Puisi: Pandemi



Pandemi

Puan kini bertepi
Menyendiri
Dari sini aku mengerti
Tentang inginnya menjumpai
Pagi seperti dulu lagi
Tentang rindunya kepada kicauan burung meramai pagi
Sewaktu dirinya masih bayi
Kala tak satu pun ia pahami

Kini, mungkin terlambat tapi
ia menyadari
Semuanya telah berlalu pergi
Yang mengawali harinya kini
Hanyalah jeritan aspal yang terus meronta
Oleh kerasnya tamparan gerigi-gerigi itu

Dunianya kini bising
Oleh suara-suara aneh lagi asing
Namun ia tak mampu berpaling

Dunianya kini pusing
Dengan sebuah pandemi yang berlangsung
Mengharuskan ia tak boleh pulang
Pada kehangatan keluarga tersayang

Tak ada pagi yang benar-benar suci untuk dinikmati

Ponto Ara, 5 April 2020.

***


Jangan Mencintai Siapa Pun Lagi

Terimakasih
Hadirmu membenih hikmah
Bahwasanya aku hanya aman berteduh
Di bawah naungan  Bapa Maha Kasih

Maaf terlalu cepat kuucap kata pisah
Aku tahu kamu tangguh
Sadari cinta tak harus memiliki bukan?

Aku bukannya tidak mau direngkuh oleh tubuh kurusmu
Tetapi pelukanmu terlalu menyakitkan
Bagai tali bertangan mencekik leherku
Hingga nyawaku terbang terlepas dari raga

Bukan aku tak mau kau miliki
Hanya saja gosip tetanggaku di suatu pagi membuatku bergidik ngeri
Maaf kalau aku lebih memercayai gosip tentang kekejamanmu itu
Maafkan jua karenanya aku menjelajah semua akun media sosialmu
Yang membuatku sadar siapa dirimu
Yang akhirnya membuatku memilih pergi

Kau tahu betapa sayangku untukmu benar-benar terbakar menjadi abu
Kala menatap raga-raga yang sekarang tinggal debu

Cintaku kepadamu pun benar-benar tak tersisa
Ketika mendengar ratapan-ratapan untuk yang tak lagi ada

Dan rinduku kepadamu
oh, sungguh memilukan
Rindu itu kini rapuh
Mengingat banyaknya hati yang bersedih
Oleh sebab tak menikmati Paskah

Maaf aku harus percaya
itu semua ulahmu

Satu pintaku jangan mencintai siapapun lagi Covid

Cukup aku yang tersakiti
Dan mungkin terlalu kejam
Kau tak pantas untuk siapapun

10 April 2020


***


Ruang Kuning Panggil Pulang

Kemana raga-ragamu berjuang?
Kemana suara-suaramu menghilang?
Aku kini hampa, kosong

Adakah kau ingat kursi yang kau tempati kemarin?
Kini ia menantimu pulang
Ia rela menanggung beban beratmu, katanya

Adakah kau rindu mejamu dulu?
Ia ingin sekali lagi mengintip wajahmu kala kau mencatat
Ia rela menanggung beban berat catatanmu, ujarnya

Juga dinding, adakah inginmu untuk menghiasnya, bisiknya

Pula taman, adakah kangenmu tuk luangkan waktu barang sejenak tuk merawatnya?

Bagaimana aku menjawab mereka?
Sedang rinduku pun lebih berat dari mereka
Adakah kau mau kembali meski hanya sehari?
Aku ingin memberimu gaun kenangan yang kurajut untuk kemenanganmu
Aku ingin memberimu cerita yang kupungut kala kita bersama.

24 Maret 2020.

***


Bayang kenang

Aku mencoba mereka bayang-bayang
Pisah di waktu yang tak lagi terhitung
Pisah pada masa yang tak panjang lagi terbentang
Agar jiwa yang rapuh
Mampu bertatih-tatih terlatih
Melepaskan kenangan yang telah kita toreh
Pada sebuah ranah tengah sawah
Lepas untuk digenggam
Makin erat pada relung hati terdalam
Supaya nanti bila kukembali terkenang
Aku dirangkul tenang
Walau mungkin air mata berlinang
Dan puing-puing rindu terbang melayang
Padamu
Padanya
Pada kita
Yang tak lagi bersua pandang
Dan tangan lagi bergandeng.

24 Maret 2020.

***

Tentang Penulis

Irene Dewi Lorenza lahir Desa Ponto Ara, 21 Februari 2002. Baru saja lulus dari pendidikan Menengah Atas di SMAS ST. FAMILIA Wae Nakeng. Saat ini sedang mempersiapkan diri sebagai Mahasiswa baru di Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Seorang pencinta sastra yang menyukai membaca. Baginya baca mengandung kata, kata melahirkan karya, karya membesarkan nama.
Penulis bisa dihubungi lewat email: dwlorenza@gmail.com atau akun facebook Dewy Lorenza dan Wy

Puisi: Pandemi Puisi: Pandemi Reviewed by takanta on Juni 14, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar