunduk kelamkan senyum, entah
Untuk siapa? Sama sekali tiada ragu
Memahar Asmaul Husna ke lekuk rusukmu
Agar aku bertabah hati mengistalahkan pedih.
Atau kau sengaja bersekutu dengan durjana,
Setelah saban hari kulukis kau sebagai Fatimah
Pada hayat tandusku.

Sebutlah aku pangeran yang mengendap dalam Al-Quran,
mengharap kagum pada sepasang mata
Yang berbias konsep kabutmu.
Mungkin tak lagi kau rasa! Sepetak keramik dari kita
Membuat macet dan polusi di kepalaku,
Menghitung tanggal-tanggal yang kembali kau tinggal,
Dan aku kembali tunggal.

Tentu kau ingat, lampu-lampu mengintai
Memata-matai kita: tatapan, senyuman, dan
Gombalan tak seiras terekam dalam pijarnya.
Mari kita hidu malam, mencengkram kamar
Mungil seakan semua milik kita,
Lalu lantunkan simponi senada
Dengan derit ranjang yang terendam
Dalam puisi-puisiku.

Subur kau tanam ke ceruk episodemu sayang,
Senyumku tetap indah tersaji
Meski sepiring duri kau  hidangkan saat reuni.

Mata pena 2019 M.


Rubai’at Luka

Salam pagi permaisuri.
Penunggu pangeran perang
Yang berlomba membawa daulat hayatmu.
Senyum dan murung kau dadu,
Padaku budak penacap bendera kemerdekaan.
Namun kau pasung aku dibelantaran umum
Pada klimaks yang tak acuh
Mendustakan makna ikhtiyar.

Di langit dewa berzakat air mata
Merekam agresi karpet merah
Yang membentang di singgahsanamu.
Merumbung syair Antarah bin Syahdad dalam kalbuku
Membujuk pena untuka menyirat
Madah gulana.

“Jika ingin berperang bawalah pedang
Bukan pena penyair anyir
Yang kau anggap penyisir jalanmu.
Aku butu cinta politus
Bukan pemulung kata yang rakus.”
Lontarmu mencabik ketunggalan.
Tabah masih kusinggahi
Kendati matamu sabana
Adalah tandus derap usia.
Atas nama luka.

Simpanlah sajakku wahai permaisuri!
Dan lihat, ia akan tertancap di ceruk langit
Membuat rakyatmu dan kau terbirit-birit
Menangadah teduh, atas nama cinta.

2019


Breaking News
      :+62

Pemirsa,
Telah terjadi kecelakaan
Pada pukul setiap saat
Di tempat kejadian perkara:
Api dengan hutan,
Investor dengan lahan,
Agama dengan faham,
Dan orang dengan orang.

Pemirsa,
Lagi-lagi kecelakaan
Beruntun memakan banyak korban
Pada pukul rahasia
Dan tempat rahasia:
Pejabat dengan uang,
Hakim dengan suap.
Serta masih banyak kerahasian lain!

Begitulah mata merangkul keadaan
Saya luka, undur diri dari hadapan anda.

2019 M.


Labirin Kerinduan

“Merindukanmu adalah aniaya yang pertama.”

Seringkali aku kungkung hatur sembah
Di setiap titik kalimat puisiku.
Barangkali satu diantara huruf namamu dapat hadir
Dan mandi di pelupuk mata.

Semisal kaki ini masih mampu melipat jarak,
Tak perlulah kau singgah di jalan khalwatku.
Biarkan aku mencuci tangan di penjara,
Agar suatu nanti kau terbiasa menggandengnya
Atau kuasa selamanya.

Sungguh tiada mimpi yang tak berjumpa bangun.
Begitupun aku yang merindukan mimpi itu:
Hangat napasmu saat buram embun sibuk merajai pagi
Serta susunan kaki
Bertumpuk sama kedinginan.

Sekarang aku masih tertahan
Dengan iringan doa, semoga
Rinduku senantiasa dalam lindunganmu.

Mata pena 2019.



Petani

Relakan badan digigil hujan
Kepala diremas panas
Otot dipenggal pegal.
Peluh adalah pupuk unggul
Dari letih yang ditanam.
Merawat nasib,
Agar tumbuh berbuah berkah.

                        Mata Pena, 2020M.


BIODATA PENULIS

*Gusfahri (Gusti Fahriansyah), Batuan Sumenep yang bermigrasi ke annuqayahdan mengeram di MajlisSastra Mata Pena serta SanggarGemilang. Pernah di muat di Kawaca.com (Seperti “sepenggal surat untuk emilda, Empat belas lembar kasmara, Ibu, dan Nelayan”.)
087740340595


Sumber gambar : pixabay
Puisi: Labirin Kerinduan Puisi: Labirin Kerinduan Reviewed by takanta on Januari 26, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar