Cerpen: Takdir





Di sebuah daerah terpencil, hiduplah seorang anak dan seorang ibu yang berteduh di dalam gubuk yang tak begitu kokoh, semuanya di buat dari bambu tua. Kalau di terpa hujan deras, gubuk itu tak bisa menangkis air yang hendak masuk ke dalamnya, pastinya mereka berdua gigil kedinginan. Agar hal itu tidak terjadi, seorang anak memberinya ilalang yang dirakit di setiap dinding gubuk itu. Di daerah itu belum ada terpal, plastik pun juga tak ada.

Daerah itu dilanda kemiskinan, mereka tak punya apa-apa kecuali lima pohon pisang di depan gubuknya, pohon mangga di sampingnya, dan terdapat pohon singkong di belakang gubuknya yang menjadi makanan pokok bila mereka lapar. Sungguh sangat menyedihkan.

Sebagai anak lelaki yang berbakti pada seorang ibu, ia tak lupa berdoa setiap selesai shalat. Tak lupa membantu ibunya dalam menyiapkan makanan walau sebatas singkong. Seorang anak tak pernah mengeluh atas nasib ibunya.

Ibunya pun tak lepas dari doa, di sepertiga malam air matanya mengalir di pipi lalu membasahi mukenanya yang lusuh. Doa yang dipanjatkan tak lepas dari kesabaran atas menerima nasib. Sungguh, ini kenyataan nyang sangat mengiris hati.
Mereka miskin harta tapi kaya akan jiwa. Mereka tak pernah menyalahkan Tuhan. 

Tuhan telah mempertemukan dua jiwa yang saling mengerti; dua jiwa yang mendapat ujian dan menerimanya dengan lapang dada. Hati mereka berdua sama-sama suci.

***

“Ibu, aku mau pergi merantau!” Seorang anak bilang pada ibunya yang sedang menyapu halaman depan gubuk tempat mereka berdua berlindung dari panas dan hujan.

Ibunya tak menanggapi permintaan anaknya, malahan ia berhenti menyapu dan duduk di bawah pohon mangga dengan raut wajah penuh tanda tanya menatap tajam anaknya. Seorang anak menjadi bingung dibuatnya. Tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap ibunya kenapa tiba-tiba kebingungan. Merasa bersalah karena permintaan itu.

Sejak pertanyaan itu keluar dari mulut sang anak, ibunya tak pernah menyapa, berbincang pun tidak. Ia tak makan dan tak minum. Anaknya semakin bingung. Bila ditanya pasti jawabannya “sudah”. Hal ini membuat perasaan sang anak tak nyaman, merasa iba terhadap ibunya yang sudah lanjut usia.

Di sepertiga malam selanjutnya, ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tangis ibunya menjadi-jadi. Air matanya semakin membanjir. Di antara air matanya yang mengalir terdengar doa yang dipanjatkan; mengenaskan sekali. Sehingga sang anak terbangun dari tidur karena saking nyaris terdengar di telinganya. Yang bisa dilakukan dari  sang anak hanya ikut menangis dan air matanya membanjiri gubuk yang hampir roboh. Kali ini bukanlah hujan, tetapi rintihan yang melahirkan air mata.

Keesokan paginya ia bertanya kepada ibunya, “Ibu! Kenapa tadi malam ibu berdoa seperti itu?”

Ibunya diam sebentar lalu menjawab dengan nada lemas, “Aku takut kau pergi karena harta semata. Aku takut kau tak sabar, takut kau tak menerima takdir yang telah Tuhan tentukan kepadaku dan kau. Sungguh aku khawatir sekali.”

“Ibu, bukannya aku takut menerima kenyataan ini, tapi aku khawatir anak-anakku nanti. Aku ingin mereka bahagia. Sebab, mecari ilmu butuh bekal, salah satunya adalah harta.”

Mereka berdua diam, tak ada yang mau bicara. Semuanya sunyi, angin pun tak sanggup menggerakkan daun pohon pisang. Semuanya bisu, hanya Tuhan yang mendengar perbincangan seorang anak yang cerdas dalam menatap masa depen dan ibu yang selalu menahan perih  dalam hati. Seorang ibu yang besar hati terhadap anaknya.

“Anakku! Ibu merestui apa yang kau inginkan asal itu benar.” Ia menatap sendu anaknya. Sang anak menatap wajah yang hampir keriput karena selalu dibanjiri air mata, menatap penuh tanda tanya; penuh kekhawatiran.

“Satu pesan dari ibu, jangan tinggalkan shalat dan jangan lupa untuk berdoa kepada Tuhan!” Ibunya berpesan, lalu diam.

Dengan pekataan ibunya yang terakhir, sang anak punya kesimpulan bahwa permintaannya direstui. Dengan sepenuh hati atau setengah hati. Entahlah itu belum pasti. Belum mengetahui batin ibunya.

Saat ini sang anak sudah siap untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup bersama ibunya di bawah gubuk yang tak begitu kokoh. Berbekal doa dan hati nurani, bersama keyakinan melangkahkan kaki dengan penuh pengharapan. Di sampingnya ada malaikat putih yang mengawasinya.

***

Di kota, sang anak tak kunjung menemukan pekerjaan. Semua orang seakan tak peduli. Hanya matahari yang setia menerangi, sebuah pohon yang menaungi, dan angin sepoi yang membelai halus rambutnya yang lusuh dan berdebu. Sang anak duduk berselonjor di bawah pohon rindang meratapi nasib yang menimpa dirinya di kota orang. Sungguh sangat menyedihkan sekali.

Ingin pulang tapi malu karena tangan dalam keadaan kosong, malu kerena tak sesuai dengan janjinya. Tapi hatinya dilanda rindu dan rasa khawatir yang besar sekali, menggetarkan hati. Berkali-kali malaikat putih itu mengganggu dan berbisik untuk segera pulang. Setelah lama merenung, sang anak memutuskan untuk segera pulang dan memeluk ibunya yang pastinya telah lama menunggu.

Sebelum pulang, sang anak mendatangi rumah mewah yang di depannya terdapat dua mobil mewah dan terdapat taman kecil di samping rumahnya. Sang anak mengemis, ingin satu sadekah yang diberikan melalui tangan tuan rumahnya. Dari pintu samping dua anak kecil lari mendatanginya lalu memberi barang yang warnanya serba putih. Kiraan sang anak adalah selendang putih dan akan membuat ibunya tersenyum karena melihat selendang baru.

***

Sesampainya di depan gubuk sang anak berteriak keras, tetapi tak ada yang menjawabnya. Hanya burung besar berwarna hitam yang tengah mencakar-cakar atap gubuknya yang sudah reyot. Sang anak masuk ke tempat yang biasa ibunya berteduh, dan mendapati ibunya terbaring dengan mata terpejam. Sang anak mendekati sambil menangis. Sang ibu sudah tiada; sudah tak bernyawa. Jeritan tangis menjadi-jadi, air matanya membanjiri jasad ibunya. (*)

Annuayah, 2019

Moh. Jamalul Muttaqin, dilahirkan di Gapura Sumenep Sumekar. Salah satu siswa MA 1 Annuqayah sekaligus mantan ketua  OSIS Periode 2018-2019 dan termasuk aktivis organisasi Pasra, Ikstida, dan di Kompas (Komunitas Menulis Pasra).
Cerpen: Takdir Cerpen: Takdir Reviewed by takanta on April 05, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar