Cerpen: Aku Pulang, Bu!






Malam mulai merangkak menuju wujud sempurnanya. Gerimis turun dari rahim cakrawala. Bulan yang semula bersinar pucat, kini sinarnya sudah tertutup awan dan tak lagi kelihatan, pun juga kerlip gemintang. Angin berembus pelan, menyelusup lewat celah jendela indekos Ardillah. Ia duduk di atas kasur. Pandangannya diarahkan keluar, melihat tetes demi tetes air yang mulai membasahi tanah.

Genap satu tahun Ardillah tidak pulang ke desa Dapenda—tanah kelahirannya. Dan sudah genap satu tahun pula ia tak memberi kabar kepada ibunya di desa. Terakhir kali ia menghubungi ibunya saat beberapa bulan ketika sudah berada di kota Yogyakarta.

Ardillah teringat perkataannya saat akan baru berangkat dari desa, bahwa: ia akan memberi kabar kepada ibunya setiap enam bulan sekali. Tapi kenyataanya tidak, dikarenakan ia sedang sibuk kuliah dan bekerja, pun ia tidak memiliki nomor telepon ibunya selepas telepon lamanya hilang.

Ia bekerja sebagai tukang ojek online (Gojek) di sebuah perusahaan teknologi di Negeri ini. Namun, Ardillah tidak bekerja setiap hari, pekerjaanya terjadwal. Bila tak ada jam kuliah ia narik. Bila ada, ia tidak narik.

Saat ini Ardillah sedang menikmati libur kampus. Pekerjaanya pun ia liburkan sendiri sampai akhir bulan. Entah mengapa ia meliburkan pekerjaannya. Tetapi akunnya disewakan kepada temannya. Untung-untung ia bisa mendapatkan uang walaupun tidak narik sendiri.

Terbesit dalam benak Ardillah untuk pulang. Ia ingin menghabiskan waktu liburnya di desa. Ia sudah teramat rindu kepada ibunya, juga tanah kelahirannya. Maka, Ardillah pun memikirkan kapan ia akan pulang.

Agak lama Ardillah berpikir, ia mengambil keputusan untuk pulang besok pagi. Tak mungkin ia pulang sekarang karena sudah larut malam. Ia beranjak dari kasur, melangkah menuju lemarinya: mengambil sebagian baju-baju untuk dibereskan ke dalam sebuah koper. Tak lupa, mukena yang baru ia beli untuk ibunya juga dimasukkan. Memang dari dulu Ardillah ingin sekali membelikan mukena baru untuk ibunya, dan baru sekarang keinginannya tercapai. Setelah semuanya beres, Ardillah kemudian memesan—via telepon—tiket  bus untuk kepulangannya besok.
Di luar, hujan turun sangat lebat, disertai kilatan dan guntur. Ardillah teringat suatu waktu, kala ia masih kanak-kanak, di mana ia sering menutup kuping bila ada kilatan dari langit. Juga, ia akan memeluk ibunya bila mendengar suara guntur.

Sungguh masa kanak-kanak adalah suatu nostalgia yang penuh ironi dan disesaki banyak kenangan indah. Ya, bagi Ardillah, kepungan masa lalu telah menjadi tali yang mengikat gerak kehidupan. Mungkin sejarah tidak pernah ada andai semua orang di masa tuanya mengalami amnesia. Andai aku diberi kesempatan untuk mengulangi masa kanak-kanak, aku akan mengulanginya lagi, dan pastinya akan sangat bahagia sekali, gumam Ardillah sembari mengkhayal.

Lamunan Ardillah buyar ketika tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya. Lampu di dalam kamarnya ia matikan. Pintu dan jendela dikunci. Kemudian tubuh Ardillah ambruk di atas kasur.

 ***

Matahari mulai menyingsing di ufuk timur. Sinar keemas-emasannya membuat mata silau bila memandangnya. Ardillah sudah bangun sejak tadi subuh. Ia sedang mempersiapkan segala keperluan untuk dibawa pulang.

Sesaat setelah selesai berkemas, ia langsung menuju rumah pemilik kos. Jarak rumahnya tak terlalu jauh dari indekosnya. Sambil menjinjing sebuah koper, Ardillah berjalan dengan langkah santai. Ia menikmati nuansa pagi yang begitu indah.

Di atas pohon mangga, Ardillah melihat burung-burung yang sedang berjemur. Burung-burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan menggerakkan-gerakkan tubuhnya. Lalu, Burung-burung itu berkicau satu-satu, berkicau sahut-menyahut, berkicau susul-menyusul. Ardillah menikmati kicau itu. Ia juga melihat kupu-kupu yang hinggap di bunga. Sesekali lebah datang, menghampiri kupu-kupu yang sedang mengisap sari bunga.

Tak terasa Ardillah sudah sampai. Ia berdiri di mulut pintu rumah pemilik kos, kemudian mengetok pintu dan mengucapkan salam. Tak lama berselang, engsel pintu berderit, pintu terbuka, dan pemilik kos keluar.

“Ardillah!?”

“Iya, Bu.”

“Tumben kamu ke sini? Eh, sebentar, pakaianmu rapi, terus bawa koper, mau ke mana kamu?”

“Ini, Bu, Ardillah mau pamit. Hari ini Ardillah akan pulang ke desa.”

“O, mau pulang ternyata. Ya sudah, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan.”

“Iya, Bu, terima kasih.”

Nggeh, iya. Eh, jangan lupa sampaikan salam Ibu ke orangtuamu di desa.”

“Iya, Bu, pasti!”

Ardillah menyalami tangan pemilik kos, mengucapkan salam dan berjalan menuju jalan raya. Ardillah mempercepat langkahnya. Ia sudah tak sabar ingin lekas-lekas sampai.

Di pinggir jalan, Ardillah tak melihat tukang ojek. Hanya becak dan dokar yang berlalu-lalang. Ia sadar kalau saat itu masih pagi sekali. Ardillah kemudian beringsut ke seberang jalan. Tak lama setelahnya, ia melihat satu pengendara ojek. Langsung ia melambai-lambaikan tangan. Lantas, tukang ojek tersebut berhenti.

“Ke mana?” tanya tukang ojek.

“Ke Terminal Giwangan, Pak.”

“O, Baik. Mari naik.

“Agak cepat, ya, Pak. Soalnya sudah hampir jam pemberangkatan bus yang saya pesan.

Tukang ojek itu hanya mengagguk.

Mesin motor si tukang ojek menderu. Dengan cepat ia membawa penumpangnya. Ardillah merasa dirinya adalah pelanggan pertama dari ojek itu. Dari kaca spion, terlihat raut wajah si tukang ojek tampak bahagia. Ia tak henti-henti tersenyum sepanjang perjalanan.

Sekitar seperempat jam, Ardillah sudah sampai di terminal Giwangan. Setelah membayar, ia mendatangi orang yang bertugas melayani tiket pemberangkatan. Ia harus mengantri beberapa menit untuk mendapatkan tiket tersebut.

Tiket sudah didapatkan. Ardillah mencari nama bus yang tertera di dalam tiketnya. Hampir saja ia ditinggalkan, karena bus yang akan ditumpanginya hendak berangkat. Beruntung Ardillah datang di waktu yang tepat. Lantas ia langsung masuk dengan terburu-buru.

***

Selama perjalanan pulang, di dalam bus, Ardillah duduk bersebelahan dengan seorang kakek. Ia begitu ramah terhadap Ardillah. Sejak bus keluar dari batas wilayah kota Yogyakarta, kakek itu terus mengajak Ardillah mengobrol. Tutur kata yang digunakan kakek itu  sopan, membuat Ardillah nyaman meladeni obrolannya. Di sela-sela obrolan, sesekali kakek itu melucu dan membuat Adillah tertawa.

Ardillah tiba-tiba teringat mendiang kakeknya. Dulu, Saat ia berumur 8 tahun, kakeknya sering mendongenginya dengan cerita-cerita yang lucu. Sering juga Ardillah ditakut-takuti bila ia hendak kencing, “Awas ada wewegombel  di kamar mandi.” Dan Ardillah pun mengurungkan kehendaknya dan cepat berlari. Kakeknya tertawa terbahak-bahak ketika melihat cucunya yang tergopoh-gopoh ketakutan. Tapi kemudian ia mengantar Ardillah pergi ke kamar mandi karena kasihan. Setelah selesai kencing, Ardillah langsung berlari meninggalkan kakeknya. Kemudian ia balik menakut-nakuti, “Awas, ada wewegombel di kamar mandi, Kek,” ucapnya dengan suara yang kencang. Kakek Ardillah tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu cucunya.

Ardillah kembali mengobrol dengan kakek di sebelahnya. Bus melaju pelan kemudian berhenti. Kakek di sebelah Ardillah mengakhiri obrolannya.

“Akhirnya sudah sampai,gumam kakek itu.

Sejenak Ardillah mengerutkan alis dan melihat  kakek itu mengambil tas bawaannya.

“Sampai ke mana, Kek?” tanya Ardillah polos.

“Ya, sampai ke rumah Kakek,” jawab kakek itu sambil nyengir melihat wajah polos Ardillah. Kemudian ia menggendong tasnya.

“Siapa namamu tadi, Nak?”

“Ardillah, Kek.”

“O, iya, lupa Kakek. Maklum, sudah tua. Nak Ardillah, Kakek duluan, ya. Semoga Nak Ardillah selamat sampai tujuan.”

“Iya, Kek, terima kasih.”

Kakek itu berjalan ke depan menuju pintu, kemudian keluar. Bus melaju lagi. Ardillah merasa kesepian dengan turunnya kakek tadi. Sudah tidak ada lagi yang mengajaknya ngobrol. Sudah tidak ada lagi yang membuat ia tertawa selama perjalanan. Ada sesuatu yang terasa mengganjil dalam hatinya.

“Walah, iya, Aku lupa menanyakan nama Kakek itu,” gumam Ardillah sambil menepuk dahinya.

Bus melaju kencang melewati jalan tol. Jalanan sudah mulai ramai pengendara. Ardillah menyandarkan bahunya ke dada kursi. AC membuat badannya kedinginan. Kernet sedang menagih uang ke setiap penumpang. Musik dangdut tak henti-hentinya mengalun, membuat kernet itu menggoyangkan sedikit pinggulnya sambil menerima uang. Mulutnya terlihat ikut bernyanyi. Tapi Ardillah tidak tahu judul musik dangdut itu. Mugkin hanya sopir dan kernet bus ini yang tahu judulnya, pikir Ardillah.

Beberapa lembar uang Ardillah berikan kepada kernet. Selepas itu ia membenarkan posisi duduk. Bersandar lagi. Kemudian memejamkan mata. Sesekali kepalanya terjedot ke kaca jendela saat bus melewati jalanan berlubang. Matanya terbuka. Tapi kemudian dipejamkan lagi.

***

Matahari sudah condong ke arah barat. Tak terasa Ardillah sudah sampai. Sambil mengucek-ucek matanya, ia turun dari bus. Rasa pusing agak sedikit mengganggu kepalanya. Akhirnya, rindu dalam hati ini pada tanah kelahiran sudah terobati, gumam Ardillah sambil menengadahkan pandangannya ke cakrawala.

Sejenak Ardillah menghela napas, kemudian berjalan pelan di atas tanah yang becek. Sepertinya sudah terjadi hujan tadi malam, pikir Ardillah. Bila akan melewati jalan yang tergenang air, Ardillah mengangkat kopernya dan berjalan dengan sangat hati-hati—takut terpeleset.

Ardillah mencium aroma petis yang entah dari mana asalnya. Juga Ia melihat para nelayan yang pulang melaut. Di tangan mereka terdapat beberapa ekor ikan. Ada juga yang ditemani istrinya. Istri nelayan tersebut membantu menenteng ikan yang cukup banyak.

Apa yang saat ini Ardillah lihat, merupakan pemandangan yang sudah biasa terjadi di tanah kelahirannya. Tapi tak dapat dipungkiri, karena Ardillah merindukan pemandangan yang seperti itu. Tetangganya banyak yang menjadi nelayan, pun mendiang ayah Ardillah sendiri. Lagi-lagi ingatan Ardillah terlempar jauh menuju masa kanak-kanak. Ardillah mempercepat langkahnya. Ia sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan ibunya, untuk melepas kerinduan yang selama ini sudah menggunung.

Selang beberapa menit, Aridillah sampai di halaman rumahnya. Ia melihat asap yang mengepul di bagian belakang rumahnya. Pasti ibu sedang memasak di dapur, pikir Ardillah. Lekas-lekas ia pergi ke belakang rumah.

Benar saja, ibu Ardillah ada di dapur. Mukanya dipenuhi banyak keringat dan memerah karena panas yang dihasilkan oleh petis yang sedang dimasaknya.

“Ibu,” ucap Ardillah. Ibunya menoleh. Tiba-tiba matanya terbelalak melihat kepulangan anaknya dari kota.

“Ardillah!?” jawab ibunya seraya langsung berdiri.

Ardillah langsung mencium tangan ibunya. Keduanya berpelukan saling melepas rindu. Terdengar isak tangis dari ibu Ardillah. Tampaknya rasa rindu dalam hatinya melebihi rasa rindu yang ada dalam hati Adillah.

“Kamu, kok, tidak bilang-bilang mau pulang, Nak?”

“Iya, Bu, soalnya telepon lama Ardillah hilang.”

“Pantesan kamu tak ada kabar, Nak.”

“Ardillah minta maaf, Bu. Ibu mau kan memaafkan Ardillah?”

“Iya, Nak. Jauh-jauh hari Ibu sudah memaafkan kamu, Nak!”

“Ibu tidak marah?”

“Tidak, Nak.

Ardillah semakin mengeratkan pelukannya. Kerinduan yang menggunug di hatinya, kini sudah hancur dan rata—terobati. Dan ia baru menyadari, bahwa tanah kelahiran adalah ibu yang selalu ramah dan terbuka haribaannya. Tanah kelahiran adalah ibu yang tak pernah menolak kedatangan anaknya. Air mata Ardillah tiba-tiba tumpah dan membanjiri pipinya. (*)

Harishul Mu’minin, kelahiran Sumenep 12 Mei 2001. Anak dari seorang Nelayan di Pulau Garam. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Sekarang bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.
Cerpen: Aku Pulang, Bu! Cerpen: Aku Pulang, Bu! Reviewed by takanta on Maret 22, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar