Cerpen: Pisau Takdir



Perempuan itu menggores lengannya dengan pisau yang dibawanya dari dapur siang tadi setelah sebelumnya memperhitungkan tempat nadi di pergelangan tangannya yang ia perkirakan bisa membuatnya mati seketika. Perasaannya menggebu-gebu ingin segera mengakhiri hidup yang menurutnya sangat menyakitkan. Seringainya terbit bak psikopat yang gila pada rasa sakit.
Sedetik kemudian, seringainya berubah menjadi suram. Ingatannya kembali pada saat ia terluka sangat dalam sebab sesosok lelaki yang sangat amat ia cintai berkhianat pada cintanya; memilih perempuan lain yang jauh lebih cantik darinya. Padahal, selama ini ia selalu berusaha untuk membahagiakan lelaki itu dengan cara apapun dan memberikan segenap cinta yang dimilikinya pada lelaki itu hingga tak bersisa. Perempuan itu kembali tergugu pilu.
Sret.
Garis luka berhasil tergores bersamaan dengan darah yang mengucur deras dari balik kulit yang menganga layaknya sumber mata air yang ditemukan di bukit-bukit tandus nan gersang. Bedanya, cairan yang keluar itu berwarna merah terang dan kental. Lagi-lagi ia menyeringai sebelum akhirnya terjengkang tak sadarkan diri.
Entah berapa lama kemudian, mata perempuan itu terbuka dan menemukan sekeliling berwarna putih. Apakah ia sudah sampai di surga? Tanyanya pada diri sendiri. Ia seperti terbang melayang. Tubuhnya seakan kehilangan massa berat dan hukum gravitasi. Ia bisa bebas! Pikirnya.
Sebuah suara menggema di dinding-dinding pendengarannya.
"Kau masih belum mati, Sayang."
Perempuan itu tersentak saat sebuah benda seperti menghantam tengkuknya membuat ia tersungkur dan kembali merasakan beban berat tubuhnya terhempas ke bawah. Rupanya gravitasi menariknya kembali dengan tega.
"Tidak! Aku ingin mati!" teriakannya kembali menggema. Perlahan cahaya sekitarnya memudar berganti gelap gulita sejauh mata memandang.
"Kau tak bisa melawan takdirmu. Kau tak akan bisa mati dengan cara apa pun jadi berhentilah bertindak konyol, sayang. Kau tak akan mati semudah itu,"
Suara berat itu makin nyata di pendengarannya. Ia segera menajamkan mata pada gulita yang memerangkap. Ah bukan, ia baru saja membuka mata. Rupanya sejak tadi ia terpejam dan membuat pandangannya hitam legam. Pantas saja.
"Kau..." perempuan itu melihat sesosok makhluk di depannya. Makhluk yang berpakaian serba hitam dan bersayap itu memandangnya dengan seringai menyeramkan.
"Selamat malam, sayang. Akhirnya kau terbangun juga," suaranya kembali menggema dengan seringaian yang masih setia di wajahnya.
Perempuan itu memandangnya dengan tatapan nyalang seakan dengan tatapan itu, ia dapat melenyapkan makhluk di depannya.
"Kenapa kau selalu saja menggagalkan usaha bunuh diriku. Tak tahukah kau betapa menderitanya diriku jika masih hidup."
“Apakah mati adalah satu-satunya jalan keluar dari masalah?” hati perempuan itu tertohok seketika.
"Sudahlah sayang, bersihkan dulu darahmu yang sudah tercecer kemana-mana itu. Apa kau tidak jijik pada bau amis tempat ini yang sudah kau jadikan ruang percobaan bunuh dirimu berkali-kali?" Makhluk itu tertawa menggelar seusai mengucapkan kalimatnya barusan. Lalu perlahan ia memudar. "Jangan sampai kita bertemu lagi dalam waktu dekat ini," ujarnya sebelum dirinya benar-benar menghilang.
Perempuan itu menggeram kasar seraya bangkit dari posisinya yang sama saat ia terjengkang siang tadi. Darah yang tadinya berwarna merah kini telah berubah warna menjadi kecoklatan dan tercecer di mana-mana seperti ceceran cat coklat yang sempat tumpah ruah. Lengannya pun masih menganga dan meninggalkan rasa sakit yang masih sama.
Ini adalah percobaan bunuh dirinya yang sudah kesekian kali setelah sebelumnya ia mencoba melakukan hal lain untuk bisa membunuh dirinya. Namun semua itu selalu berakhir dengan tawa mengejek makhluk bersayap tadi. Ia mulai menyerah. Rupanya takdir masih ingin bermain-main dengannya. Atau ia yang senang bermain-main dengan takdir?
Brukk! Suara pintu terbanting membuat gaduh rumah yang selalu sepi itu. Seorang laki-laki masuk menghampiri si pemilik rumah yang masih duduk terpekur di atas lantai yang dingin. Tatapannya mengiba kala melihat sesosok yang terlihat sangat berantakan dan bau amis yang tercium menusuk hidung. Laki-laki itu perlahan mendekat lalu merengkuh tubuh ringkih di hadapannya. Ia merasakan sesal yang amat sangat menyiksanya kala melihat pujaan hatinya terluka sangat dalam karena sebuah kesalahan yang bahkan tak pernah ia maksudkan untuk menyakiti perempuan itu.
“Sayang, maukah kau memaafkanku?”
“Untuk?”
“Untuk kesalahanku karena telah meninggalkanmu. Karena telah membuatmu harus menyakiti dirimu. Karena aku, kau melakukan ini.
“Kenapa?”
“Aku masih mencintaimu, percayalah.
“Tidak, kau telah meninggalkanku!”
“Aku tidak pernah meninggalkanmu.
“Pembohong!
“Sungguh! Haruskah aku membuktikan perkataanku? Apa kau sudah tak lagi mempercayaiku?”
Perempuan itu diam.
“Demi Tuhan, percayalah bahwa cintaku masih sama besarnya,” laki-laki itu mengeratkan pelukannya dengan putus asa. “Maukah kau memberiku kesempatan sekali lagi?” perempuan itu mengangguk samar namun memberikan kelegaan yang luar biasa pada lelaki yang baru saja pupus harapan.
Terimakasih, sayang. Aku mencintaimu. Sekarang kita obati lukamu dahulu”
Hari-hari selanjutnya lelaki itu menepati ucapannya bahwa ia tak akan pernah meninggalkan perempuannya, mencintainya dengan sepenuh hati, merawatnya dengan sepenuh jiwa dan raga dan menumbuhkan kebahagiaan lebih dari bahagia yang pernah mereka rajut bersama.
Mereka kembali merajut kisah yang sempat tertunda. Rasa sesal lelaki itu yang berujung pada kegilaan perempuannya pada kematian membuatnya enggan untuk kembali meninggalkannya. Tidak, ia tak pernah meninggalkan kekasihnya. Semua masalah itu adalah sebuah kesalahpahaman yang tak bisa ia selesaikan secepatnya karena ego yang menguasai tiap tindakannya waktu itu.
Dari raut wajahnya, perempuan itu bahagia. Tak ada lagi keinginan percobaan bunuh diri karena putus asa pun tak ada sebuah ingatan tentang makhluk bersayap itu. Semua kembali normal dan bahagia. Semua terlihat baik-baik saja seakan lupa bahwa hukum alam bisa saja membalik kebahagiaan berlebih menjadi duka yang mencekam. Namun itu bisa dipikirkan nanti-nanti saja.
Adalah hal yang paling ditakuti oleh perempuan itu adalah bertemu dengan makhluk bersayap itu lagi yang kini menyeringai menyebalkan di depannya. Ia tak mengerti mengapa makhluk itu tiba-tiba saja muncul saat ia bahkan baik-baik saja. Ia tak sedang menyakiti dirinya sendiri apalagi mencoba membunuh dirinya lagi. Tapi entah kenapa makhluk itu hadir seakan ingin menjemput dirinya saat itu juga. Tunggu, apa hari ini akan menjadi akhir hidupnya? Tidak, ia tak mau jika mati saat dirinya tak ingin. Kebahagiaan baru ia cecap tapi kenapa harus terenggut secepat itu? Ia merasa takdir begitu kejam padanya karena saat ia tak menginginkan kehidupan, takdir malah menahannya untuk lebih lama merasakan kepedihan namun saat baru saja ia cecap kebahagiaan, akankah ia akan merenggutnya juga?
"Waktumu telah tiba, sayang,suara berat itu seakan membenarkan apa yang telah dipikirkannya barusan.
“Tidak, aku tak ingin mati! Tak bisakah kau memberiku waktu lagi? Baru saja aku mendapatkan kebahagiaan lalu kau akan merenggutnya kembali? Kenapa bukan saat aku menginginkannya saja kau mengatakan kata itu?”
"Karena takdirmu memang seperti itu. Kau tak bisa melawan takdirmu sendiri bagaimanapun caranya. Bukankah kau telah belajar dari pengalaman yang sudah kau alami sebelumnya? Hal itu juga berlaku sekarang, sayang. Jadi berhentilah mengeluh.”
“Tidak! Pergilah dari sini. Aku tak mau mati sekarang. Aku tak mau mati”
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan suara yang bergetar, perempuan itu mengambil sebuah pisau yang entah ia dapatkan dari mana saat melihat makhluk bersayap tersebut mendekat. Ia mengacungkan bilah pisau itu berharap dapat membuat makhluk di depannya mengurungkan niat untuk menunaikan apa yang ia katakan tadi. Namun nyatanya sia-sia karena makhluk itu terus melangkah mendekat membuat perempuan itu mundur tanpa bisa dicegah.
“Berhenti disana atau aku akan menancapkan pisau ini di jantungmu.”
“Silakan saja,”
Perempuan itu terpojok saat punggungnya membentur tembok. Dengan mengumpulkan keberanian, ia benar-benar menusukkan pisau itu tepat di dada makhluk bersayap itu dan memuncratkan cairan kental di balik jubahnya. Makhluk itu menyeringai lalu tangannya merengkuh tubuh di depannya beserta sayap yang melingkupi tubuh keduanya.
"Baiklah, semoga bahagia, sayang,makhluk itu memudar lalu terganti dengan wajah kekasihnya yang tengah memuntahkan darah di hadapannya sembari memegang dadanya yang tertancap sebilah pisau.
Ketakutan segera merayapi raut wajah perempuan itu saat melihat wajah kekasihnya yang kian meredup. Tangannya bergetar saat pisau itu terlepas dari dada bidang yang tengah mengucurkan darah layaknya air yang terjun bebas. Ia menjerit sekeras-kerasnya.
“Tidak! Jangan mati, kumohon,ucapnya lirih seraya memangku kepala kekasihnya yang sudah tak berdaya.
“Aku meninggalkanmu lagi. Maafkan aku.”
“Tidak, semua ini salahku. Harusnya aku yang mati bukan kau.”
“Aku mencintaimu, percayalah.
“Tidaakkk! Bangunlah, kumohon.” Lelaki itu tak bergerak lagi pun tak ada deru nafas kesakitan yang keluar dari hidungnya. Ia tertidur dengan tenang. Selamanya dan meninggalkan hujan air mata bagi kekasihnya. Setelah itu, linangan darah menyusul kepergiannya.
“Biarkan aku menyusulmu, sayang.”
Sementara di sudut kegelapan, sesosok makhluk menyeringai menyeramkan. (*)
Alifatur Rohmah. Lahir di Situbondo, 11 September 1997. Mulai aktif menulis sejak mengenal sastra dan bahasa, lalu terlahir pemikiran bahwa menulis adalah sebuah wujud nyata dari angan dan keinginan yang terkadang mustahil ada dan menulis adalah tentang meninggalkan jejak sejarah.

Cerpen: Pisau Takdir Cerpen: Pisau Takdir Reviewed by takanta on Mei 24, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar