Cerpen: Nyonya Angel




Angel duduk sendiri di teras memandang anak-anak anjing itu menyusu pada Anggit, anjing besar miliknya. Uap hangat mengepul di atas cangkir teh—hilang ditiup angin bersama harum daun teh pilihan. Seorang pengantar koran melemparkan koran bergulung dari balik pagar sambil memanggil, “Selamat pagi, Nyonya Angel.” Ujung bibir Angel terangkat menampilkan senyum indah di pagi hari. Angel jadi teringat dengan Jesi, tetangganya yang selalu bilang, “Pagi yang indah, Nyonya Angel,” di depan rumah. Jesi masih sangat muda, tapi ia sudah menikah dan memiliki bayi, keluhnya pada Anggit. Tapi mau bagaimana lagi, anak muda begitu bersemangat, lanjutnya sambil mengusar kepala Anggit. Mungkin karena Angel telah merasakan hal yang sama saat muda dulu. Namun, pagi ini bintik hitam di wajahnya semakin bertambah banyak. Angel membiarkan bintik-bintik hitam itu berada di wajahnya, suatu hari mereka akan pergi sendiri seperti Baron, pikirnya.
Matahari memanjat langit cahayanya menyapu teras dan menyentuh jari kaki Angel. Ia membiarkan matahari di kakinya. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menjalar dari sana. Angel jadi teringat Baron, kekasihnya yang pergi ke kota perang menjadi relawan. Awalnya, berjemur di pagi hari adalah ide Baron, lantas sekarang Angel berjemur seperti yang dilakukan Baron setiap pagi. Biarkan matahari membersihkan kulit, begitu kata Baron. Kau akan mendapat energi baru setelah ini, lanjutnya sambil memejamkan mata.
Angel cepat-cepat menggelengkan kepala, “Tidak, tidak! Baron sudah mati. Aku tidak perlu memikirkannya lagi. Ia sudah mati, jadi abu!” Setelah mengucapkan itu Angel bangkit dan membawa cangkir teh ke dalam. Sedangkan Anggit masih menyusui anaknya di depan teras.
Rumah itu begitu tenang dengan piringan hitam Blood On The Tracks yang berputar tidak jauh dari ruang tengah. Mulut gramofon yang mendayu membuat suasana tambah sendu, seolah ada sepasang kekasih yang sedang berdansa di ruang tengah lalu tidak lama mereka bertengkar karena ujung gaun si perempuan diinjak si lelaki. Angel pergi ke dapur, membuat minuman—tangannya meraih susu kaleng, menuangkan ke dalam gelas, lalu ia mencari sesuatu. Membuka kulkas, freezer, lemari dapur, dan ia bersorak menemukan yang ia cari di kolong meja. Angel tuangkan seluruh soda ke dalam gelas setelah memberi tiga potong es batu lantas gelas berbusa meluap membasahi tatak meja. Angel segera mencecap tepi gelas itu, merasakan soda susu lewat di kerongkongannya. Dan mendengarkan es batu yang saling bentur di dalam gelas.
Anggit masuk ke dalam bersama tiga anaknya. Melingkari kaki Angel. Ia berjalan meninggalkan dapur dibuntuti Anggit, lalu meraih sehelai roti di meja makan dan memasukkannya ke dalam mulut. Blood On The Tracks masih berputar memenuhi ruang tengah dan koridor, masuk ke ruang makan, memanjat ke lantai atas, dan berhenti di langit-langit. Angel duduk di kursi meja makan, mencuil roti lagi dan memberinya pada Anggit. Anjing yang manis, katanya. Anggit, anjing Angel telah bersamanya sudah hampir empat puluh tahun. Dan tentu anjing itu sudah menganggap Angel adalah keluarganya, dan mungkin sebaliknya.
Sesaat kemudian ponsel berdering di sampingnya, ia cepat mengangkat, dan menyapa.
“Ya, betul dengan saya sendiri,” jawabnya sambil menegakkan punggung.
“Rosario Nyonya tertinggal di gereja.”
Angel menepuk kening dan sedikit memisuh dalam hati.
“Halo…  kata pastor, rosario itu milik Nyonya, benarkah?”
“Iya, iya. Itu punya saya, Njeng,” sahutnya buru-buru.
“Apa tidak keberatan jika Nyonya ambil ke rumah?”
“Oh… bagaimana kalau kita ketemu pas paskah di gereja saja?”
“Baiklah, kukira benda ini amat penting. Makanya aku segera meneleponmu, Nyonya. Sampai juma hari Minggu.”
Telepon dimatikan. Rosario… kata Angel mengingat asal benda itu dari siapa. Mungkin benda itu sudah lama hilang dan baru ditemukan oleh orang baik, dan niat baik. Namun, Angel tidak begitu ingat dari siapa rosario tersebut karena di rumahnya sudah ada enam rosario yang berbeda-beda. Angel memang suka dengan benda satu itu, karena sejak kecil ayahnya selalu membawa itu ke gereja, kamar, dan tempat biasanya bersemedi. Walau pun Angel hanya suka mengoleksi, dan sering mengumpat dan memisuh, benda itu hanya jadi pajangan di kamarnya.
Angel bangkit dari kursi berjalan pelan dan masuk ke kamar. Di sana ia menyimpan rosario-rosarionya, di tembok sebelah kiri menghadap jendela yang terbuka, di bawah lukisan angsa suci. Ada enam rosario yang Angel punya, empat di kamar, dan yang dua lagi ada di luar, satunya di orang baik itu, dan satunya lagi di—Baron.
Ya, Angel kini ingat bahwa sebagian rosario tersebut adalah pemberian Baron. Dan Angel sempat menjadikan rosario sebagai jimat kesalamatan. Dan Angel tahu sendiri, ia yang meyakini Baron bahwa benda itu akan menyelamatkannya dari kematian. Tapi sampai saat ini Baron belum kembali.
“Tidak, tidak. Baron sudah mati!” teriak Angel mengapit kepala. Ia berlari keluar dan menjatuhkan gelas berisi soda. Menjatuhkan piring, dan apa pun di atas meja makan. Angel berteriak, berlari ke koridor, naik ke lantai atas, menjatuhkan tubuh di atas kasur. Jangan ulangi ulah konyolmu itu. Memalukan. Kau perempuan, kau cantik, dan tidak sepantasnya menangis. Terngiang suara Baron. Angel tahu kalimat itu ia lontarkan ketika ia menangis karena masalah sepele.
“Bangsat, kau, Baron! Kembalilah!”
“Kau tidak mati, kan, Baron? Kau masih hidup, kan? Jawablah, Sayang.”
Tiba-tiba suara Angel lirih memanggil Baron. Ia merindukannya. Kali ini ia tidak bisa mengelak.
“Maafkan aku, Baron, anakmu mati setelah aku terpeleset di kamar mandi. Kau tidak marah, kan?”
Suara Angel makin lirih sesenggukan. Sementara Blood On The Tracks berputar sekali lagi.
“Aku telah berpaling dari orang tua, dan memilihmu. Cepatlah kembali, Baron—”
“—dan tidak ada yang kudapatkan dari orang tua selain caci maki mereka….”
“Baron… apakah kau mendengarku? Baron….”
Hari beranjak sore, dan Angel kembali ke teras; duduk dengan secangkir teh. Anak-anak Anggit bermain di halaman rumah, sesekali Angel tertawa melihatnya. Kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa tukang antar koran tidak membawakan berita tentang Baron? Mengapa ia tidak kembali dan sampai kapan ia di kota perang? Apakah Baron sudah di lubang kubur bersama rosario yang ia bawa? Air mata membasahi pipi Angel sekali lagi. Ia membiarkan itu, dan teh di cangkirnya tak terasa jatuh membasahi lantai. Angel pun membiarkan itu, karena semuanya sudah tak tampak di hadapannya, semuanya telah menjadi kelabu dan samar-samar menghilang. (*)
Basabasi, 09-03-2020
Fahrul Rozi, lahir di Sampang. Belajar di Prodi Teknik Informatika Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta. Saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun daring.

Cerpen: Nyonya Angel Cerpen: Nyonya Angel Reviewed by takanta on Juni 07, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar