Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan?

Ilustrasi by Kamila



Ah, siapalah yang tidak mengenal Dinda? Perempuan cantik yang setiap sore selalu mengelilingi taman kota dengan berlari. Dia dikenal murah senyum, ramah dan pendiam.
Di taman kota, tidak hanya dia, banyak juga orang-orang yang sama sepertinya: berlari. Ada yang berpasang-pasangan, bersama teman, keluarga, hewan peliharaan, jarang sekali ada yang berlari seorang diri: salah satunya adalah Dinda. Berlari tanpa seorang pun yang menemani, secara tidak langsung, menunjukkan kalau seseorang itu tidak memiliki pasangan, tidak laku, dikucilkan teman-temannya, dan lain sebagainya. Bagi Dinda, itu terserah mereka yang menilai. Ia hanya tidak suka beramai-ramai. Baginya, berlari seorang diri sambil mendengarkan musik kesukaannya lewat earphone jauh lebih menyenangkan.
Dinda membalas dengan melambaikan tangan dan senyuman. Memang kebanyakan yang berlari di taman kota adalah temannya.
Sepuluh putaran sudah. Seperti biasa, Dinda beristirahat di bangku hijau. Ada tiga warna bangku di taman kota itu. Warna merah adalah bangku yang paling luar atau dekat dengan jalan. Setelah itu warna biru, letaknya agak ke tengah. Warna hijau tepat berada di tengah-tengah taman. Di depannya ada kolam dan air mancur.
Dinda mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Lelaki itu lagi, batinnya. Yang ia maksud adalah seorang lelaki yang selalu duduk berhadapan dengannya, terpisah oleh kolam dan air mancur. Baru seminggu ini ia sadar kalau seseorang yang duduk di bangku itu, saat sore tiba, adalah orang yang sama.
Semacam keinginan bodoh terlintas di kepala Dinda. Dia ingin menyelidiki lelaki itu. Ia penasaran. Ya, ia akan melakukannya mulai hari ini.
Hari kedua.
Hari ketiga.
Di hari keempat, ada satu hal yang mulai Dinda mengerti: lelaki itu tidak berlari, hanya duduk santai sambil membaca buku.
Hari kelima: lelaki itu ternyata sering menulis sesuatu, yang lalu dibuangnya ke tempat sampah di samping bangku tempat lelaki itu duduk.
Hari keenam: sama seperti Dinda, lelaki itu selalu datang sendiri.
Hari ketujuh: mungkin karena merasa sering diperhatiakan, lelaki itu menyapanya dengan melambaikan tangan. Dinda membalasnya dengan senyum yang malu-malu, lalu cepat-cepat pulang. Ia takut jika lelaki itu menghampirinya.
Hari kedelapan: lelaki itu tidak ada di bangkunya.
Hari kesembilan dan seterusnya, bangku itu masih tetap kosong.
***
4 bulan berlalu. Taman kota mengalami cukup banyak perubahan. Salah satunya adalah air yang menyembur dari pinggiran kolam. Dan tadi sore lelaki itu muncul kembali. Dinda merasa rindu. Entah kenapa ia juga merasa lucu. Bayangkan, mereka berdua bahkan tidak saling mengenal.
Dinda datang ke taman kota pada malam hari. Seperti biasa: seorang diri dan duduk di bangku hijaunya. Ia memerhatikan sekitar. Matanya terhenti pada bangku yang biasanya diduduki lelaki itu.
Hal yang baru Dinda ketahui: lelaki itu tidak datang pada malam hari.
Bangku itu kosong. Untuk beberapa saat, Dinda menatap bangku kosong itu. Dia tersenyum membayangkan lelaki itu duduk di sana. Seperti sore tadi, ia sengaja pulang lebih akhir dari biasanya hanya untuk menatap lelaki itu lama-lama. Ia juga ingin tahu seberapa lama lelaki itu duduk di bangkunya. Dan... Dinda adalah yang selalu pulang lebih dulu.
Dinda melangkahkan kaki mendekati bangku itu. Jika diingiat-ingat lagi, lelaki itu sedikit berubah dari empat bulan yang lalu. Entah, benar atau tidak. Bisa saja itu karena sudah lama tidak melihat lelaki itu.
Lalu untuk pertama kalinya, Dinda duduk di bangku lelaki itu. Bibirnya mengulum senyum. Matanya teralihkan pada bulatan kertas di sebelah kaki bangku. Ia ingat, dulunya di situ adalah tong sampah, tempat biasa lelaki itu membuang kertas yang sering ditulisinya. Karena renovasi, taman kota tidak menggunakan tong sampah seperti dulu lagi. Sampah dibuang pada empat tong dengan warna yang berbeda. Ada empat tempat membuang sampah di taman kota ini.
Apa mungkin? Dinda cepat mengambil kertas itu, membukanya. Hanya ada beberapa baris. Tulisannya miring-miring dan tidak rapi. Mungkin karena ditulis di kertas polos, pikirnya. Tapi kemiringan tulisan itu sungguh keterlaluan. Misal baris kedua turunan. Sampai-sampai bagian akhir kalimat pada baris kelima menyinggung baris keempat di atasnya. Apa orang ini menulis tanpa melihat kertas? Dinda berusaha membaca tulisan itu.
Dariku yang selalu memerhatikanmu dari bangku hijau ini.
Teruntuk perempuan yang setiap sore mengelilingi taman, dan mengelilingi mimpiku setiap malam.
Terlepas dari rasa percaya diri yang berlebih, Dinda merasa kalau yang dimaksud dalam tulisan itu adalah dirinya. Kalau benar begitu, apa mungkin yang menulis ini adalah lelaki itu? Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Dinda melanjutkan membaca.
Kau yang tanpa permisi
diam-diam mencuri
Mengubur rinduku pada lesung pipimu
Padahal mata ini
Tak pernah benar-benar memaut
Senyummu yang membuat jantung ini berdegup

Kau yang tanpa permisi
Diam-diam menyelinap ke dalam mimpi
Selanjutnya Dinda mulai merasa aneh.
***
Sore ini Dinda berniat menyapa lelaki itu. Tapi sebelumnya, seperti biasa, ia akan berlari sepuluh putaran mengelilingi taman kota, lalu duduk di bangkunya. Tapi, akan terasa aneh bila wanitalah yang lebih dulu menyapa. Atau itu hanya alasan kalau sebenarnya ia malu.
Dinda melirik ke tempat lelaki itu. Tidak biasanya dia tidak membaca buku, gumamnya dalam hati. Semakin lama ia terdiam, semakin ia merasa gugup. Menyebalkan!
Dinda memilih menghidupkan ponsel. Walau sesekali matanya melirik ke arah lelaki itu yang sedang menulis sesuatu. Mungkin puisi untukku lagi, pikir Dinda. Beberapa saat setelah lelaki itu menghentikan tulisannya, dia meremas kertas, lalu melemparnya ke samping kiri tanpa menoleh.
Tempat sampah yang di situ sudah tidak ada. Apa kau tidak melihatnya? Dasar, suka buang sampah sembarangan, gerutu Dinda dalam hati. Ia mengangkat ponsel. Jepret! Satu foto berhasil diabadikan. Ia tersenyum. Lelaki itu tiba-tiba menatapnya.
Ah, bagaimana ini? Dinda juga balas menatap. Tanpa ia minta, tangan kanannya sedikit terangkat, melambai pelan ke arah lelaki itu. Dari gerak bibirnya, Dinda seperti berkata: “Hei!”
Tidak ada balasan. Lelaki itu hanya memandang Dinda dalam diam. Lalu dengan santai memalingkan wajah tanpa berkata apa-apa.
Kesal dan malu. Dinda menundukkan wajah. Tak berselang lama lelaki itu kembali menatapnya. Kali ini Dinda diam. Jika lelaki itu menyapa, Dinda akan membalasnya. Jika tidak, juga tak masalah.
Beberapa detik berlalu. Lelaki itu kembali memalingkan wajah seperti tadi.
Dinda berdiri dari duduknya, lalu melangkahkan kakinya pulang. Sombong sekali kau!
***
Walaupun begitu, Dinda tetap tidak bisa membuat kepalanya berhenti memikirkan lelaki itu.
Kesal. Demi menenangkan pikirannya, Dinda pergi ke taman kota. Ini adalah pertama kalinya ia pergi ke taman kota dua kali berturut-turut pada malam hari. Ya, siapa tahu ia menemukan kertas sama seperti malam kemarin: berisi puisi untuknya.
Soal tadi sore, lupakan. Bukan masalah besar jika lelaki itu tak menghiraukannya. Dinda juga merasa aneh terhadap tatapan lelaki itu. Tatapannya terlihat kosong. Lelaki itu seperti tidak benar-benar melihat Dinda. Maksudnya, tatapannya seakan tidak tertuju pada Dinda. Mungkin lelaki itu sedang menatap ke suatu tempat, atau orang lain yang tentunya bukan Dinda. Ah, untuk apa juga aku memikirkan itu?
“Hei, Dinda. Tumben kamu malam-malam ke sini? Mau ke mana?” tanya seorang ibu-ibu yang sedang menemani anaknya bermain.
Dinda mengangguk, tersenyum. Lalu menunjuk ke bangku hijau tempat biasa lelaki itu duduk.
“Oh, iya sudah. Ibu ke sana dulu ya,” kata ibu tadi sambil menunjuk ke arah anaknya yang sedang bermain sepatu roda.
Dinda hanya mengangguk. Lalu melanjutkan langkahnya ke bangku hijau. Berharap nanti dia benar-benar menemukan kertas yang diharapkan.
Ah! Dinda tersenyum lebar mendapati selembar kertas tergeletak di atas bangku itu. Begitu diambilnya, ternyata hanyalah selebaran diskon akhir tahun. Ia meresa kecewa.
Tiba-tiba, tanpa sengaja kakinya menginjak sesuatu: kertas yang diremas bulatan. Mata Dinda membesar. Buru-buru ia memungut kertas itu, membukanya. Kali ini sepertinya bukan puisi. Isinya lumayan banyak untuk ukuran puisi. Hanya tulisannya yang persis miring-miring seperti kemarin. Dinda tetap bisa membacanya.
Kali ini aku tidak akan berpuisi. Bingung hendak menulis apa. Mungkin sedikit bercerita dan bertanya. Dan seperti biasa, aku selalu berharap kau bisa membaca tulisanku ini. Juga tulisan-tulisanku sebelumnya. Meski kali ini tulisanku akan sangat sulit dibaca dibanding empat bulan yang lalu. Amburadul! Tapi aku sudah berlatih menulis tanpa melihat kertas selama dua bulan ini.
Dulu, apa kau ingat saat aku menyapamu? Ah, waktu itu kau hanya membalasnya dengan senyuman. Padahal aku berharap bisa mendapat lebih dari itu. Misal saling memberitahukan nama dan bercerita perihal kesendirian kita.
 Sudah lama aku memerhatikanmu dari bangku ini. Dan kau sama sepertiku: selalu seorang diri. Aku jadi sering memikirkanmu, sampai sekarang. Terkadang, tidak, aku bahkan sering merasa rindu. Apalagi selama empat bulan yang lalu. Lucu! Aku tahu kita berdua bahkan tidak saling mengenal.
Sudah sejak lama aku ingin mengenal dan mengobrol denganmu. Satu hari sebelum hari penentuan masa depanku itu, kuberanikan diri untuk menyapamu. Seperti kataku tadi, kau hanya membalasnya dengan senyuman. Jadi, senyummu adalah satu-satunya yang kukenali. Hari itu juga adalah yang terakhir kali aku melihatmu.
Ya, andai waktu itu aku berani menyapa lebih dulu, setelah itu, kita saling berkenalan dan mengobrol. Mungkin tidak hanya wajah dan senyummu yang kutahu. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Jadi, kita terima saja semua ini. Ah, maksudku, kuterima saja semua ini.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tepat empat bulan aku kehilangan penglihatanku. Aku ingin mengenalmu. Bagiku yang sekarang hanya ada satu cara: dari suaramu.
Dinda membekap mulutnya. Ia terisak, lalu menangis. Ia tidak tahu kalau lelaki itu buta. Sama seperti lelaki itu yang tidak tahu kalau Dinda sebenarnya sudah bisu sejak lama. (*)


Syarif Nurullah, lahir di Situbondo. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Saat ini sedang kuliah di jurusan Sastra Indonesia UNESA. Buku solonya yang terbaru Jiwa-Jiwa Pecah (2019). Beberapa karyanya pernah dimuat di majalah dan koran lokal. Penulis bisa ditemui di ig: syarifnurullah_

Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan? Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan? Reviewed by takanta on Juli 26, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar