Cerpen: Carlina dan Dangdut yang Mencelakainya






Oleh: Eko Setyawan

“Jembut!” umpat Carlina menyerapahi dirinya sendiri dan lelaki yang menyawernya dengan uang pecahan lima ribuan. Ia ucapkan kejengkelannya tepat ke telinga orang yang berjoget dan mengacung-acungkan uang pecahan itu.

Baginya, saweran dengan uang yang nominalnya sangat kecil tak lebih dari sebuah hinaan yang ditujukan oleh manusia kere terhadap dirinya. Penghinaan atas keberaniannya mengumbar buah matang yang tergantung dan hanya dibungkus tipis hampir melompat. Terlebih, dengan uang itu, mereka meminta lagu yang bermacam-macam dan lebih dari satu. Apa mereka pikir sebuah tubuh dan lengkingan suara itu dijual murah?

Umpatan-umpatan itu, baginya adalah balasan bagi pelecehan yang ditimpakan pada dirinya. Sebuah usaha untuk membela diri dengan agak keras kepala. Meskipun dengan hal itu tak akan membuat manusia di depannya itu akan paham dan menambah jumlah saweran. Tidak berpengaruh sama sekali. Malahan, umpatan itu menjadikan semangat bagi manusia yang berotak mesum—atau memang tak memiliki otak karena tidak pernah berpikir—menjadi lebih bergairah lagi untuk berjoget.

Selama ini, Carlina memang sering menerima uang saweran yang nominalnya tak pernah sekecil itu. Minimal pecahan dua puluh ribuan yang berwarna dedaunan. Itu pun bisa dikatakan masih sangat jarang. Karena sebagai biduan dangdut yang sudah malang melintang di dunia jual suara, olahraga, dan jiwa itu, Carlina sering menerima saweran dari amplop yang dititipkan lewat pembawa acara. Dengan ditebus goyangan yang semakin menghangatkan bahkan dapat dikatakan memanaskan suasana dan dibayar juga dengan lagu-lagu dengan lirik yang getir. Namun segetir apa pun lirik-lirik lagu itu, tetap saja diiringi dan dibalut dengan musik dangdut sehingga mau tidak mau, penonton pun bergoyang dan hanyut dalam alunannya.

Sebelumnya, orang yang menyawer dengan pecahan lima ribuan itu telah meminta didendangkan lagu patah hati, Carlina menurutinya. Namun karena penyawer itu menganggap dirinya memiliki kuasa, ia pun meminta lagu lagi. Aroma ciu menguar dari mulutnya. Tentu ia mabuk dan badannya telah panas. Begitu pula kepalanya yang telah pening dan berat. Pantas saja dirinya semakin gila dan bergoyang tak karuan.

Dalam genggamannya, uang pecahan lima ribuan masih beberapa lembar. Semakin menguatkan dirinya untuk bertahan karena bisa menyawer. Memang, ia sudah menyiapkan uang itu sebelum berangkat. Meskipun nominalnya bisa dikatakan kecil dibanding dengan yang lain, ia tetap saja bersikeras untuk menyawer. Sebab dirinya merasa bahwa yang penting adalah berani dan dapat menunjukkan muka di depan orang banyak. Urusan malu bisa dipikir belakangan, barangkali begitu yang ada di pikirannya.

“Sebaiknya kau minggat saja dari sini!” Carlina bertambah jengkel ketika uang yang telah dipegangnya itu ditarik ke atas oleh si penyawer. Ia merasa penyawer itu mempermainkan dirinya. “Kau niat nyawer tidak!” lanjutnya. Carlina merasa dikerjai.

Laki-laki itu menyeringai tanpa rasa bersalah. Masih dengan niat yang sama, asal bisa bersenang-senang kenapa harus dibuat pusing. Ia mengacung-acungkan uangnya. Bodoh jika biduan itu tidak mengambil uang miliknya. Karena hal itu sudah ia pikirkan dengan matang. Sekecil apa pun nominalnya, yang namanya saweran pasti juga akan dimakan. Sebuah cara berpikir yang ringkas.

Padahal hal itu adalah sebuah pelecehan bagi Carlina walaupun dengan berat hati tangannya tetap harus menyahut pecahan uang kecoklatan itu. Namanya juga rejeki, siapa yang mau menolak. Karena tak mengambil rejeki itu sama saja menyerahkan diri pada hal yang lebih buruk. Buruk bagi telinganya dalam beberapa jam ke depan. Berasal dari omelan para pemain musik dan rekan-rekannya sesama penjaja suara. Karena tak mengambil uang itu berarti juga jumlah uang saweran akan semakin kecil. Sebab setelah pementasan usai, uang akan dibagi rata antara penyanyi dan pemusik. Uang bonus, begitu mereka semua menyebutnya. Di luar bayaran pokok yang diterima dari pemilik orkes, uang saweran adalah bayaran atau uang intesif jika bekerja di kantor. Uang lembur.

Pernah suatu kali teman Carlina tak mengambil uang saweran yang terbilang kecil. Lalu akhirnya ia dikucilkan dari kelompok mereka hingga akhirnya memutuskan untuk keluar dan tak mau lagi ketika diajak untuk manggung. Memang itu bukan masalah besar. Tetapi ketika suara-suara tak mengenakkan terus-menerus diterima, bukankah hal itu akan menyiksa? Sakit hati lebih menyakitkan dari sakit gigi. Begitulah tembang dinyanyikan dan mau tidak mau memang begitulah kenyataannya.

Namun hal tak terduga terjadi. Laki-laki penyawer tiba-tiba memasukkan uang ke belahan dada Carlina. Tangannya bergerak cepat sehingga Carlina tak bisa menghindar. Lebih sialnya lagi, tak ada orang yang melihatnya karena terlalu asyik berjoget dan asyik dengan apa yang dilakukannya sendiri. Carlina kaget dan tergeragap.

“Bangsat!”

Makian Carlina mengagetkan semua orang. Mukanya merah padam. Kemarahan lahir dalam dirinya. Sebagai biduan, harga dirinya merasa dilecehkan. Ia merasa bahwa meskipun ia menghibur, juga tak selayaknya diperlakukan sedemikian rupa. Mudahnya, harga diri tak bisa dibayar dengan apa pun. Memang ia menunjukkan lekuk tubuhnya, sebab dengan itulah dapat menarik perhatian banyak mata. 

Namun di sisi lain, ketika ada yang melecehkan, di saat itulah sebuah amarah meledak. Sebuah bus yang melaju, meskipun untuk umum, ketika dinaiki dan sesak, akan tumbang juga. Begitu yang dipikirkan Carlina. Sebuah tubuh tetaplah sebuah tubuh. Tak ada orang lain yang berhak mengatur apalagi sampai menganggapnya sampah. Dengan perbuatan semacam itu, entah sampai kapan pun, akan tetap tidak ia terima meski dengan uang sebanyak apa pun.

Orang-orang memandangi Carlina dengan tatapan penuh pertanyaan. Mereka asyik bergoyang dan menikmati musik sekaligus memandangi sang biduan. Tapi mata mereka melewatkan hal yang besar. Mereka tidak tahu penyebab dan apa yang telah terjadi pada sang penghiburnya. Setelah memandangi Carlina, tatapan mereka beralih dari satu mata ke mata yang lain dengan penuh pertanyaan yang seluruhnya hampir sama, apa yang terjadi?

Ketika banyak orang bertanya-tanya. Tiba-tiba kaki Carlina menendang selakangan si penyawer yang telah menyusupkan uang ke belahan dadanya sembari memaki. Makian mungkin menjadi salah satu upaya untuk melepaskan seluruh amarah. Makian menjadi media untuk menunjukkan kegeraman pada suatu keadaaan. Dan Carlina melakukan itu.

“Bajingan. Minggatlah dari sini!” bentak Carlina.

Seketika itu juga alunan musik berhenti. Orang-orang masih memandangi Carlina dengan raut wajah kebodohan dan penuh tanda tanya. Mereka tak bisa berbuat banyak karena tidak tahu apa-apa. Namun sesaat setelah itu, pemain icik-icik mendekatinya. Meskipun ia sendiri juga tak banyak bicara. Ia hanya mendongakkan kepala tanda bertanya serta meminta kejelasan.

“Ia memasukkan uang di kutangku. Aku tidak terima si bajingan itu melakukannya. Seumur-umur, dalam hidupku aku tak pernah diperlakukan seperti ini. Sampai kapan pun aku akan membenci bajingan tengik semacam itu. Kau juga tahu jika aku tidak suka diperlalukan begitu, bukan?” Mata Carlina memerah. Bulir air mata meluap dan mengalir perlahan. Ia pun bergegas berjalan ke kursi di mana ada dua biduan lainnya. Dua biduan lainnya memeluk Carlina sembari mengelus punggung dan menenangkannya.

Seketika suasana riuh. Beberapa orang menarik si penyawer yang telah membuat masalah. Siapa pun orangnya, ketika ia menganggu dan menyebabkan kekacauan, berhak untuk diperlakukan sebagaimana mestinya. Itu sudah naluriah dan melekat pada diri manusia. Hingga pecahlah kemarahan yang sebelumnya masih terbungkus oleh musik dangdut. Kericuhan pun terjadi. Si pembuat masalah tertimpa masalah yang lebih besar ketika ia harus babak belur dihadiahi pukulan, tendangan, serta sumpah serapah dari orang-orang yang terusik karena perbuatannya.

“Sudah, Mbak. Sudah.” Teman biduannya mencoba menenangkan.

“Iya, Mbak. Kita harus terbiasa dengan orang semacam itu. Sudah resikonya,” timpal teman biduan lain.

Mendengar ucapan itu, Carlina mengangkat kepalanya. Mengusap air mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan diri dan mencoba kembali menguasai dirinya yang kalap.

“Kalian tahu, pekerjaan semacam ini memang kerap dipandang rendah. Akan tetapi tidak ada satu orang pun yang berhak merendahkan kita. Ini bukan soal uang atau apa, ini soal harga diri. Kita berpakaian semacam ini bukan keinginan kita sendiri. Kita berpakaian semacam ini karena dipaksa oleh keadaan. Meskipun begitu, meski kita bekerja dan berpakaian seperti orang murahan semacam ini, tidak ada seorang pun yang berhak melecehkan kita,” kata Carlina seolah ia sedang mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini dipendam dalam dadanya.

Kedua teman biduannya tampak bingung dan saling memandang satu sama lain. Sayup-sayup pembaca acara memanggil nama salah satu dari mereka. Suara musik dangdut kembali bergema. (*)

Eko Setyawan, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNS. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS 2018. Kumpulan puisinya berjudul Merindukan Kepulangan (2017). Karya-karyanya tersiar di media lokal dan nasional. Surel: esetyawan450@gmail.com Hp: 089673384146.
Cerpen: Carlina dan Dangdut yang Mencelakainya Cerpen: Carlina dan Dangdut yang Mencelakainya Reviewed by takanta on April 19, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar