Raffasya dan Keramaian yang Sunyi



Oleh: Rizki Pristiwanto*

Jalanan tak lagi seramai biasanya. Semua menjadi sunyi dan menyisakan sepi. Hanya tersisa beberapa orang yang bertahan dengan dagangannya. Ketika itu, saya melihat pedagang kaki lima tampak berharap ada yang bersedia singgah membeli dagangannya. Mereka melawan kecemasan di hatinya. Tentu untuk keluarga dan menyambung hidup.

Wajar. Banyak masyarakat yang memilih di rumah. Mereka menghindari pandemi virus corona yang sulit dikendalikan itu. Keluarga kami juga tidak ingin ambil risiko. Kami memilih berdiam di rumah sambil menyimak informasi perkembangan virus yang kian hari bikin tak enak hati. Sesekali saya melihat Raffasya, anak saya. 

Raffasya berusia 7 tahun. Di usianya yang masih anak-anak itu, ia lumayan suka baca buku. Kadang ia menanyakan dan berdiskusi dengan saya tentang hal yang baru dibacanya. Ya, meskipun saya hanya sesekali terlihat membaca buku, tapi saya masih mampu menjawab setiap pertanyaan yang tak jarang terasa lucu dan menggemaskan. Kadang saja juga iseng melempar pertanyaan untuknya. Ya, biasa ngajak ngobrol ringan aja gitu.

Sore itu, saya mengajaknya berkeliling kota mengendarai mobil tua. Hehe. Kami lewat jalan biasanya. Dan, tentu saja tak seramai biasanya. Saya memberhentikan mobil di depan alun-alun kota sembari memintanya untuk mulai melihat sekitarnya.

"Lihatlah, Nak. Jalanan ini sepi, kan?" tutur saya. Pelan.
"Iya, yah. sepi", sahutnya.
"Kira-Kira kenapa kok bisa sepi gak seperti biasanya ?"
"Mungkin karena wabah, yah"

Raffasya tampak antusias menjawab setiap pertanyaan saya. Hingga sesuatu mulai mengganggu pikirannya. Ia mulai memunculkan banyak pertanyaan dalam benaknya yang harus ditanyakan pada saya.

"Ayah, jika wabah ini memang berbahaya, kenapa masih ada pedagang yang nekat berjualan? Abang becak juga masih terlihat disana?"

Saya coba menjelaskan sekenanya.

"Wabah ini tak kasat mata, Nak. Penularannya juga cukup cepat. Para pedagang dan abang becak tetap berada di sana karena hanya dengan begitu mereka bisa dapat rezeki. Lihatlah wajah lesu mereka".
"Kenapa mereka lesu, yah?"
"Jika melihat jalanan yang sepi begini tentu mereka lesu karena mereka dapat uang sedikit, Nak"
"Harusnya mereka dibantu pemerintah, yah"

Jlebbbbbbbb......!!!!!

Saya tersenyum mendengar jawaban Raffasya. Tanggapan yang menarik dari seorang anak-anak yang masih polos sepertinya. Padahal saya bukan Wiji Thukul, yang mengajarkan perlawanan terhadap negara hahahaha. Tapi saya mencoba meredakan suasana dengan jawaban diplomatis. hehe

"Nak, pemerintah memang harus hadir menjamin setiap kebutuhan rakyatnya di tengah kondisi wabah yang tak menentu seperti hari ini. Namun juga ini adalah tugas kita nak yang berkecukupan untuk sedikit meringankan beban mereka”

Raffasya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti dengan penjelasan saya. Namun, masih ada pertanyaan lanjutan yang ia lontarkan.

"Ayah, seminggu di rumah Raffa lebih sering mengikuti informasi di media sosial. Ya meski lebih sering baca status teman-teman yang lagi kasmaran , hehe"
"Lalu apa yang kamu temukan?"
"Banyak hal, yah. Utamanya tentang wabah yang sedang melanda ini. Rasanya di media sosial ramai sekali bahasan tentang wabah ini yah"
"Itulah yang disebut keramaian yang mensunyikan, Nak"
"Maksudnya, yah?"
"Kesunyian yang terjadi sekarang ini bukan hanya wabah penyebabnya"

Raffasya mulai mengernyitkan dahinya. Ia berpikir maksud dari ucapan saya.

"Bagaimana maksudnya, yah?"
"Dunia berkembang begitu pesat, Nak. Hal-hal di dunia maya kadang berbanding terbalik dengan dunia nyata. Media sosial seolah menjadi dunia nyata hari ini, Nak"
"Lantas yah?"
"Keramaian yang terjadi di dunia maya hari ini adalah salah satu penyebab kesunyian di dunia nyata"
"Coba jelaskan dengan mudah, yah. Supaya Raffa paham", lanjutnya.
"Maraknya pemberitaan tentang wabah ini di media sosial, di dunia maya menyebabkan banyak masyarakat lebih waspada dan tak sedikit yang ketakutan, dan mereka akhirnya memilih untuk lebih sering di rumah, akhirnya dunia nyata lebih sunyi dari biasanya"

Saya menjelaskan sekenanya saja. Karena saya tidak ingin terlalu menggurui. Apalagi terlalu jauh mempengaruhi cara pikirnya. Setelah ini, barangkali ia paham bahwa, tidak semua keramaian itu membisingkan karena nyatanya keramaian di dunia maya mampu membuat dunia nyata menjadi sunyi.

Semoga semua kesunyian ini segera berganti dengan keramaian yang menggembirakan. Kabar bahwa semuanya baik-baik saja. Sebentar lagi.

Jheng jheng jheng... Halooooo.. semua dialog di atas hanya fiksi belaka. Anak saya baru berusia 3,5 tahun hahaha... So, jangan terlalu seriussss gitu lah, Bro. Hahaha.

_______
*) Penulis merupakan pegiat media warga Info Warga Situbondo (IWS) dan Owner Kedai KAMSITU.

Raffasya dan Keramaian yang Sunyi Raffasya dan Keramaian yang Sunyi Reviewed by takanta on April 02, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar